webnovel

Tawaran Menarik

Pagi hari, posisi pasar yang terletak di sepanjang pinggiran sungai itu, sudah sangat ramai dipenuhi para penjual dan pembeli. Sementara, pak Dawung yang ditemani isterinya nampak tengah berdialog dengan salah seorang tengkulak yang akan membeli hasil panen yang mereka bawa.

Pak Dawung memang tidak berniat menjual langsung kepada para pembeli, melainkan lewat perantara tengkulak. Ia tak ingin berlama-lama di pasar menunggu dagangannya laku.

Suro, yang baru pertama kali melihat keramaian nampak menikmati suasana pasar. Maklumlah, selama berada di padepokan beberapa tahun yang diasuh oleh Ki Ronggo, sekalipun belum pernah keluar dari Lembah Damai.

Keramaian pasar tiba-tiba terusik, tak jauh dari tempat mereka berdiri, terdengar suara riuh orang-orang berteriak ketakutan sambil berlarian kocar-kacir ke segala arah.

Seorang lelaki bertampang sangar jatuh terduduk di tanah dengan hidung mengeluarkan darah. Sementara ada empat orang lelaki lainnya yang tak kalah sangar sedang mengayunkan goloknya menyerang seorang lelaki berpakaian asing tanpa senjata, berkulit putih bermata sipit dengan rambut terikat yang bergerak kesana kemari menghindari serangan para pengeroyoknya.

Lelaki asing itu sebenarnya tidak sendiri, sedikit agak jauh dari pertarungan itu ada satu orang lagi yang berpakaian sama dengan lelaki yang diserang, Cuma, jika dilihat dari penampilannya yang lebih mewah menunjukkan dia adalah seorang tuan yang kaya dan usianya juga terlihat lebih tua, sedangkan yang bertarung bisa jadi adalah pengawalnya.

Pertarungan tidak seimbang terjadi, si lelaki asing bertangan kosong tampaknya sudah mulai keteteran kehabisan tenaga. Beberapa kali ia nyaris terkena sabetan golok pengeroyoknya.

Melihat hal itu, sontak Suro tergugah, lalu melompat masuk ke dalam arena pertarungan sambil melayangkan tendangan ke salah seorang pengeroyok.

Buk!!

Tendangan telak mendarat ke tubuh sasaran yang membuat salah satu dari pengeroyok itu terlempar akibat tendangan Suro. Sesaat, pertarungan terhenti. Para pengeroyok beralih pandangan ke arah Suro, dengan tatapan marah.

"Hei Bocah tengik!!!" umpat salah seorang dari mereka sambil mengacungkan goloknya ke arah Suro,"Berani-beraninya kamu ikut campur!"

Lelaki sangar yang tadi tergeletak kini sudah berdiri dan bergabung bersama kawan pengeroyok lainnya.

"Kamu mau membela orang Cina ini, ya!!!" bentaknya.

Anak didik Ki Ronggo Bayu itu tak bergeming, malah mengambil posisi kuda-kuda, bersiap jika terjadi serangan mendadak, raut mukanya tak berubah, santai dan tenang.

"Ketenangan itu akan menjadikan seluruh tubuhmu sebagai mata ketika menghadapi lawan, tetapi kepanikan akan membutakan seluruh tubuh untuk melihat lawan," suara Ki Ronggo seolah terdengar di telinga Suro, seolah-olah situasi yang terjadi saat itu merupakan bagian dari latihan.

"Saya tidak membela siapa-siapa, tetapi saya tidak mau ada orang terluka akibat pertarungan ini," jawab Suro tenang.

"Adik kecil," berkata lelaki Cina yang tadi bertarung dengan logatnya yang kental."Di sini berbahaya, lebih baik adik kecil pergi saja."

Lelaki Cina lainnya segera menarik lengan Suro ke belakang, lalu berkata,"Iya, Dik. Pergilah dari sini."

"Enak saja!" hardik salah satu pengeroyok,"Kamu sudah ikut campur, jangan harap bisa pergi dalam keadaan hidup!"

Tiba-tiba pak Dawung datang dan langsung menarik tangan Suro menyeretnya untuk segera pergi. Tapi dengan gerakan cepat lengan Suro yang lainnya ditarik dari arah yang berlawanan oleh dua orang lelaki sangar. Otomatis, tubuh Suro dan Pak Dawung ikut tertarik dan pegangannya pada tangan Suro terlepas.

Tanpa diduga oleh lawan, kaki Suro bergerak cepat melayangkan tendangan satu kaki ke menyasar kepala dua penariknya.

Buk! Buk!

Dua kali tendangan satu kaki tanpa turun ke tanah langsung mendarat telak membuat keduanya jatuh terbanting. Tak pelak hal itu membuat kemarahan mereka makin menjadi.

"Ayo, Suro!!!" seru pak Dawung,"Larilah!!"

Satu ayunan golok berayun menebas leher pak Dawung, tetapi sebelum golok itu sampai sasaran, Suro sudah lebih dulu melancarkan pukulannya ke pergelangan tangan si penyerang yang menggenggam golok, mengakibatkan goloknya terlepas dan jatuh.

Sontak, karena kerasnya pukulan Suro, si penyerang meringis sambil berteriak kesakitan memegang pergelangan tangannya.

Kawannya yang lain semakin gusar, lalu berbarengan melakukan serangan terhadap Suro dengan beringas.

Remaja itu memang minim pengalaman dalam bertarung sungguhan, tetapi dalam praktek latihan bertarung ia sudah sangat menguasainya. Apalagi Suro selalu tekun berlatih.

Walaupun tanpa senjata di tangan, tidak ada masalah bagi Suro menghadapi serangan ganas dan bertubi-tubi dari penyerangnya. Ia cuma mengayunkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan berkelit lincah lalu secara tiba-tiba memasukkan serangan berupa pukulan dan tendangan dengan sangat cepat.

Buk! Buk! Buk!

Para pengeroyoknya terjatuh hampir bersamaan, masing-masing memegangi tubuhnya yang terkena serangan dari Suro. Tidak parah, karena remaja itu tidak dengan kekuatan penuh melayangkan pukulan maupun tendangannya.

Sejenak, mereka saling pandang, lalu satu diantaranya memberi isyarat untuk segera pergi. Setelah bergegas bangun, dengan tatapan mata penuh kemarahan bercampur malu, mereka lari dengan cepat meninggalkan Suro tanpa berkata apa-apa.

Tak lama, istri pak Dawung datang dengan tergopoh-gopoh. Nafasnya turun naik akibat berlari. Di tangan kanannya memegang tongkat terbuat dari rotan.

"Kamu tidak apa-apa, Suro?" tanyanya panik sambil memegang kedua bahu Suro, lalu menatapnya dari bawah ke atas.

"Aduh Suro....." ucap pak Dawung dengan muka pucat, "Bapak fikir, kita tadi tidak bisa pulang dengan selamat...."

Suro tersenyum, lalu berusaha menenangkan suami istri itu.

"Alhamdullillah, semua baik-baik saja," sahutnya, "Tak ada yang perlu dikhawatirkan."

Lalu ia melihat tongkat rotan di tangan Bu Dawung dan ia tahu milik siapa tongkat rotan itu. Rotan peninggalan Ki Ronggo, gurunya. "Lho, bu. Dapat dari mana tongkat rotan itu?" tanya Suro.

"Kamu membuat kami begitu panik," timpal bu Dawung.

Istri pak Dawung itu memandang tongkat ditangannya, lalu menyerahkannya pada Suro.

"Ini adalah tongkat milikmu. Waktu kejadian tadi, ibu langsung lari ke perahu mencari senjata golok dan lainnya. Ternyata ini yang ibu temui dan bermaksud memberikannya sebagai senjata waktu kamu dikeroyok. Ternyata, tanpa ini pun sudah teratasi," cerita bu Dawung sambil tersenyum.

"Bapak lupa menyerahkannya ke kamu. Padahal tongkat itu sengaja bapak bawa kemana-mana," sambung pak Dawung.

Suro manggut-manggut, lalu menerima tongkat rotan itu dari tangan isteri pak Dawung.

"Adik kecil," tiba-tiba lelaki Cina yang tadi bertarung memanggil,"Terima kasih atas bantuannya, jika tidak, pasti saya dan tuan saya ini bakal pulang tinggal nama."

Lelaki Cina yang dipanggil tuan, membungkuk sambil menyatukan kepalan tangan sejajar dadanya.

"Namaku Yang Meng, dan ini pelayanku Tan Bu," ucapnya memperkenalkan diri.

Suro tersenyum, ia merasa bingung dengan apa yang dilakukan kedua orang Cina itu. Soalnya, baru kali ini ia melihat orang asing dengan gayanya yang juga aneh menurut Suro. Remaja itu lalu membalasnya dengan membungkuk beberapa kali.

"Nama saya Suro," katanya. "Tuan-tuan tidak apa-apa?" tanya Suro kemudian.

"Kami baik-baik saja," jawab pria yang bernama Tan Bu,"hanya memar-memar sedikit."

"Kami sangat senang bertemu denganmu, Suro." Berkata Yang Meng.

Tak ingin berlama-lama, pak Dawung mengajak Suro untuk kembali ke perahu menuju pulang,"Hari sudah menjelang siang, Kami mohon pamit untuk kembali pulang," Katanya.

Sebelum pak Dawung berbalik, buru-buru Yang Meng menarik Tan Bu dan berbicara dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Pak Dawung maupun Suro.

Setelah pembicaraan singkat, Tan Bu pun langsung memegang tangan Suro, dan memberi isyarat agar bertahan sebentar.

"Suro," katanya,"Tuan Yang ingin berbicara denganmu."

Suro menghentikan langkahnya, lalu mengernyitkan dahi sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal, seolah penasaran.

"Saya adalah pedagang yang sudah sering datang ke negeri ini dan negeri lainnya untuk membeli rempah maupun barang-barang yang tidak ada di negeri kami. Sebaliknya, saya juga membawa barang dagangan dari negeri saya untuk saya jual di sini," terangnya, "...dan saya berharap, kamu berkenan ikut bersama kami,"

Pak Dawung lalu maju ke hadapan Yang Meng, kemudian membungkuk.

"Mohon maaf tuan Yang Meng, Suro ini masih remaja dan lugu. Belum tahu banyak apa-apa yang ada diluar dunianya. Saya dapat menangkap maksud tuan, kalo Suro sebenarnya tuan butuhkan sebagai pengawal tuan..."

Yang Meng tersenyum mendengar ucapan pak Dawung, lalu dia meneruskan ucapannya.

"Terus terang, saya butuh kawan dalam usaha perdagangan saya, menemani Tan Bu. Saya tidak bermaksud menjadikannya pengawal saya, artinya sekedar ikut saya berdagang keliling dunia, tentunya jika bersedia mengikuti saya, bukan sebagai pengawal.."

Setelah melihat Suro bertarung dengan beberapa lelaki barusan, menimbulkan kekaguman Yang Meng pada remaja itu. Di bandingkan Tan Bu yang usianya lebih tua, Suro memiliki kemampuan bela diri yang lebih tinggi dari pada Tan Bu.

Yang Meng adalah seorang pedagang kaya raya yang usahanya sampai ke beberapa bagian negeri, dalam mendukung usahanya dia memiliki beberapa buah kapal besar dan beberapa puluh orang pengawal. Namun kebetulan saat itu, ia hanya ditemani seorang pengawal sekaligus pelayannya, yaitu Tan Bu. Sengaja agar tidak kelihatan menyolok. Maklum karena mereka berada di negeri orang.

Pak Dawung lalu memandang ke arah Suro. Tatapan matanya seolah memberi isyarat kepada Suro agar menolak tawaran dari Yang Meng.

Suro terdiam beberapa saat. Dia tidak ingin menjadi pengawal, dia ingin bebas tanpa ikatan. Di satu sisi sebenarnya ini adalah kesempatan untuk mengetahui dunia luar. Tidak tanggung-tanggung, langsung menyeberangi lautan ke negeri asing. Hatinya ragu, tapi teringat tujuannya semula adalah untuk mencari gerombolan orang-orang yang telah menyerang dan membakar padepokan Kantil Putih, sekaligus menuntaskan dendamnya atas kematian guru dan rekan-rekannya.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya tuan Yang," Suro angkat suara,"Saya juga punya urusan yang harus saya tuntaskan di sini. Meskipun jujur saya katakan, ini adalah tawaran menarik. Jadi sekali lagi, saya mohon maaf tidak bisa ikut tuan Yang."

Pak Dawung menarik nafas lega. Berbeda dengan Yang Men, walaupun bibirnya tersenyum, raut wajah kecewa tetap saja tidak bisa ia sembunyikan.

"Baiklah, saya cuma berharap. Tentu saya tidak bisa memaksanya," katanya sambil membungkukkan badan, "Semoga kita berjodoh. Selamat berpisah, dan berhati-hati dijalan."

次の章へ