"Menangis saja jika masih ingin menangis." Ucap pak Gibran kembali.
"Pak, apakah gadis jelek dan miskin seperti saya tidak pantas mendapat cinta dari cowok yang saya cintai?" Khanza membuka suara.
"Siapa bilang kamu jelek dan miskin? Kamu sangat cantik dan juga pintar Khanza, kamu memiliki sahabat yang selalu setia dengan mu seperti Chika, bahkan bapak juga mendengar banyak murid laki-laki yang menyukaimu. Kau memiliki kulit yang putih mulus, kau memiliki rambut lurus yang indah, hidung mu juga mancung, serta wajah mu.. Semua alami cantik nya, tidak ada yang sengaja di lebih-lebihkan."
Khanza menatap pak Gibran yang tanpa sengaja terus memujinya begitu antusias. Menyadari akan hal itu, pak Gibran mengatupkan kedua bibirnya lalu terlihat gusar. Ia berusaha menyembunyikan rasa yang kini bercampur aduk menyelimutinya.
"Jika begitu, jadikan aku pacar bapak." Ucap Khanza spontan.
"E,eh.. Bapak.."
"Cih, aku tahu. Bapak juga pasti menolak, bapak sama saja dengan cowok lain. Khususnya Jordy, gadis sepertiku memang bodoh mengharap sebuah bintang di langit akan jatuh ke pelukan ku." Ucap Khanza dengan marah lalu hendak keluar dari mobil.
"Tunggu !!!"
Pak Gibran menarik tangan Khanza dengan cepat, menghentikan Khanza untuk tidak segera keluar dari mobilnya.
"Apa lagi pak? Bapak juga mau menghinaku sama seperti yang Jordy lakukan iya?"
"Siapa Jordy, kenapa kau selalu menyebut namanya berulang kali sejak tadi. Bapak tidak mengenal siapa Jordy, Khanza." Jawab pak Gibran dengan kebingungan.
"Dia adalah cowok brengsek yang selama ini aku cintai selama setahun, dia berjanji akan menikahiku setelah lulus nanti. Tapi setelah aku melakukan semua yang dia inginkan, dia berubah. Dan kami putus pagi ini,"
"Haduuh, romansa ABG jaman sekarang. Jadi karena putus dengan pacar, kamu sampai kacau begini. Sampai akhirnya kamu bolos sekolah, untung ketemu bapak di jalan."
"Jika bapak masih meledekku demikian aku turun saja, biarkan aku sendiri." Lagi-lagi Khanza hendak keluar mobil.
"Bapak memang menyukaimu Khanza, tapi bapak sudah memiliki istri dan seorang anak. Jadi bapak tidak pantas berhubungan sebagai pacar dengan mu,"
"Lalu bedanya apa? Bukan kah suatu hubungan terjadi memang karena saling suka? Bukan karena umur kan?"
"Bapak pikir. Mungkin kamu masih terluka dan belum bisa berpikir tenang, kau baru saja putus dengan pacarmu coki-coki itu."
"JOR-DY pak, namanya JORDY. Bukan coki-coki, iih apaan sih. Gak lucu tahu gak sih," Jawab Khanza menyela dengan kesal.
"Haha, tuh kan. Kau juga masih tak ingin nama itu terhapus dan tergantikan nama yang lain, bagaimana mungkin kamu mengajak seorang om-om sepertiku berpacaran Khanza?"
"Asal dengan bapak, aku pasti bisa melupakannya dengan cepat. Jika tidak, aku bisa pastikan tahun ini aku tidak akan lulus dan mendapat nilai yang bagus. Atau mungkin bisa jadi aku memilih berhenti sekolah saja."
"Eh, kok jadi main ancam begitu?"
"Lalu apa lagi? Selama ini aku bersusah payah sekolah karena keinginan Jordy, aku ingin Jordy bangga padaku. Tapi aku salah..."
"Kau tidak malu berpacaran dengan orang yang sudah berumah tangga?"
"Aku sudah lupa rasa malu itu seperti apa."
Pak Gibran kembali terdiam akan jawaban tegas Khanza. Dalam hati pak Gibran bergumam...
Baru kali ini aku dibuat mati kutu oleh seorang gadis kecil sepertinya, tapi baiklah. Tak apa, paling tidak aku membantunya tenang dulu. Setelah dia tenang pasti akan berubah pikiran akan ucapannya tadi.
"Baiklah, ayo kita pacaran."
Seketika Khanza menoleh dengan membelalakkan kedua matanya. Wajahnya berubah ceria dan senyumnya kembali merekah dari bibir ranumnya.
"Sungguh? Bapak mau jadi pacarku? Ini bukan karena rasa iba bapak kan?" Tanya Khanza dengan nafasnya yang menderu-deru.
"Asal, kamu berjanji akan tetap sekolah yang rajin ya. Dan kamu harus sukses nantinya,"
"Hmm.. Tergantung bagaimana bapak memperlakukanku nantinya, hehe." Jawab Khanza kembali melempar senyum ceria.
"Dasar kamu,"
Pak Gibran mencubit gemas pipi Khanza. Dengan senyuman manis Khanza menanggapinya, dalam hatinya dia sudah tidak mampu berpikir jernih lagi. Yang ia rasakan saat ini hanyalah kegilaan yang tak bisa ia kontrol lagi. Khanza merasa hidupnya telah benar-benar hancur, dan di satu sisi dia memiliki rasa kagum yang luar biasa pada guru yang satu ini.
"Lalu, bapak kenapa tidak mengajar?"
"Ehm, sebenarnya bapak akan pergi rapat sekolah. Tapi jadi terlambat deh, gara-gara kamu."
"Ya Tuhan, maafkan aku pak. Gara-gara aku rapat bapak jadi terhalang, jadi bagaimana sekarang? Jika masih ada waktu bapak bisa melanjutkan pergi ke rapat itu. Aku akan pulang saja," Ucap Khanza dengan panik.
"Ehm.. Tak apa, lagi pula sebentar lagi untuk sampai disana akan memakan waktu kurang lebih setengah jam. Percuma dong, rapat sudah pasti selesai." Jelas pak Gibran setelah melirik jam branded yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Lalu sekarang.. Apakah bapak akan kembali ke sekolah saja?"
"Harusnya begitu, tapi bagaimana dengan mu Khanza?"
"Aku, mungkin akan berjalan-jalan saja dulu. Karena jika aku beneran pulang lebih awal itu akan membuatku di marahi habis-habisan oleh ayah dan ibu."
"Ya sudah, bapak akan menemanimu saja sampai di jam pulang bagaimana?"
"Sungguh?" Kembali Khanza memasang wajah sumringah akan ucapan pak Gibran.
"Iya, jangan sedih lagi. Ehm, tapi kemana kita akan pergi? Karena rasanya tidak nyaman jika om-om sepertiku berjalan dengan seorang gadis berseragam SMA begini, itu akan mengundang perhatian buruk di mata orang nantinya.
"Aku tidak peduli, apa bapak malu berjalan dengan ku? Jika ada yang bertanya aku bisa menjawabnya dengan santai jika bapak adalah ayah ku bukan?"
"Kamu memang cerdik, tapi justru bapak yang tidak ingin membuatmu malu di hadapan semua orang. Kita cari tempat yang tepat aja untuk parkir mobil, jika tidak keberatan kita mengobrol di mobil saja."
"Mau, aku mau. Dimana saja asal bersama bapak, tapi pak..." Ucapannya terhenti.
"Eh, kenapa? Kau, merasa risih? Jika kau ragu tak apa."
"Bukan, bukan begitu. Sepeda ku, sepeda mini kesayangan ku. Kasihan jika ku biarkan begitu saja disini."
"Oh Tuhan, apakah dia sungguh selugu ini?" Ucap pak Gibran dengan lirih
"Apa pak? Apa yang bapak bicarakan barusan?" Tanya Khanza penasaran.
"Ah, tidak. Bapak hanya berpikir, kenapa kau begitu sayang pada sepeda itu. Nanti bapak telepon seseorang untuk mengurusnya."
"Benar ya pak, itu sepeda kado pertama dari ayah dan ibu di hari ulang tahun ku awal masuk sekolah."
"Baiklah, bapak akan menyuruh orang untuk mengurusnya dengan sebaik mungkin ya." Jawab pak Gibran dengan menyentuh kepala Khanza lalu mengacaknya dengan gemas.
"Pak..."
Panggil Khanza dengan suara lembut.
"Terimakasih. Berkat bapak hari ini, aku tidak berlarut dalam kesedihan dan kehancuran."
"Siapa bilang kamu sudah hancur, kamu pasti akan baik-baik saja dan menjadi wanita sukses di masa depan."
Khanza terdiam lalu merebahkan pipinya di telapak tangan pak Gibran yang masih tertahan di rambutnya. Ia merasakan kehangatan di sentuhan tangan itu, Pak Gibran menatap Khanza dengan pilu. Dengan tiba-tiba hatinya merasakan pedih akan masalah yang saat ini di hadapi oleh gadis yang selama ini dia pandang selalu ceria dan bertingkah konyol, kini terlihat kacau dan gusar.