webnovel

Bab 14. Kabar Kurang Baik

"Selamat malam, Mas." Itu adalah sebuah sapaan yang baru saja diterima oleh Berry ketika dia baru saja keluar dari rumah kontrakannya. Melihat lelaki itu ada di hadapannya sekarang, membuat Berry bertanya di dalam dirinya sendiri. Apa yang terjadi sekarang? Karena tidak mungkin lelaki itu muncul tanpa ada sebab yang jelas.

Kalau Berry mengingat, dia didatangi oleh lelaki itu adalah dua tahun yang lalu. Ketika ada sebuah acara yang mengharuskan dia untuk hadir. Setelah acara itu selesai, maka dia pergi, dan pertemuan itu tak terjadi lagi. Barulah hari ini mereka kembali saling bertatap muka.

"Pak Tio?" Berry berdiri di depan pintu, sedangkan lelaki itu berdiri tak jauh dari Berry. Pak Tio, adalah lelaki berumur sekitar empat puluh tahun. Tubuhnya tinggi, dan terlihat masih sangat sehat. Rambutnya sudah ada di beberapa bagian yang terlihat memutih karena uban, tapi gagahnya lelaki itu tak bisa diabaikan.

Jika ada yang bertanya siapa lelaki itu, maka jawabannya adalah, beliau orang yang menjadi kepercayaan ayahnya. Tangan kanan sang ayah. Dan sudah bekerja dengan ayahnya sejak usia Berry masih sepuluh tahun. Dan itu jelas sudah berlalu lama sekali.

"Mas Berry terlihat sangat sehat." Begitu katanya dengan ketulusan yang dimilikinya. Berry tersenyum dan membalas.

"Bapak juga." Tak ada imbuhan atau basa-basi lainnya. Terlihat kaku? Memang. Tapi tak ada dari keduanya yang peduli. Mereka bahkan masih setia berdiri karena Berry tak ada inisiatif sama sekali untuk mempersilahkan lelaki itu untuk duduk. Karena dia sangat paham jika sebentar lagi, kekakuan keadaan ini akan selesai. Pak Tio akan mengatakan tujuannya datang menemui Berry.

"Ibu masuk rumah sakit semalam, dan beliau ingin bertemu dengan Mas Berry." Tujuan kedatangan lelaki itu dikatakan dengan gamblang tanpa lagi ditunda. Matanya saling beradu dengan Berry. Tak ada nada candaan yang ditunjukkan oleh Pak Tio barangkali lelaki itu hanya melakukan prank.

Jakun Berry naik turun, dan tiba-tiba ketenangan Berry sedikit terusik. "Mama sakit apa, Pak?" tanyanya. Ibunya adalah perempuan yang kuat dan jarang sekali drop. Kemudian sekarang justru masuk rumah sakit, sepertinya memang kondisi perempuan itu sedikit parah.

"Lambung, Mas. Beliau akhir-akhir sering sekali telat makan, dan semalam mengeluh kesakitan. Mas Berry bisa ikut saya malam ini? setidaknya kalau ada Mas Berry di samping beliau, bisa membuat beliau lebih baik kondisinya." Jika sudah masalah ibu, Berry pasti tak akan bisa menolaknya.

Maka Berry mengangguk. "Sebentar, saya akan ganti pakaian dulu." Dan anggukan yang sama itu diberikan oleh Pak Tio untuk menyetujuinya. Berry masuk ke dalam rumah, dan mendapati Aga duduk dengan stick game di tangannya. Lelaki itu sedang seru-serunya tapi dia mempausenya hanya untuk bertanya kepada Berry apa yang sedang terjadi.

"Nyokap masuk rumah sakit." Berry mengambil celana panjang di dalam lemari dan masuk ke dalam kamar mandinya. Aga mengikuti dan dia hanya berdiri di depan kamar mandi tersebut.

"Lo mau pergi kesana?"

"Gue harus." Jawaban itu tegas diberikan kepada Berry. Pintu kamar mandi terbuka, dan dia kembali berbicara, "Gue tahu setelah gue sampai di sana akan seperti apa, tapi sekarang posisinya adalah ibu gue sakit, gue nggak bisa pura-pura tuli." Berry terlihat sedih hanya saja disembunyikan dibalik tatapan tajamnya.

Setelah menggunakan jaket, membawa tasnya yang berisi dompet dan beberapa barang kecil miliknya, dia pamit kepada Aga. "Gue pergi dulu ya." Dia tak mengatakan dia akan pulang kapan atau jam berapa, karena dia saja tak bisa menebak apa yang akan terjadi disana. Di rumah sakit.

"Hati-hati." Aga ikut mengantarkan Berry sampai di depan rumah dan menyaksikan lelaki itu pergi dengan Pak Tio. Mobil hitam mengkilat itu pergi dari rumah kontrakan tersebut dan melesat ke jalanan kota Jakarta. Bergabung dengan pengendara yang lain untuk sampai tujuan.

Tak ada kata yang diucapkan oleh kedua orang tersebut meskipun mereka duduk bersebelahan di kursi belakang. Berry menatap ke luar jendela sedangkan Pak Tio juga melakukan hal yang sama. Mereka justru asyik menikmati pemandangan di luar mobil sambil memikirkan entah apa di dalam kepala mereka.

Bibir masih saling tertutup, seolah kata lenyap begitu saja. Perjalanan memang tak terlalu jauh, kemacetan juga tak separah biasanya. Karena itu mereka sampai lebih cepat dibandingkan Pak Tio ketika berangkat tadi. Gedung rumah sakit sudah terlihat dan Berry melepaskan nafas panjang nya ketika melihatnya.

Pak Tio yang menyadarinya hanya menatap lelaki itu tanpa bersuara. Beliau tahu mungkin saja Berry sekarang sedang memiliki banyak sekali pikiran. Jadi mengganggunya dengan banyak pertanyaan bukan hal yang baik.

"Silahkan, Mas." Mobil berhenti di depan lobby rumah sakit dan pak Tio yang keluar lebih dulu membukakan pintu untuk Berry. Keluar, lelaki itu berjalan beriringan dengan Pak Tio. Di jam sekarang, seharusnya waktu berkunjung sudah habis. Tapi mereka memiliki akses untuk menambah waktu kunjung kapanpun mereka mau.

Lorong di kamar VIP sudah terlihat sepi. Semua orang pasti sudah beristirahat. Langkah Berry pasti dan penuh dengan keyakinan. Dia tak memikirkan apapun yang ada di dalam ruangan sana kecuali hanya ingin bertemu dengan ibunya. Di depan kamar 305, langkah mereka berhenti. Pak Tio membukakan pintu untuknya dan meminta dirinya untuk masuk lebih dulu.

Berry menurut, dan seketika sebuah ruangan besar menelannya. Dia bisa langsung melihat seorang perempuan sedang terbaring di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus di tangan kanannya. Di samping perempuan itu ada ayahnya yang sedang duduk sambil membaca sebuah buku. Kedatangannya membuat lelaki itu mendongakkan kepalanya. Mata lelaki itu menatap dalam ke arah Berry. Buku yang dipegang nya diletakkan di nakas sebelahnya.

Tanpa perlu meminta izin, Berry mendekat dan ingin melihat bagaimana kondisi ibunya. Perempuan itu pasti sedang merasa kesakitan tadi sampai harus dilarikan ke rumah sakit. Setelah Berry sudah benar-benar mendekat, bisa dilihatnya wajah pucat wanita yang sudah melahirkan dirinya ke dunia ini. Lelaki itu hanya sanggup menatap ke arah ibunya dalam diam tanpa bersuara. Dia takut suaranya akan mengganggu istirahat beliau.

Tapi tiba-tiba suara sang ayah terdengar, "Kita keluar, ada yang harus ayah katakan sama kamu." keinginan Berry untuk menolak sirna ketika tatapan lelaki itu terlihat sangat tidak bersahabat. Menuruti adalah pilihan baik yang harus dilakukan oleh lelaki itu.

Berry berpikir, jika ayahnya akan langsung mengatakan apa yang ingin dikatakan setelah mereka sudah ada di depan kamar. Nyatanya lelaki itu memandangi putranya dengan datar.

"Apa yang ingin Ayah bicarakan?" sepertinya memang dia lah yang harus berbicara lebih dulu. Karena menunggu ayahnya membuka suara, mungkin akan lama.

"Pergi dari rumah dan tidak pernah datang lagi selama dua tahun. Apa itu membuat kamu bahagia?" Berry menatap mata ayahnya dengan berani. Ada sebuah senyum tipis yang diberikan kepada lelaki itu sebelum menjawab.

"Ayah yang memintanya, kan?"

*>*

次の章へ