Adrenalin memompa jantungku membuatku sadar lebih cepat. Begitu juga rasa sakit yang mengikutinya walaupun saat ini aku hampir tidak bisa merasakan kedua kakiku. Pandanganku masih terpaku pada besi itu, jaraknya hanya beberapa senti dari kepalaku. Tetesan darah jatuh ke rambut dan wajahku.
Darah Greg.
Bibirku bergetar hebat saat memanggil namanya. Tapi tidak ada suara yang keluar dariku, tidak ada suara apapun di dalam kepalaku selain suara dengungan keras. Air mata panas membasahi kedua pipiku dengan cepat, membuat pandanganku sedikit kabur. Satu tetes cairan kental jatuh ke pipiku bercampur dengan air mataku.
Darah milik... Greg.
Jika Greg tidak melemparkan dirinya di depanku, mungkin saat ini potongan besi itu sudah menembus kepalaku. Tapi Greg mengorbankan dirinya untukku, dan sekarang Ia mati karenaku.
Rasa sakit, trauma, dan shock membuatku tidak bisa bernafas dan perlahan kesadaranku mulai menghilang.
***
"Eleanor."
Kedua mataku terbuka dengan cepat, nafasku memburu seperti baru saja berlari jauh.
Nick. Aku mendengar suaranya memanggil namaku.
Langit-langit kamar berwarna biru muda yang sangat kukenal menyambut mataku. Sesaat aku merasa bingung, bagaimana aku bisa berada di kamarku? Kukerjapkan mataku beberapa kali hingga pandanganku menjadi lebih fokus. Tapi pemandangan di depanku tidak berubah, aku masih berada di kamarku. Selama lima menit kedepan aku hanya terdiam di atas tempat tidurku.
Bagaimana aku bisa berada disini? Kepalaku terasa berdenyut menyakitkan.
Kutarik selimut yang menutupi tubuhku lalu melihat kedua kaki dan tanganku, tidak ada goresan sedikitpun di kulitku dan tidak ada rasa sakit. Apa itu semua hanya mimpi buruk?
Aku turun dari tempat tidurku lalu berjalan ke arah pintu, tanganku sedikit bergetar saat membuka kenopnya. Sebagian besar diriku berharap untuk melihat Lana dan Greg duduk di sofa mengobrol seperti setiap pagi sebelumnya. Tapi saat aku berjalan keluar tidak ada siapa-siapa. Kakiku masih bergerak perlahan, kini ke arah dapur. Aku bisa melihat punggung Lana yang sedang berdiri di depan kompor.
Ia menoleh sambil tersenyum saat menyadari kedatanganku, "Hey, kau mau kopi?" tanyanya sambil berbalik lagi menghadap kompor. Jantungku berdebar lebih keras dari sebelumnya, perasaan bingung yang menyerangku saat bangun tidur tadi kembali lagi, kali ini ditambah rasa panik.
"Aku baru saja akan membangunkanmu. Apa kita jadi makan siang bersama pacar bosmu siang ini?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Lana. Kepalaku mulai terasa lebih sakit dari sebelumnya.
Lana mematikan kompor lalu berbalik ke arahku, ekspresi di wajahnya berubah khawatir, "Ella, kau tidak apa-apa?"
"Dimana—" suaraku terdengar sangat serak seperti tidak terpakai berhari-hari. "Dimana Greg?" Jantungku berdebar sangat keras hingga aku bisa mendengar dentumannya di telingaku sendiri.
Lana memandangku dengan ekspresi aneh lalu mengerutkan keningnya, "Siapa Greg?" Lalu Ia melihat ekspresi di wajahku dengan panik, "Ella? Ada apa denganmu?"
Aku memandang Lana dengan tatapan kosong selama setengah menit penuh. Apa aku sudah mati? Pikiranku bergerak ke segala arah dalam waktu bersamaan.
"Ella?" ulang Lana, ekspresi di wajahnya semakin khawatir. "Kau terlihat pucat..."
Kuangkat tanganku sedikit sambil berusaha tersenyum, "Hanya kurang tidur, aku tidak apa-apa." Balasku sambil berbalik dan berjalan kembali ke kamarku. Aku mendengar Lana memanggil namaku tapi aku mengabaikannya. Kututup pintu kamarku lalu menyandarkan punggungku di balik pintu. Perlahan tubuhku merosot ke lantai hingga aku terduduk, kupeluk kedua kakiku erat-erat berusaha mengingat apa yang sedang terjadi.
Greg.
Air mataku terjatuh tanpa kusadari hingga membasahi pipiku. Apa yang terjadi? Tapi semakin aku berusaha mengingat semakin aku tidak yakin dengan apa yang terjadi kemarin.
Kejadian itu tidak terasa seperti mimpi. Kuhapus air mataku dengan punggung tanganku lalu berusaha berdiri lagi. Aku berjalan menuju laptopku yang berada di atas meja lalu menyalakannya. Tanganku meraih handphoneku yang berada di atas meja juga lalu melihat seluruh kontak di dalamnya, dengan putus asa aku mengetik namanya berkali-kali di bagian search contact. Tapi tidak peduli berapa kali aku mencoba namanya tidak muncul.
Kali ini kuketik namanya di internet, seperempat detik kemudian muncul sederet hasil. Kedua mataku mencari berita paling baru yang menyangkut namanya, Ia menghadiri sidang penggelapan uang... kemarin pagi. Sebuah foto ruang sidang disertakan di dalam artikel tersebut, Nicholas berdiri di sebelah kliennya dengan wajah tanpa ekspresinya yang dingin. Ia memakai setelan jas hitam dan dasi berwarna merah darah.
Semuanya terlihat normal.
Bagaimana dengan Greg? Rasa bingung dan panik masih menghantuiku, potongan besi berlumuran darah itu... pandangan kosong Greg... semuanya terlihat nyata. Tapi Lana tidak mengingat Greg. Kulirik tanggal di pojok layar laptopku, hari ini hari Rabu. Kecelakaan itu terjadi hari minggu, aku kehilangan ingatanku selama dua hari.
Untuk yang kesekian kalinya aku bertanya pada diriku sendiri, apa yang terjadi?
***
"Eleanor?"
Aku terlonjak dari tempat dudukku lalu mendongak. "Yeah?" jawabku sambil berusaha tersenyum pada Mr. LeBlanc. Ia membalas senyumanku sambil mengerutkan keningnya sedikit, "Kau tidak apa-apa? Kau terlihat sedikit pucat."
"Aku baik-baik saja."
Ia masih menatapku dengan ekspresi sedikit tidak percaya. "Okay. Ellie memintaku untuk bertanya padamu apa kalian jadi makan siang atau tidak."
"Yeah, tentu saja." Balasku dengan senyuman lebih lebar, aku menunggunya berbalik pergi sebelum kembali menatap layar komputer kantor di depanku. Karena tidak ingin membuat Lana khawatir jadi kuputuskan untuk masuk kerja hari ini. Tidak ada yang bertanya kemana aku pergi dua hari belakangan ini, seakan-akan tidak ada seorangpun di kantor yang menyadarinya.
Hanya ada dua kemungkinan dibalik semua ini... Nick menghapus pikiran orang-orang di sekitarku, atau semua ini hanya mimpi panjang bagiku. Bagaimana Ia bisa menghapus pikiran sebanyak ini? Aku menatap layar di depanku dengan pandangan kosong. Setengah jam belakangan aku sudah mencari berita tentang kecelakaan yang terjadi baru-baru saja, tapi tidak ada satupun artikel yang menyebutkan tentang tabrakan itu... atau Greg. Ingatanku tentang tatapan kosong Greg dan darah yang menetes ke kemejaku membuat kedua mataku kembali terasa panas.
Saat ini aku akan memberikan apa saja hanya untuk bisa mengetahui apa yang sedang terjadi. Kutahan air mataku yang hampir terjatuh lalu meraih handphoneku untuk memberitahu Lana tentang rencana makan siang kami. Aku melangkah keluar dari ruanganku menuju toilet, setelah mencuci tangan kutatap pantulan wajahku di cermin. Aku memang terlihat pucat, sangat kontras dengan bayangan lingkaran hitam di kedua mataku. Rambut auburnku yang bergelombang sedikit berantakan membuatku terlihat semakin sakit.
Hari ini aku memakai dress semi formal berwarna putih dengan blazer hitam, kuputuskan untuk menggelung rambutku agar terlihat lebih rapi. Kupandang sekali lagi pantulanku di cermin toilet lalu kembali ke ruanganku, beberapa orang menghentikanku untuk bertanya tentang pekerjaan. Selanjutnya semuanya berjalan seperti blur hingga jam makan siang.
Kami akan bertemu langsung di restauran tempat makan siang, kucek jam di handphoneku sambil berjalan menuju lift. Sebagian besar karyawan sudah keluar sejak dua puluh menit yang lalu. Restauran yang kutuju berjarak 15 menit dari kantorku, kakiku melangkah dengan sedikit terburu-buru melewati jalanan San Francisco yang padat karena jam makan siang. Kukirim pesan melalui handphoneku pada Lana untuk memberitahunya aku sedikit terlambat, aku tidak terlalu memperhatikan jalanku hingga aku menabrak seseorang di depanku. Handphone yang kupegang terjatuh ke trotoar karena rasa terkejutku.
"Maaf." Gumamku tanpa mendongak lalu membungkuk untuk mengambil handphoneku, tapi sebuah tangan mendahuluiku. Kutatap pria yang baru saja kutabrak dan mengambil handphoneku, Ia mengenakan jeans dan jaket kulit berwarna hitam dengan kaos yang berwarna sama. Kedua mata abu-abunya yang gelap menatapku dengan ramah lalu Ia mengulurkan handphoneku, aku mengambilnya lalu menggumamkan terimakasih.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya.
"Yeah... Maaf, tadi aku tidak memperhatikan jalanku." Aku berusaha membalasnya dengan senyuman yang sama ramahnya.
"Tidak masalah." Balasnya sambil tersenyum semakin lebar memperlihatkan sederet giginya yang rapi, rambut coklat chesnutnya terlihat berantakan seakan-akan Ia baru saja mengacak-acaknya dengan kedua tangannya.
"Okay." Kuangkat tanganku sedikit untuk melambai padanya sebelum berjalan lagi. Baru dua langkah berjalan aku merasakan seseorang sedang mengawasiku dari belakangku, aku berbalik untuk memastikan tapi pria itu sudah menghilang. Saat perasaanku tidak pasti seperti ini semua hal jadi terlihat mencurigakan bagiku, kuhela nafasku lalu kembali berjalan.
Aku bertemu Lana di depan pintu restauran meksiko tempat kami akan makan siang jadi kami masuk bersama, Ellie sudah berada di dalam karena Ia yang memesankan tempat untuk kami. Aku mengenalkan Lana pada Ellie lalu kami mengobrol sambil makan siang, lebih tepatnya mereka yang lebih banyak mengobrol. Kami memesan chili, burrito, enchilada, nachos, dan guacamole.
Kuambil guacamole dengan sekeping nachos lalu memasukkannya ke mulutku. Lidahku tidak bisa merasakan apa-apa, seluruh makanan yang masuk ke dalam mulutku hari ini terasa hambar. Bahkan Ellie sampai bertanya padaku apakah aku baik-baik saja. Hampir setiap orang yang bertemu denganku hari ini menanyakan hal yang sama. Kedua mata coklatnya yang besar memandangku dengan khawatir setelah aku menjawab baik-baik saja, membuatku merasa semakin bersalah karena telah berbohong untuk yang kesekian kalinya.
Aku bersyukur Lana tidak mengingat Greg, aku tidak ingin melihatnya hancur... tapi tidak bisa berbicara pada siapapun tentang hal ini membuatku semakin depresi.
Saat dessert datang aku hanya sanggup menghabiskan seperempat dulce de leche cheesecake milikku. Lana berkali-kali melirik ke arahku dengan pandangan khawatir yang berusaha Ia sembunyikan.
"Kau tahu, kalian sangat mirip." Kata Lana tiba-tiba. Ellie menaikkan kedua alis matanya dengan ekspresi bertanya. "Warna rambut, suara, hingga tinggi kalian... terlihat mirip. Mungkin satu-satunya perbedaan kontras hanya di warna mata. Aku hampir berpikir bahwa kalian bersaudara." Lana tertawa kecil. "Bahkan nama kalian terdengar sama, Ella dan Ellie."
"Well, mungkin aku dan Ella memang berhubungan." Jawab Ellie sambil tersenyum. Kali ini giliranku menoleh ke arahnya dengan pandangan bertanya. "Thomas sebelumnya pernah menyukaimu, mungkin karena itu juga Ia akhirnya memilihku. Karena kita berdua mirip." Ia kembali tersenyum dengan lembut. Thomas adalah nama depan Mr. LeBlanc.
"Mr. LeBlanc menyukaimu karena kau bukan karena kau mirip denganku, Ellie." Balasku dengan cepat, aku tidak ingin membuatnya salah paham. "Lagipula hubungan kami tidak seperti itu."
"Ia juga pernah mengatakan hal yang sama padaku." balas Ellie dengan senyum geli.
"Oh, sial! Aku harus kembali sekarang kalau tidak bosku akan membunuhku." Lana berdiri dengan terburu-buru lalu mengeluarkan beberapa lembar uang. "Senang bertemu denganmu, Ellie! Maaf aku tidak bisa mengobrol lebih lama. Ella, kau tidak keberatan berhenti di Liu's Cuisine pulang kantor nanti? Jadwal makan malam hari ini adalah chinese food. Aku tidak akan sempat mampir."
Kami memang merotasi menu makan malam bersama agar lebih praktis. Ellie dan aku menjawab bergantian sebelum Lana keluar dari restauran dengan terburu-buru. "Kurasa aku harus kembali ke gallery juga." Gumam Ellie sambil mengecek jam tangannya sekilas. Setahuku Ellie bekerja di gallery lukisan mewah, hanya saja aku tidak tahu di bagian apa. Kami membayar makan siang kami lalu berjalan keluar bersama. Sekilas aku melihat pantulan kami di jendela restauran yang gelap, dan Lana benar. Kami memang terlihat mirip. Walaupun wajah dan warna mata kami berbeda, tapi yang lainnya benar-benar mirip.
"Aku akan mampir sebentar ke kantor Thomas, kau tidak keberatan jika kita berjalan kembali bersama, kan?" Ellie menoleh ke arahku sambil tersenyum. Ia memakai gaun semi formal berwarna oranye yang serasi dengan rambut auburnnya.
"Tentu saja. Tapi kau tidak akan terlambat kembali bekerja?" kami berjalan melewati deretan restauran dan toko yang cukup ramai.
Ellie mengerutkan keningnya sedikit, "Sepertinya klienku baru akan datang setengah jam lagi."
"Oh, jadi kau berada di bagian penjualan?"
"Tidak, aku bekerja sebagai Public Relation. Klien yang akan kutangani ingin mengadakan pameran dan aku bertugas untuk mempublikasikan acaranya." Jawabnya sambil mengehela nafas sedikit, "Tapi kuharap Ia mengundurnya, Thomas dan aku berencana liburan akhir pekan ini."
Aku tersenyum mendengarnya, "Semoga Ia mengundurnya."
"Bagaimana denganmu, Ella?" tanyanya tiba-tiba.
Kami berbelok di tikungan dekat kantorku, "Apa?"
"Kudengar kau berhubungan dengan pengacara itu? Nicholas Shaw?"
Langkahku terhenti seketika. Ellie tidak menyadarinya hingga beberapa meter di depanku, lalu Ia berhenti untuk menoleh. "Ella? Ada apa?"
Tapi pertanyaannya yang sebelumnya masih menyita seluruh perhatianku. Jantungku berdebar lebih cepat tanpa kusadari, beberapa orang yang melewati kami menoleh karena kami berhenti tiba-tiba. Pandanganku masih terpaku pada wajah Ellie yang kini terlihat bingung, "Apa aku salah mengatakan sesuatu?"
Aku tersenyum padanya perlahan lalu menggeleng, "Tidak. Aku hanya lupa mengirim beberapa file audit yang seharusnya kukirim sebelum jam makan siang." gumamku sambil berjalan lagi. Ellie tidak terlihat curiga lalu kembali berjalan di sebelahku sambil mengobrol, aku hanya mendengarkan sebagian sambil sesekali menanggapinya. Jantungku masih berdebar kencang di dalam dadaku.
Akhirnya... ada satu petunjuk yang muncul.
***
"Kau yakin bisa menyelesaikannya malam ini, Eleanor? Aku tidak keberatan membantumu." Mr. LeBlanc bertanya untuk yang ketiga kalinya. Hanya tinggal kami berdua di kantor saat ini. Aku terlalu sibuk memikirkan apa yang terjadi padaku hingga pekerjaanku hari ini hampir terbengkalai. Karena itu aku masih harus menyelesaikan dua laporan sebelum pukul 11 malam.
"Tidak apa-apa, hanya tinggal sedikit lagi. Mr. LeBlanc sebaiknya kau pulang duluan, aku tidak ingin Ellie menunggumu terlalu lama karenaku." Balasku sambil tersenyum padanya.
Ia menatapku dengan ragu-ragu, salah satu tangannya menenteng tas kerjanya sedangkan satunya lagi jasnya. "Kau yakin?"
Aku mengangguk. "Kau tidak perlu khawatir, aku akan memanggil taksi sebelum pulang."
Ia menatap jam tangannya sekilas lalu menatapku lagi, "Jangan pulang terlalu malam, okay?"
Aku tertawa kecil lalu melambai padanya. Ia berjalan keluar dari kantorku sambil menggumamkan selamat malam. Laporanku benar-benar tinggal sedikit, mungkin 20 menit lagi selesai. Kulirik jam di kantorku, pukul 10.10 malam. Hanya tinggal aku sendirian di lantai ini.
Kualihkan seluruh perhatianku kembali ke pekerjaanku, aku sudah memberitahu Lana hari ini akan pulang terlambat. Setengah jam kemudian seluruh laporan sudah selesai kukirim, kubereskan seluruh barang-barangku lalu keluar dari ruangan. Sebagian lampu di lantai ini sudah dimatikan, suara langkahku terdengar menggema hingga ke ujung ruangan. Beberapa langkah dari lift handphoneku yang berada di dalam tasku bergetar. Kuaduk isi tasku lalu mengambilnya, tapi telepon itu sudah berhenti. Nomornya tidak kukenali.
Tanganku bergerak untuk memasukkan handphoneku ke dalam tas, tapi handphoneku kembali bergetar. Kupandang nomor asing di layarnya selama beberapa detik sebelum mengangkatnya.
"Eleanor."
Nafasku tertahan di paru-paruku saat mendengar suaranya.
"Nic—Nicholas?"
"Menjauh dari lift."
"A—apa?" Setelah mendengar suaranya di handphoneku otakku bekerja lebih lambat dari biasanya.
"Menjauh dari lift dan pergilah ke tangga darurat. Jangan turun ke bawah. Naik hingga ke lantai 7." Aku menangkap rasa panik di dalam suara Nick.
Pandanganku beralih dari pintu lift ke angka yang berada di atasnya, saat ini lift sedang bergerak dari lobby menuju lantai 3. Lantaiku saat ini. Suara Nick yang mendesak dan instingku yang mengatakan sesuatu yang buruk sedang menungguku di balik pintu lift ini membuatku berbalik menuju pintu tangga darurat.
"Kau mendengarku?" ulang Nick, suaranya sedikit terengah sepertinya Ia sedang berlari.
"Ada apa?" tanyaku sambil mendorong pintu darurat yang berat dengan tubuhku. Jantungku berdebar sangat keras di dadaku. "Aku sudah berada di tangga darurat."
"Kau bisa naik lebih cepat?" desaknya lagi.
"Akan lebih membantu jika kau memberitahuku apa yang terjadi, Nick. Dan apa yang terjadi dengan Greg—"
Pertanyaanku dipotong dengan suara umpatan Nick yang tiba-tiba. "Eleanor? Sekarang kau ada di lantai berapa?"
"H—hampir enam." Suara Nick yang marah membuatku sedikit gugup. Hanya suaraku dan suara sepatuku yang menggema di tempat ini saat ini.
"Masuk ke lantai enam." Balasnya dengan cepat. Aku mengikuti perintahnya lalu membuka pintu menuju lantai 6. Hampir seluruh lampunya sudah dimatikan, hanya beberapa lampu di sudut ruangan yang masih menyala. Layout lantai ini hampir sama dengan lantaiku, hanya berisi beberapa kantor pribadi dan puluhan sekat kubik di tengahnya.
"Nick?" panggilku setelah berada di depan pintu. Keadaan yang hampir gelap dan hening membuat rasa takut yang sebelumnya kuabaikan kembali lagi. Bulu halus di tengkukku sedikit meremang.
"Masuk ke salah satu kantornya. Lalu kunci pintunya."
Bagaimana Ia mengetahui tempat ini? Tapi aku tidak sempat bertanya padanya karena detik berikutnya lift yang berada di seberang ruangan berdenting terbuka. Refleks kubungkukkan tubuhku bersembunyi di balik salah satu kubik terdekat lalu tanpa suara masuk ke dalamnya. Aku tidak sempat melihat siapa yang masuk. Kuletakkan tasku di ujung kubik lalu melepas kedua heelku, jika aku harus berlari aku tidak ingin berlari dengan heels.
Handphoneku masih menempel di telingaku tapi Nick belum berbicara lagi. Suara debaran jantungku sendiri membuatku lebih panik. Perlahan... sangat perlahan aku mendengar suara langkah kaki berat dari ujung ruangan. Detik berikutnya aku mendengar suara Nick lagi di telepon, hampir berbisik.
"Eleanor, diam di tempatmu dan jangan bergerak."