"Begini, pak guru…"
"Eh, Bu. Panggil saya Gibran saja, agar lebih santai kita berbicara." Ujar pak Gibran memotong ucapan ibu Khanza barusan.
"O,oh.. apakah tidak apa? Terkesan tidak sopan." Ucap ibu Khanza lagi dengan ragu. Dia menatap sejenak wajah puterinya yang saat ini duduk dengan melipat kedua tangannya di atas perutnnya, dia kini membuang wajahnya, seolah enggan menatap wajah pak Gibran. Lalu pak Gibran tersenyum menanggapinya tanda dia tidak keberatan akan panggilan itu.
"Emh, begini Gib-ran. Sudah dua hari ini Khanza sakit, demam nya sangat tinggi sampai-sampai dia mengigau setiap malam. Dia sampai saat ini belum memakan sesuap nasi sedikitpun. Aku khawatir, karena dia juga menolak untuk di bawa ke dokter, apa lagi sekedar meminum obat untuk menurunkan demamnya." Dengan nada serius dan penuh harap ibu Khanza menjelaskan, karena dia yakin jika hanya dengan kedatangan pak Gibran lah Khanza akan kembali sehat dan pulih untuk segera ke sekolah kembali dengan semangat.
"Bu, hentikan! Jangan berbicara tentang ku yang tidak ada hubungannya dengan dia." Ujar Khanza dengan cetus.
"Hust!!! Khanza, jaga bicara mu. Dia guru mu, bersikaplah yang sopan." Titah ibu nya dengan kesal. Lagi-lagi Khanza memalingkan wajahnya.
"Bu, bisakah disiapkan saja makanan kesukaan Khanza. Saya akan menyuruhnya untuk makan," titah pelan pak Gibran dengan nada penuh percaya diri. Suaranya begitu tampak tenang, membuat Khanza merasakan detak jantung yang berdebar-debar, bahkan hanya karena suara pak Gibran yang demikian saja.
"Cih, PD sekali. Siapa juga yang akan menurutinya, mimpi!" decak Khanza dengan suara pelan, namun suaranya masih terdengar oleh pak Gibran.
"Baiklah, jika kamu masih tidak mau makan aku akan memberimu nilai nol untuk semua mata pelajaran." Ujar pak Gibran mencoba mengancam Khanza. Sontak ancaman kecil namun berdampak besar untuk Khanza itu, membuat Khanza menoleh seketika dengan geram pada pak Gibran.
"Bapak berani mengancamku begitu?" ujar Khanza dengan kedua mata yang melotot menatap wajah pak Gibran. Dan itu membuat pak Gibran tersenyum manis membalas sikap Khanza yang menggemaskan bagi pak Gibran.
Ibu Khanza semakin yakin jika kali ini Khanza akan menuruti pak Gibran untuk mengisi perutnya dengan sepiring nasi dan sekaligus meminum obat untuk memulihkan segera tenaganya. Dengan cepat ibu Khanza beranjak bangun untuk pergi ke dapur lalu menyiapkan makanan untuk Khanza makan, tak lupa dia juga menyiapkan minuman segar untuk di suguhkan pada pak Gibran.
"Kau harus makan, atau kau akan terus sakt dan semakin kurus, kau akan semakin jelek nantinya." Ucap pak Gibran kembali dengan suara pelan mecoba menggoda Khanza.
"Huh, tidak usah menggodaku. Lagi pula aku memang jelak, dan tentang hubungan kit…" Khanza menghentikan perkataanya karena sang ibu kni sudah kembali dari dapur dengan membawa sepiring makanan dan minuman yang juga akan di suguhkan untuk pak Gibran.
��Gibran, maaf jika suguhannya seadanya saja. Tidak seenak makanan di restoran mahal." Ucap ibu Khanza sembari meletakkan suguhannya di atas meja. Kembali pak Gibran tersenyu hangat menanggapi ucapan ibu Khanza. Seketika suasana menjadi hening, Khanza masih terlihat seperti sedang menahan amarahnya. Bahkan kini sedang menaik turunkan nafasnya dengan sedikit kasar.
Aku tidak tahu ada apa dengan mereka sebenarnya. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang memiliki masalah saja. Ah, tapi itu tidak mungkin.
Ujar ibu Khanza dalam hati menyelidik serta menatap mereka bergantian satu sama lain, sedang pak Gibran tampak gelisah dan berusaha menyembunyikan sikapnya itu dengan menatap sekeliling ruangan.
"Ehm, baiklah. Ibu harus menyelesaikan pekerjaan di dapur, ada sedikit kerjaan yang tertunda sejak pagi tadi. Kalian bisa mengobrol dulu sebentar, dan Gibran.. tolong bantu ibu supaya nanti Khanza mau makan dan minum obat yang sudah ibu sediakan itu ya," sembari menunjuk keatas meja, sebuah nampan yang berisi sepiring makanan dengan segelas air putih juga satu tablet obat penurun demam, ibu Khanza beranjak untuk pergi ke dapur.
"Bu, aku tidak lapar. Aaah, ibu… dengar gak sih?" bantah Khanza dengan rengekan, namun sang ibu tak menolehnya lagi seolah sengaja mengabaikan ucapan Khanza.
"Iiiih nyebelin!' decak Khanza sembari memajukan kedua bibirnya manyun. Pak Gibran semakin terkekeh melihat Khanza demikian, dalam hatinya timbul hasrat yang sedang ia tahan untuk melawannya.
Di pandanginya dengan lembut wajah gadis yang selama berhari-hari dia rindukan berada dalam dekapan hangatnya, ingin sekali dia memeluk gadis yang sebenarnya sudah membuatnya merasa kacau selama ini. Walau wajah nya tampak pucat, rambutnya berantakan, kian kurus dan tak memiliki tenaga yang kuat, serta tak lagi ceria, yang selalu melempar senyuman manis dan manja setiap kali berdua dengan pak Gibran.
"Za, ayo makan dulu. Aku akan menyuapi mu, ayo!" ucap pak Gibran sembari meraih sepiring nasi di atas nampan lalu kemudian beranjak dari posisinya sejak tadi. Kini dengan berani pak Gibran duduk bersebelahan dengan Khanza. Seketika Khanza menjauh dari hadapan pak Gibran.
"Pak, tidak usah basa basi lagi. Untuk apa bapak datang kemari tiba-tiba hah? Apa lagi ini?" pada akhirnya Khanza meluapkan emosinya yang sejak tadi tertahan melalui suaranya yang saat ini terdengar bernada tinggi.
"Makan dulu, aa a buka mulutmu." Seakan pak Gibran sengaja mengabaikan ocehan Khanza padanya, dengan memaksa Khanza untuk tetap menyuapinya makan.
"Aku tidak mau!" bantah Khanza memalingkan wajahnya dengan cetus.
"Za, ayo. Makan dulu, agar kau memiliki banyak tenaga untuk memarahiku sepuasnya nanti. Jika kau lemah begini, bagaimana kau akan kuat dan semakin galak untuk memarahiku, atau mungkin memukulku jika kau mau." Sekali lagi pak Gibran berusaha merayu Khanza agar mau menerima suapan nya yang sudah menunggu di sisi rahang nya itu.
Khanza masih dengan egonya enggan menoleh. Lalu pak Gibran kembali meletakkan makanan yang hendak dia suapi untuk Khanza diatas meja, dengan menarik nafasnya dalam-dalam pak Gibran memberanikan diri menyentuh kedua bahu Khanza lalu di hadapkannya untuk menoleh ke arah pak Gibran, meski dia tahu ini sungguh sikap yang tidak baik, dia sempat takut jika ada yang akan melihat ini dari keluarga Khanza, hatinya sudah dterdorong keras karena ia tidak tega melihat kondisi khanza yang lemah saat ini, sekaligus gadis yang di rinduinya beberapa hari ini, karena kesibukannya yang membuatnya harus mengesampingkan perasaan Khanza, terlebih statusnya sebagai ayah yang akan merayakan ulang tahun puteri pertamanya, dia terpaksa menjauhi Khanza sejenak meski dia sudah yakin jika ini akan membuat Khanza marah. Dan hari ini, itu sungguh terjadi seperti dugaannya. Dalam pikirannya saan ini, Khanza marah karena dia sudah menghilang tanpa mengabarinya sebentar saja, bahkan dia juga tidak sempat menemui Khanza meski di sekolah.