Malam ini Khanza melihat kedua mata pak Gibran menyiratkan nafsu yang begitu buas, seolah ingin menelan seluruh tubuhnya saja. Dengan sengaja Khanza mengabaikan nya lalu mengaja pak Gibran untuk segera kembali ke ruang aula.
"Ayo, Mas. Kita kembali, sebelum nanti ada yang curiga."
Dengan cepat pak Gibran menarik tangan Khanza lalu memeluknya dari belakang saat Khanza sudah berbalik badan.
"Hmm... Kau sangat wangi, Khanza. Tidak akan ada yang curiga, ini acara bebas tapi juga sangat penting bagi semua rekan guru untuk mendapatkan banyak donatur baru di sekolah ini." Ujar pak Gibran, nafasnya sudah terdengar mulai tak beraturan sangat jelas di telinga Khanza.
"Kau mulai nakal mas." Ujar Khanza menanggapinya.
"Kau yang mengajariku, gadis kecil." Jawab pak Gibran kembali, lalu dengan perlahan dia mulai mengecup dan menciumi tengkuk leher Khanza.
"Emh..." Khanza memekik manja.
Sejak kehormatannya ternodai oleh pacarnya, Jordy. Entah kenapa dia merasa begitu mudah terangsang oleh sentuhan tangan laki-laki. Seolah dia kecanduan akan kenikmatan bercinta yang membuatnya melayang hingga ke awan.
Sementara pak Gibran terus saja menciumi tengkuk lehernya. Khanza mendesah tertahan, ia takut ada yang mendengar dan mengundang perhatian.
"Jangan menahannya. Aku ingin mas, sangat ingin." Ucap Khanza mulai meracau. Pada akhirnya dia kalah, dia lah yang lebih dulu meminta untuk melakukannya di kelas malam ini juga.
Pak Gibran menyeringai puas. Ia tak bisa menolaknya karena malam ini oun dia sangat tergoda dan tak mampu menahan untuk tidak menjamahnya. Khanza sungguh cantik dan terlihat dewasa dengan penampilannya malam ini.
Malam ini mereka menggila di ruang kelas yang begitu sepi, dalam kegelapan yang hanya seberkas sinar remang lampu di luar ruangan menempus di balik ventilasi kelas, sedikit menghiasi. Membuat suasana semakin penuh romantis dan gairah memuncak bagi mereka, dua insan yang terjerumus dalam hubungan cinta terlarang.
30 menit kemudian, pak Gibran berbisik dengan suaranya yang parau di telinga Khanza yang, nafasnya yang tersengal-sengak membuat Khanza semakin bergidik.
"Aku sudah akan sampai pada puncak ku, Sayang."
"Mas, aku masih ingin lama lagi."
"Apa kau belum puas?"
"Aku tidak akan pernah puas dengan mu." Jawab Khanza menggodanya dengan nakal.
"Kau sungguh gila. Kita bisa melakukannya lain kali." Jawab Pak Gibran kembali. Tanpa menunggu aba-aba dari Khanza dia mempercepat permainannya. Hingga akhirnya mereka mengerang dan mencengkram satu sama lain, mereka mencapai puncak klimaks bersamaan.
Lalu kemudian pak Gibran memeluk tubuh mungil Khanza erat-erat. Begitupun Khanza, dia sangat puas dan bergelayutan manja pada leher pak Gibran.
"Cepat rapikan pakaian mu kembali. Maaf sudah membuat penampilanmu berantakan." Bisik pak Gibran.
"Aku suka mas, tapi... Mengapa hanya sebentar?"
"Astaga, kau sungguh nakal. Aku takut akan mengundang perhatian, lain kali aku akan membuatmu tidak mampu berdiri lagi." Jawab Pak Gibran dengan tawa nakal, ia cubit manja ujung hidung Khanza yang mancung.
"Kau keluarlah lebih dulu mas, aku akan menyusul. Aku takut akan ada yang lewat nantinya, bisa bahaya bukan? ehm, itu bagimu mas. Bagiku, tidak. Hehe,"
"Cih, kau makin berani menggodaku." Jawab Pak Gibran yang lalu merapikan kemeja nya, memasang kembali seluruh pakaiannya.
"Eh, dimana pakaian dalam ku?" Pak Gibran kebingungan saat hendak memakai kembali celananya.
"Hahaha, maafkan aku mas." Khanza tertawa lepas lalu menutup mulutnya kembali. Dengan melempar celana dalam milik pak Gibran.
"Aaah, kau ini. Kapan kau meraihnya?"
"Hihi, rahasia."
"Sudah lah, cepat rapikan pakaianmu." Titah pak Gibran dengan terburu-buru. Setelah semua rapi, pak Gibran berpamitan untuk keluar lebih dulu.
"Mas, tunggu!" Ucap Khanza kembali.
"Ada apa lagi, sayang?"
"Dasimu, belum rapi." Ucap Khanza setelah menghampiri dan berdiri di depan pak Gibran, mendongakkan kepalanya ke atas. Membenahi dasi pak Gibran.
"Terimakasih, Khanza." Ucap Pak Gibran seraya mengecup mesra keningnya. Khanza tersipu malu, pikirannya jauh berkhayal. Jika saat ini seakan dia seperti menjadi istri pak Gibran yang sedang mengantarnya untuk bekerja kembali.
Lalu pak Gibran keluar ruangan, betapa terkejutnya ketika Dea sedang berjalan dari arah samping yang tentunya hendak pergi ke toilet.
"Eh, pak Gibran. Kau disini ternyata?" Sapa Dea dengan heran, sembari mengerutkan kedua alisnya melihat ke pintu kelas di balik punggung pak Gibran yang sedang berdiri terpaku saat ini.
Sementara Khanza sedikit gelisah takut ketahuan, tapi juga kesal. Dia kembali merasakan kobaran api cemburu setelah mengintip di balik pintu yang belum tertutup rapat, telah berdiri sosok Dea yang membuatnya cemburu tadi.
Kemudian pak Gibran menutup rapat pintu kelas tadi sehingga Khanza terkejut dibuatnya.
"Ka,kau... Mau ke toilet bukan?" Tanya pak Gibran pada Dea.
"Hemm... Tapi sebenarnya aku mencarimu sejak tadi, kau menghilang begitu saja."
"Oh, maaf. Aku juga mau ke toilet tadinya."
"Lalu kenapa kau masuk ke ruangan itu?"
"Oh, tidak. Aku tidak masuk kelas ini, hanya... Hanya tadi aku mendengar ada suara dari dalam, mungkin itu tikus kecil yang nakal."
"Cih, sialan. Kau bilang aku tikus kecil yang nakal? Huh. Awas saja kau mas!" Ujar Khanza lirih setelah mendengar pak Gibran berkata demikian.
"Oh, tikus kecil yang nakal ya. Hem... Mungkin, tapi kau begitu menyukai tikus kecil yang nakal sejak dulu."
"Dea, sudah. Aku akan kembali ke aula lebih dulu." Pak Gibran mengalihkan tutur kata Dea dan beranjak pergi.
"Kau bilang mau ke toilet?"
"Tidak jadi." Jawab pak Gibran singkat dan berlalu pergi.
Tanpa rasa curiga, Dea melanjutkan langkahnya hendak menuju toilet. Setelah terdengar langkah sepatu highthell Dea semakin jauh, barulah Khanza perlahan keluar kelas dan hendak menuju toilet yang sama. Dia ingin mengecek apakah penampilannya masih rapi atau perlu di perbaiki agar tetap tampil cantik nantinya.
"Hah, mak lampir itu tidak akan curiga kan jika bertemu dengan ku nanti?" Ujar Khanza mengingat Dea hendak ke toilet juga tadi.
Dan benar saja, Dea sedang mentouch lembut pipinya dengan bedak, kemudian lanjut memoles bibirnya dengan lipstik. Khanza melangkah sedikit ragu, ia lirik segala make up yang Dea gunakan. Khanza bisa menebaknya itu semua barang mahal tentunya.
Dea sangat cuek, ketika Khanza menyalakan air di wastafel untuk mencuci tangannya terlebih dahulu. Dea menyemprotkan parfum yang sangat manis dan fres wanginya ke bagian lehernya. Khanza mengibaskan kedua tangannya yang basah di wastafel.
"Apa kau tikus kecil nakal yang di temui pak Gibran tadi?"
Khanza terhentak saat Dea tiba-tiba menanyainya begitu.
"A,apa maksudmu?" Tanya Khanza gugup.
"Kau tahu apa maksudku, meski kau masih terbilang belia." Jawab Dea lagi sembari merapikan rambutnya.
"Aku tidak mengerti." Jawab Khanza cetus.
"Cih, aku sangat mengenal wangi parfum yang menempel di sekujur tubuhmu saat ini." Dea menyeringai dengan sinis menatap Khanza melalui sebuah kaca di depannya.
Tampak Khanza cuek saja tak mempedulikan ucapan Dea. Dengan berpura-pura merapikan dress hitam yang dia kenakan saat ini. Lalu tiba-tiba Dea menarik dres di bagian dada Khanza.
"Hey, kau." Khanza menepis tangan Dea dan menjauh darinya.
"Cih, apa kau masih mau mengelak dari jejak kissmark itu?" Dea mengintimidasinya.
Khanza menutup bagian dadanya rapat-rapat dengan kedua tangannya. Ia menarik nafas dalam-dalam berusaha menahan emosinya untuk tidak meluap. Sejak melihat Dea datang bersama pak Gibran dia memang menahan rasa cemburu pada Dea.
"Ya, aku lah tikus kecil nakal yang pak Gibran maksud tadi. Dan aku tidak perlu menjelaskannya bukan, apa yang telah dia lakukan padaku di kelas tadi?" Khanza melawannya dengan sombong.
"Hahaha, hey. Kau, anak manis. Apa kau tahu siapa aku? Kasihan sekali dirimu itu. Kau masih terlalu dini, sebaiknya kau banyak minum susu supaya cepat besar."
"Kau, mak lampir. Beraninya menghinaku, apa yang ingin kau sampaikan sebenarnya hah?"
"Camkan baik-baik. Pak Gibran hanya menjadikan mu pelampiasan sesaat, jauh di lubuk hatinya dia masih merindukan ku. Terlebih di atas ranjang, dia tidak akan mungkin mudah melupakan cerita kami berdua."
Khanza gemetar mendengar hal itu. Dia tidaj percaya ini, dia ingin marah, dia ingin mengamuk. Tapi berusaha menahan diri agar tidak terlihat lemah di depannya.
"Hahaha. Oh ya? Kau sungguh lucu. Aku tidak peduli kau siapa dulunya di hati mas Gibran. Tapi yang kau tahu saat ini, aku tetap nomor satu baginya."
"So what? Kau memanggilnya apa? M-a-s? Hahaha oh ya ampun. Kampungan sekali, hahaha."
"Hahaha, kampungan sekali bagimu. Tapi baginya itu panggilan yang membuatnya semakin menggila padaku." Ujar Khanza melawan tawa Dea.
"Kau sungguh cerdik. Kita lihat saja nanti, apakah kau sungguh bisa mengalahkan ku?" Ujar Dea berlalu pergi dari hadapan Khanza.
"Aaarght, mak lampir. Lihat saja nanti!" Khanza mendecak kesal seraya berteriak di dalam ruangan toilet.