webnovel

Diantara dua sepupu

Vatikan, summer

"Lebih keras!"

"Pukul lebih keras!"

Teriakan itu bersahutan dengan suara tabrakan antara kepalan tangan dengan samsak tinju dan decitan sepatu. Suara nafas yang terengah bersusulan dengan keringat yang membanjir dari wajah hingga punggung sosok remaja bersurai pirang itu. Matanya terpancang dengan eksepresi keras, walau wajahnya menujukkan lelah dan letih yang ditahan.

"Lebih keras! Aku bilang lebih keras! Jangan jadi pria lemah!"

Remaja itu mendengus sebelum menghantamkan tinjunya kuat-kuat hingga terdengar bunyi berdebam, kakinya bergetar seiring dengan ototnya yang mulai tegang karena lelah. Ia menatap sosok lelaki di depannya dengan mata nyaris kabur sebelum mundur dan jatuh terlentang di lantai.

"Aku belum menyuruhmu berhenti, Justin."

"Tapi aku ingin berhenti."

Lelaki itu menghela nafas, "Selalu menjadi yang paling pembangkang."

"Tapi selalu jadi yang paling kuat," balas remaja itu sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Kau licik, bukan kuat. Kau licik."

Justin bangkit terduduk dan mendengus geli, ia kemudian menerima lemparan botol air minum dari yang lebih tua dan meminumnya cepat. "Apa yang kau harapkan? Untuk menjadi seorang mata-mata aku harus menjadi licik."

Si lelaki hanya mendengus, "Banyak omong."

"Jangan sinis begitu sire, aku anak emasmu. Yang terbaik sebelum kau pensiun melatih para serigala berbulu domba seperti kami."

"Jangan menginggatkanku, kau hanya membuatku merasa berdosa."

"Karena mendidik anak-anak menjadi manusia bermuka dua?"

Justin tertawa saat sosok lelaki itu melempar handuk keras ke wajahnya dan merebahkan diri di sisinya, lelaki itu ikut meluruskan kaki sebelum merangkulkan tangan ke bahu Justin dan mengusak helai pirangnya.

"Kau memang kebanggaanku, kau berhak sombong. Tapi aku harap dimasa depan kau bisa melaksanakan apa yang memang harus kau lakukan. Jalanmu berat Justin," lelaki itu tersenyum sambil menatap Justin dengan wajah mengenang. "Dulu kau hanya anak kecil tidak tahu diri, sekarang kau bahkan lebih siap dariku untuk menjadi jagal di jalan menuju tahta."

"Dendam akan membentukmu menjadi lebih hebat."

"Motivasi yang jelek," si pria terkekeh. "Tapi boleh dicoba. Aku harap kau tidak menyerah, dan jangan pernah menyerah."

"Aku tidak akan menyerah sire, sebelum dendamku selesai. Sebelum aku membuat ia menderita aku tidak akan menyerah, aku akan membayar atas nyawa ibuku yang ia korbankan dan kebahagiaan kecil yang ia renggut dari ayahku. Aku akan membalasnya, dan sebelum itu aku tidak akan berhenti—tidak akan pernah."

...

"Kenapa kita tidak mencobanya saja?"

Justin mendongak tidak percaya, tangannya yang sejak tadi asik memutar pistol berhenti dan matanya menyipit tajam pada layar monitor di depannya. "Kau bicara apa?"

"Yah, aku hanya menyarankan. Kalau kau tidak mau ya sudah."

Justin mendengus, "Ini belum selesai."

"Siapa juga yang bilang selesai," sosok wanita di layar monitor memberengut. "Aku berbuat kesalahan kemarin—"

"Jadi sekarang kau mengaku?"

"Jangan potong ucapanku bedebah," si wanita mendelik. "Aku hanya merasa bersalah. Kenapa juga kau tidak bisa mencegah Yang Mulia Raja pergi ke Pebios?"

"Aku ada di Vatikan jika kau lupa."

"Kau hanya berlagak saja dengan pergi ke sana," si wanita mencibir. "Sudah bertemu bos?"

"Aku akan bertemu dia malam ini setelah ia tiba, dia sedang ada di Chevailer. Terakhir yang aku tahu, menemui seseorang."

"Untuk apa? Dia semakin mencurigakan saja."

"Aku masih mencari tahu, jangan banyak omong."

Si wanita menyibakkan helai kecoklatannya dan mencebik, "Aku mau kau kembalikan Kid padaku sekarang."

"Untuk apa? Aku masih butuh dia."

"Kau mau cari informasi apa Curry? Kau tahu segala hal yang terjadi di Vatikan, kau hanya melakukan pencintraan. Bawa kembali Kid kemari, aku lebih membutuhkannya."

Justin mendesah jengkel, "Dengar lesbian brengsek. Ada hal yang masih harus aku cari tahu di sini, aku butuh Kid dan itu bukan urusanmu. Bereskan saja masalah yang kau buat di sana, jika kau membuat semua ini berantakan aku bersumpah, aku akan menggantungmu di dermaga."

Pemuda bersurai pirang itu lalu mematikan panggilan videonya dan menutup layar laptopnya kasar, dengan kesal ia meraih pistol di meja sebelum memasukkan di balik jas sementara pistol yang sejak tadi ia genggam di tangannya ia selipkan di pinggang. "Harusnya ini selesai dengan cepat, aku muak."

Justin berderap ke pintu-berkaca sebentar di jendela yang memantulkan langit malam Vatikan-sebelum berjalan ke luar dan menyusuri lorong berkarpet merah tempat apartement ia tinggal selama di negara Katedral ini. Pemuda itu kemudian menuju ke lift, menunggu selama beberapa saat hingga lift terbuka dan masuk, menekan tombol menuju lantai basement. Justin bersandar ke dinding lift yang keemasan dan menghela nafas, tangannya yang sedikit basah akibat keringat menyugar rambutnya dengan kasual ketika kaki jenjangnya melangkah ke luar lift.

Ajudan Raja itu kemudian masuk ke sebuah mobil mercedez hitam yang terparkir di sudut basement dan menyalakan mesin, menekan pedal gas sebelum melaju cepat menyusuri jalanan Kota Vatikan. Langitnya berawan, dan lampu-lampu jalan yang kekuningan mulai menyala menuruti sensor cahaya. Pemuda awal dua puluh tahunan itu kemudian memarkir menghentikan mobilnya di belakang sebuah truk boks. Meraih kacamat di dasboard, Justin membuka pintu dan melangkah keluar. Matanya awas melirik samping sembari menutup pintu mobil, ia kemudian berdiri tegap, merapikan jasnya dan berjalan menuju gerbang gereja yang terbuka separuh.

Bibirnya luwes menggulirkan senyum kala ia menangkap sosok biarawati yang melambai padanya dengan ramah, kepala pemuda itu menunduk sopan sebelum berjalan mendekat dan mendapat tepukan ramah dari sang biarawati.

"Kau berkunjung lagi Nak?" biarawati itu bertannya ramah.

"Ya," Justin menjawab sopan. "Saya ingin berdoa, kemarin banyak masalah datang. Saya pikir berkunjung ke gereja bisa membantu."

"Itu bagus," sang biarawati tersenyum. "Masuklah."

Justin mengangguk dan mengikuti langkah sang biarawati yang menuntunnya ke dalam. Pemuda itu mendongak dan memandang pemandangan gereja yang masih sama, mungkin yang membedakan hanyalah karena hari ini ada seorang wanita yang duduk di kursi baris kedua. Sedang menunduk membaca Alkitab dengan serius.

"Kalau boleh tahu," Justin memulai. "Siapa nama anda?"

Biarawati itu menoleh, "Aku?"

"Ya."

"Maria, namaku Maria."

Justin tersenyum, "Nama anda mirip dengan nama bibi saya."

"Begitu?" Maria tersenyum lembut. "Senang mengetahuinya."

Justin mengangguk sembari mengambil tempat duduk di barisan terdepan, ia kemudian mengawasi saat biarawati itu berjalan ke samping dan masuk ke lorong gereja yang ada di dekat altar. Matanya melirik awas pada sosok wanita yang tengah menunduk hikmat di atas alkitabnya, sebelum bangkit dengan mulus dan berjalan ke kursi belakang. Pandangannya jatuh pada karpet kashmir yang diggulung dan disandarkan di pojok ruangan; tepat dibalik tirai merah yang ketara sangat berdebu. Ajudan Raja itu berdeham, sebelum dengan cepat menyelinap ke balik tirai dan bersandar—pada sebuah pintu kayu yang membuat senyum kemenangan terlukis diwajahnya.

Pemuda itu menyentuh gerendel pintu yang sudah karatan dan dengan cepat melepasnya, dengan gerakan hati-hati ia mendorong pintu itu hingga terbuka dan menyelinap masuk. Tangannya dengan cepat masuk ke kantong celana dan mengambil ponselnya saat kegelapan pekat menyambutnya. Justin menyalakan senter, sebelum mengarahkan cahayanya untuk menyinari visi hitam di depannya.

Sebuah tangga.

Justin menyentuh pegangan tangga yang berdebu dan melangkah turun, kepalanya menunduk sesaat saat atap bangunan menjadi semakin rendah di anak tangga terbawah. Pamuda itu mendecak, tersenyum saat di ujung tangga muncul sebuah gerbang besi tua yang tertutup. Kakinya mengambil ancang-ancang, sebelum menendang gerbang itu keras-keras hingga terbuka dengan suara memekak yang bergaung. Justin melanjutkan langkahnya, mendesah lega saat ia menangkap gorong-gorong panjang yang berbunyi bersama aliran dan tetesan air.

Kaki-kakinya yang panjang berjalan agak cepat, berbelok di ujung gorong-gorong dan menyentuh pipa kelabu yang mulai dirambati lumut.

"Jadi disini?" ia berbisik bersama seringai puas.

Matanya mengamati pipa kelabu yang ia yakin usianya masih belum terlalu tua, dengan waspada ia mengikuti alur pipa itu dan terkekeh kala pipa itu berhenti di depan sebuah lubang mengangga yang besar. Basah dan lembab oleh suhu serta jamur. Justin melongok, melihat sebuah tangga kecil dan menuruninya dengan tergesa. Dadanya membuncah oleh rasa penasaran dan ketidaksabaran—antusias atas apa yang akan ia temukan sebentar lagi.

Ajudan Raja itu berhenti saat kakinya menapak lantai dasar yang nyatanya berkeramik putih; walau kini sudah retak dan lusuh termakan usia. Punggungnya berbalik dengan hati-hati, dan mulutnya menyemburkan tawa saat ia menatap ruangan yang berbau apak. Penuh berisi ranjang besi dan meja-meja yang berantakan; oleh jarum, infus dan peralatan laboraturium.

"Aku menemukannya."

...

"Kita sampai."

Louis memarkirkan mobilnya di depan pelataran Katedral dan keluar mobil tanpa repot-repot menunggu sosok yang duduk di sampinya. Panglima itu bersedekap, menatap pintu katedral dan berjalan menaiki tangga kecil di depannya; mengabaikan sosok lain yang mengikutinya dengan dengusan jengkel.

"Dia dimakamkan di sini?"

"Menurutmu?" Louis melirik. "Masuk dan selesaikan kunjunganmu Andrew, aku masih punya urusan yang harus diselesaikan."

Andrew mendengus, "Urusan apa yang kau punya? Kerajaan ini bahkan tidak sedang menghadapi pemberontakan."

"Sebentar lagi," Louis melirik sepupunya itu. "Aku bisa melihat seseorang mencoba mengambil langkah."

Nada Andrew skeptis, "Terserahlah."

Kedua pria itu memasuki Katedral sebelum berbelok di lorong pertama yang langsung menuju ke halaman belakang tempat pemakaman kerajaan berada, ada sebuah gerbang putih yang menyambut mereka begitu mereka tiba. Mengarahkan jalan menuju ke halaman berumput hijau yang diisi oleh nisan-nisan dan gundukan tanah yang ditata rapi. Louis mengikuti jalan setapak yang paling besar, ia kemudian membawa kakinya ke belokan di kanan menuju ke pavilliun putih bersulur bunga ivy. Panglima itu menoleh sesaat pada sosok sang sepupu yang masih berjalan santai, sebelum berhenti di bukit kecil yang makamnya masih tampak baru.

"Ini?"

Louis hanya mengguman sebagai jawaban.

Andrew mendengus kesal, ia dengan cepat kemudian berjongkok. Menyentuh nisan marmer itu dan meraba tulisannya, "Jadi di sini? Ternyata dia benar-benar sudah meninggal, ya?"

"Jangan bicara omong kosong," Louis mendengus sembari berbalik untuk pergi. "Kau sudah lihat kan, ayo kita pergi."

"Apa kau pernah berpikir bahwa yang sebenarnya berbaring di sini bukan mayatnya?" pertanyaan Andrew menghentikan langkah Louis begitu saja.

"Apa maksudmu?" Louis berbalik dan menaikkan alis. "Maksudmu, ini bukan mayat Yang Mulia Ratu?"

"Bisa dibilang begitu."

"Aku melihat pemakamannya dan," Louis berhenti. "Mayatnya, mereka sudah melakukan pengecekan dan itu memang mayat Yang Mulia Ratu. Jangan berbicara yang tidak-tidak."

"Aku hanya bertannya," Andrew mengguman sembari memandang ukiran nama di nisan. "Apa hasil pengecekannya memiliki berkas yang bisa aku lihat?"

"Dan kenapa pula kau harus melihatnya?"

"Hanya ingin tahu," bahu Andrew naik dengan acuh.

Louis berbalik menatap sepupunya, sebelum bersedekap dan melempar pandangan tajam. "Apa yang sebenarnya sedang kau cari Andrew?"

"Bukan apa-apa," sepupu Raja itu bangkit sambil terkekeh. "Aku selama ini tinggal jauh dari istana, aku hanya berbela sungkawa. Apa yang salah?"

"Jika kau berbela sungkawa, kau harusnya datang saat pemakaman dan kau," mata adik Charlotte itu menyipit. "Tidak perlu tahu mayat siapa yang dikebumikan di sana, ya kan?"

Andrew mendecih, "Jangan memasang tampang itu. Kau bukan lagi serigala Yang Mulia Raja. Lagipula aku tidak bisa datang saat pemakaman, izinku baru datang beberapa minggu lalu."

"Padahal seingatku kau sudah berkali-kali datang kemari tanpa izin, kenapa sekarang kau mengarang alasan? Kau merencanakan sesuatu, ya kan?"

"Aku tidak," Andrew menaikkan sebelah alis. "Sudahlah, kenapa kita terus-terusan mencurigai satu sama lain? Kita tahu kita tidak pernah melakukan hal yang salah kan?"

"Jangan berlagak munafik," sahut Louis dingin.

"Oke," tangan sepupu Raja itu naik dengan gesture menyerah. "Terserah, baiklah. Daripada itu, ngomong-ngomong, bukankah Wendy dimakamkan di sini juga?"

"Kenapa juga ka—"

"Ya, dia dimakamkan di sini."

Louis dan Andrew berbalik saat mendengar suara lain yang memotong obrolan mereka. Louis membungkuk pelan sementara Andrew tersenyum tipis sembari menunduk sedikit.

"Yang Mulia," Louis mengguman pelan.

Richard menatap panglimanya itu dengan senyuman tipis sebelum beralih kepada Andrew, "Ya. Wendy dimakamkan di sini, tapi ia berada di pavilliun luar," kepala Raja itu meneleng ke barisan makam di dekat jalan setapak besar. "Ini hanya makam untuk para Ratu."

"Kupikir Wendy akan termasuk?" Andrew tersenyum sedikit.

"Dia meninggal," nada Richard tenang. "Sebelum pernikahan diadakan, statusnya belum berubah. Selain itu, apa yang tengah kalian berdua lakukan di sini?"

"Mengunjungi mendiang Yang Mulia Ratu," jawab Louis cepat. "Apa Anda juga sedang berkunjung Yang Mulia?"

"Ya," Richard tersenyum sebelum melangkah mendekat ke makam istrinya. Ada Fleur dibelakangnya, membawa seikat bunga yang masih segar. "Aku lama tidak kemari, jadi hari ini aku menyempatkan untuk datang." Raja itu membungkuk dan menaruh seikat bunga yang diserahkan oleh Fleur. "Ngomong-ngomong Andrew," mata Richard melirik salah satu sepupunya yang masih berdiri diam di sisi Louis. "Kapan kau tiba di sini? Kenapa tidak berkunjung ke istana?"

"Maaf, aku tidak sempat. Aku baru sampai kemarin."

"Begitu," tangan Richard membelai marmer bertuliskan nama Redd pelan. "Pihak otoritas bandara bilang kau kemari beberapa bulan lalu."

"Untuk mengunjungi pabrik," jawab Adrew cepat. "Ada masalah dengan perusahaanku di Pebios."

"Ya," Richard bangkit berdiri dan memasukkan tangan ke saku. "Sayang sekali saat itu kau tidak datang ke istana, kau mungkin masih sempat menemui Mendiang Ratu saat itu."

"Aku mendengar tentang Mendiang Ratu," mata Andrew berkilat aneh. "Sering sekali."

"Oh, ya?" yang menyahut kali ini adalah Louis. "Jadi di Kanada sana ada banyak cerita tentang Ratu Chevailer? Wah, tidak aku sangka Ratu kami sangat terkenal."

"Kanada adalah negara perserikatan Inggris jika kau belum tahu, dan cerita Ratu Chevailer nyaris sama dengan Kate Middleton. Mereka sering disama-samakan, kau tidak pernah baca berita?"

Kalimat pedas yang sudah siap dilontarkan oleh Louis,dipotong oleh Richard yang tertawa kecil. "Sudahlah, kalian selalu tidak berubah. Aku yakin sejak tadi kalian sudah berdebat, jadi hentikan. Datanglah ke Arcene Andrew, aku akan senang sekali kalau kau mau makan malam di sana."

Andrew tersenyum, "Suatu kehormatan. Tentu saja aku akan datang Yang Mulia."

Raja Muda itu tersenyum kecil, "Baiklah. Aku pergi dulu, masih ada hal yang harus aku selesaikan. Sampai jumpa saat makan malam,"dan Raja itu berbalik pergi bersama Charles dan para pengawal yang sedari tadi menunggu di gerbang pavilliun. Melewatkan Andrew yang menyeringai kecil dan Louis, yang bertukar pandang penuh arti dengan Sang Ajudan.

.....

次の章へ