webnovel

Apatis

Semua orang yang ada di dalam rumah sudah mulai bisa bersantai. Beberapa duduk di sofa, beberapa masih mengajak Lars bermain, sementara beberapa wanita sedang berkumpul di dapur untuk membantu Azure menyiapkan minuman dan semacamnya.

Karena Arvid tidak mau repot, dia memutuskan memesan makanan pesan antar. Banyak makanan yang dipesannya, dimulai dari pizza, pasta, makanan Cina, dan lain sebagainya. Apalagi, saat ini sudah masuk jam makan siang, dan mereka semua menikmati makanan sambil mengobrol di ruang tengah.

Membiarkan para tamu bersenang-senang sendiri, sementara Lars diberikan pada istrinya untuk menyusu, Arvid diam-diam menuju ke tempat kado-kado terkumpul. Ada rasa penasaran untuk membuka kado-kado itu sekarang juga, tak memedulikan para sepupu yang masih ada di rumahnya.

Tanpa ada gangguan, Arvid membuka kado yang paling besar, kado dari Skylar. Suara sobekan kertas kado nyaris tidak terdengar karena suara obrolan yang cukup riuh di ruang tengah. Sampai akhirnya, menyisakan kotak kardus yang disegel oleh selotip.

Betapa terkejutnya Arvid saat membuka dan melihat isinya. Dia terlalu terkejut sampai tertawa.

"Hei, hei, kemari. Lihat ini," serunya, menarik perhatian para sepupu yang masih asik mengobrol. Tak lupa, dia mengacungkan tangan sambil membawa baju bayi yang ada di dalam kotak kado.

Melihat itu, Skylar langsung menyemburkan minuman di mulutnya dan terbatuk-batuk.

"Sialan, kenapa kau membukanya sekarang?!" Pemuda itu balas menyeru sambil terbatuk-batuk.

"Hoo, Skylar memberikan kado baju bayi dan hal-hal lain yang sewajarnya. Kukira kau akan datang membawakan kado wine dan obat tidur," cetus Errol.

Sebagai satu-satunya orang yang masih lajang dan belum memiliki kekasih, mereka selalu senang menggoda Skylar dengan hal-hal semacam itu. Bahkan Liam, sepupu paling muda di sana, pun sudah memiliki kekasih. Allegra sudah menikah. Kara sudah bertunangan, sementara Errol sudah beberapa kali mengajak kekasihnya makan malam bersama keluarga.

Pandangan menyelidik dari berpasang-pasang mata di sana langsung tertuju pada Skylar. Seolah-olah, pemuda itu sedang menyembunyikan sesuatu.

"Apa ini? Kau diam-diam sudah punya pacar dan pergi membeli ini semua bersamanya?" Kini giliran Kara yang menggoda. Jika saja Ian ada di sini sekarang, pasti ejekan yang Skylar terima lebih parah daripada ini.

Allegra terkekeh pelan, lalu ikut menimpali, seolah-olah tidak ingin ketinggalan. "Sepertinya Skylar juga sudah cocok jadi ayah."

"Jadi, kapan kau akan mengenalkan dia pada kami?" tanya Liam.

Namun dari semua pertanyaan dan ejekan itu, hal yang paling membuatnya kesal ada seringai dari sang tuan rumah. "Kurasa kau harus latihan dipanggil ayah mulai sekarang supaya tidak gugup nanti."

Skylar pun mendengus. Sejak kapan dia punya pacar? Kata menikah saja belum eksis di kamusnya. Dia masih ingin hidup bebas tanpa terikat oleh hubungan bernama pernikahan. Apalagi kalau membahas soal anak. Membayangkannya saja jadi menyesakkan. Dia akan mendengar suara tangisan bayi setiap saat, kemudian punya kewajiban mengganti popok, lantas playstation-nya akan terbengkalai akibat sibuk mengurus anak.

Dia mendadak merinding membayangkannya.

"Aku hanya menyuruh Michael, manager hotelku, untuk membelikannya. Aku tidak tahu apa yang ada di dalamnya."

Tentu saja kalimatnya tidak benar. Skylar tak pernah menyuruh Michael belanja membelikan kado untuk menjenguk bayi yang baru lahir. Dia membeli kado itu bersama Alexa, pelayannya. Tapi Skylar tak akan jujur karena belum ingin keberadaan gadis itu sampai ke telinga orang lain. Tak ada jaminan para sepupunya mau tutup mulut. Skylar bisa mati dibunuh ibunya jika wanita itu dengar dirinya membeli seorang pelacur dan dijadikan pelayan di rumah.

"Ya, ya, Michael." Ada nada bermain-main dari kalimat balasan Arvid.

"Kalau kau tak segera mengenalkan pacar perempuanmu pada kami atau orang tuamu, mereka pasti mengira kau adalah gay."

Skylar sudah sering mendengar kalimat itu hingga bosan. Jadi, alih-alih tersinggung atau merasa kesal, dia hanya medengus dan membiarkannya berlalu. Tak ada yang salah dengan melajang di umurnya yang baru menginjak angka 27 tahun. Dia masih muda. Hanya karena para sepupunya sudah tidak lajang, bukan berarti melajang di umur 27 tahun adalah sebuah dosa.

Lagipula, Skylar juga bisa berdalih soal para selebriti yang baru menikah setelah umur 40 tahun, jika yang mereka ributkan adalah soal umur. Tak ada pula wanita-wanita yang tidak tertarik padanya. Dia punya uang. Banyak pula yang memujinya tampan. Jika asal memilih pun, Skylar yakin orang itu pasti mau menikah padanya. Tapi dia tidak ingin yang seperti itu.

Namun, dari semua perempuan yang dia temui, Skylar baru menemui satu orang yang lebih ingin menjauhinya daripada mendekat untuk mengambil semua keuntungan miliknya.

Alexa.

Dia tak akan lupa bagaimana gadis itu berusaha menghindarinya di pertemuan mereka yang kedua.

Hela napas panjang lolos dari sela bibirnya. Tak ada lagi orang yang mengganggunya dengan topik soal jodoh dan semacamnya, mungkin mereka sudah lelah. Di sisi lain, setelah tak sengaja mengingat soal Alexa, Skylar pun mengambil ponsel dan diam-diam mengecek CCTV di tiga lantai ruangannya, berniat melihat apa yang dilakukan gadis itu selama kepergiannya.

Hanya dalam satu kali tekan layar ponsel, Skylar menemukan gadis itu sedang duduk di sofa lantai 51 sambil membaca buku. Sementara itu, Sophie melingkar di lantai, di sebelah kaki Alexa.

Tidak ada hal menarik lain yang bisa dia cari. Ruang kerjanya pun sudah rapi. Tidak ada ruangan berantakan sama sekali yang dilihatnya melalui kamera pengawas.

Lagi-lagi, Skylar menghela napas. Dia sempat berpikir Alexa akan melakukan hal-hal tidak masuk akal selama kepergiannya, seperti mencoba alkohol, atau mengundang orang asing ke dalam rumah. Tapi ternyata, semuanya normal. Sampai Skylar ingat kalau gadis itu tidak punya teman yang bisa diajak bicara sejak datang di kediamannya.

"Arvid, kau sudah memesankan restoran untuk nanti malam, kan?" Suara Kara mengalihkan perhatian Skylar dari ponsel.

Jika membahas soal makanan dan restoran, entah kenapa dia selalu teringat pada pelayan pribadinya.

Pada akhirnya, kunjungan Skylar ke Stockholm, Swedia, molor satu hari dari rencana. Seharusnya, Skylar hanya berkunjung selama tiga hari. Tapi, karena kesempatan para sepupu bisa berkumpul lengkap—kecuali sepupu yang masih sekolah—Kara membujuk yang lain agar menunda kepulangan untuk berjalan-jalan.

Pemuda itu sendiri tidak keberatan. Hitung-hitung, sekalian liburan dan melepaskan diri dari penatnya London, serta pekerjaannya. Meski dia mengundur kepulangan selama satu hari, dia yakin manager hotelnya masih bisa menyelesaikan masalah jika diperlukan.

Di dalam pesawat, saat perjalanan pulang, lima orang itu kembali 'bergosip'. Jumlah penumpang tak lagi empat orang seperti saat pergi, namun kini ketambahan Ian yang juga ikut ke dalam pesawat pribadi Skylar, berdalih ingin menemani Kara.

"Kurasa aku sedikit tahu apa yang membuat Arvid jadi sedikit jinak." Kara adalah orang pertama yang mencetuskan kalimat itu di tengah suasana hening kabin.

Mereka semua tahu sifat Arvid dulu sebelum menikah. Tidak ada yang tidak tahu kalau pria itu sedikit meremehkan pernikahannya dan menganggap semua itu hanya sekadar status. Tidak ada yang tidak ingat kalau pria bertubuh tinggi itu selalu mengatakan tidak tertarik pada pernikahan dan juga memiliki anak. Pernikahannya pun atas dasar permintaan ibu kedua belah pihak yang merupakan sahabat baik.

Siapa yang sangka jika pria itu kini bisa menggendong bayi yang menangis, lalu mendiamkannya. Mereka pun sempat menganga dan tidak percaya dengan apa yang terpantul di mata masing-masing.

"Aku tidak sengaja lihat ada bekas luka di pergelangan tangan Azure. Yah, kalian tahu apa yang kumaksud," lanjut Kara.

Jika luka yang Kara lihat hanyalah luka gores biasa, dia tak akan berkoar-koar seperti ini pada saudara-saudaranya. Luka yang dia lihat terlihat panjang dan juga ada bekas jahitan yang belum menghilang sempurna.

Percobaan bunuh diri, adalah satu hal yang terlintas di kepalanya.

"Semua orang punya rahasia yang ingin disimpan rapat-rapat. Apapun alasannya, jika yang bersangkutan tidak ingin cerita, lebih baik tidak usah berprasangka. Kuanggap aku tidak mendengarnya. Aku tidak ingin orang luar sampai tahu soal hal ini." Tak seperti biasanya, Skylar angkat bicara dan menengahi.

Jika benar itu adalah luka bekas percobaan bunuh diri, maka itu adalah aib keluarga. Apapun yang pernah terjadi pada keluarga kecil sepupu tertuanya, mereka punya peran untuk menutupinya. Tidak ada orang luar yang boleh tahu rahasia dalam keluarga.

Mereka tidak perlu skandal. Menjalankan bisnis tanpa skandal akan lebih mempermudah hidup mereka.

Penumpang lainnya pun diam, seolah setuju dengan solusi singkat tersebut.

Terkadang, pura-pura apatis memang adalah jalan terbaik jika dilakukan dalam saat yang tepat.

次の章へ