webnovel

Deal With The Devil

Power always thinks it has a great soul and vast views beyond the comprehension of the weak.

- John Adams

Former President of the United States

>===o===<

Berada di kelas yang isinya orang-orang pintar dan jenius memanglah sebuah dambaan bagi setiap murid.

Kenapa harus dia yang ditempatkan di sana?

Bersama dengan mereka yang jenius.

Bersanding dengan mereka yang mempunyai reputasi.

Kenapa harus dia?

Padahal ....

Dia hanya orang yang selalu berusaha menyembunyikan potensinya!

"Tuan Zafer ...."

Di tengah perasaanku yang bimbang, masih saja ada seorang pengganggu.

Masih dengan menundukkan kepala serta pandangan samar-samar gelap. Raga dan batinku masih tak menerima hasil pemilihan kemarin. Antara rasa penyesalan dan kekesalan beraduk jadi satu. Kedua tanganku yang terlipat di atas bangku pun tak kunjung diam bergetar.

"Tuan Zafer ... apakah anda baik-baik saja?" Kali ini suara gadis, mau sampai kapan mereka begini.

Selain itu, prediksi dan rencanaku meleset. Ini adalah kali pertamanya dalam masa Sma ku. Kegagalannya untuk kembali ke puncak sangat-sangat membuatku kesal. Selain itu juga, aku sangat menyesal karena mengambil keputusan untuk mengukur elektabilitasnya.

"Tuan Zafer ... Tuan Zafer ... Tuan!" Ah mereka mulai mengusik tubuhku.

"Tuan Zafer! Tuan!" Kesal sekali rasanya, para cecunguk ini seenaknya saja mendekatiku.

Ckh ....

"Kalian semua berisik! Menjauh dariku!" bentakku masih dengan posisi tertunduk menyembunyikan wajah.

"Maaf tuan ... tapi tongkat komando anda berwarna-"

"Apa!"

"Me ... merah ... hiks," ujar salah seorang gadis terdengar mulai menangis.

Seketika mataku terbelalak dan menatap tongkat ini. Padahal tadinya warna tongkat ini masih tosca. Namun, kini telah berubah. Warnanya sungguh berbahaya bagi kelas kami. Akan tetapi, ketika teringat hasil keputusan kemarin. Hal tersebut membuatku sangat kesal. Meskipun begitu, aku sendiri belum melakukan interaksi dengannya.

"Tuan Zafer! Tuan Zafer! Tuan-"

"APA LAGI?!" bentakku memotong panggilannya.

"Maaf mengganggu, tapi sedang ada seorang murid lelaki yang terlihat aneh ingin bertemu dengan anda," ujarnya masih menegaskan wajah.

"Siapa dia?" tanyaku mulai mengangkat kepala dan melihat ke arahnya.

"Maaf saya tidak-"

"Bagaimana bisa kau tidak tahu dasar bodoh!" potongku.

"Maaf tuan, tapi mukanya sangat asing di antara seluruh angkatan kita," ujarnya mulai merasa cemas sembari menggeser geser posisi kornea matanya ke kiri.

"Betapa bodohnya dirimu, kenapa kau tidak menanyainya? Asalnya, dari kelas mana, dan yang lainnya!" balasku masih membentaknya.

"Maaf tuan, tetapi murid itu tidak mau menjawab hal tersebut, saat saya tanyai, dia bilang ingin langsung bertemu dengan-"

"Suruh dia masuk, cepat!" bentakku.

Tanpa membalas perkataanku, cecunguk itu langsung berbalik badan dan sedikit berlari menuju pintu masuk untuk menemui lelaki aneh yang dia bilang. Bikin naik pitam saja nih para cecunguk. Kucoba untuk menenangkan kepala dan melihat sekitar. Kurasa tak sedikit yang mengkhawatirkanku. Anak buah yang barusan kusuruh terlihat sedang berjalan kemari bersama murid itu. Terlihat lama, mungkin karena tempat dudukku yang berada di belakang.

"Silahkan, tuan sudah menunggu anda," ucap anak buahku mempersilahkannya.

Dia pun melangkah mendekatiku dengan senyum lebar terpampang di wajahnya. Sekilas aku tak dapat membayangkan tujuannya datang kemari. Apalagi aku tak pernah melihat wajahnya dan bagiku tampangnya cukup membuatku gelisah.

"Wah Zafer, sudah lama tak jumpa, bagaimana kabarmu?" sapanya sambil tersenyum lebar.

Orang ini terlihat sok kenal kepadaku. Penampilannya cukup aneh. Warna kulitnya putih pucat bagaikan mayat dan rambutnya juga berwarna putih seperti, seorang kakek? Hanya saja dapat kuperhatikan lebih detail lagi kalau dia ini sama mudanya sepertiku. Namun perbedaannya itu, tingginya kutaksir sama dengan Rafael dan postur tubuhnya cukup ideal bagiku. Hanya saja, yang paling membuatku tak senang memandanginya terlalu lama adalah warna iris matanya yang terlihat seperti darah.

"Kau siapa?" tanyaku masih menatap tajam matanya.

"Hmm, kamu tak ingat denganku ya? Wah tak kusangka mereka benar-benar menghapus ingatanmu ...," ujarnya santai.

"Mereka?" tanyaku curiga.

"Em Pi" ejanya.

Sejenak aku memikirkan ucapannya. Em Pi bisa dimaksudkan dengan MP lalu kurasa itu sebuah singkatan apakah yang dia maksud adalah mereka dari Master Plan? Itu kan organisasi yang tiba-tiba muncul kemarin. Lalu apa hubungannya dengan diriku yang tak mengingatnya? Tapi kurasa aku ingat dengan ucapan ketuanya itu. Siapa ya namanya? Claudia kalau gak salah.

"Hmm ... badan eksekutif tertinggi yang beranggotakan sepuluh orang dan bekerja di balik layar yaa ...," gumamku.

"Ah apa yang kamu bilang?"

"Tak apa-apa!" sahutku.

Apa karena otoritasnya yang besar dan tinggi dapat membuat mereka ..., ah tak mungkin lah. Mereka semua kan sama-sama murid sepertiku dan yang lain.

"Yaahh ... jadi kau tak mengingatku sama sekali yaa," kesalnya sambil melirik ke arah lain. Sejenak kulihat kalau senyumannya itu mulai luntur.

"Hem?" responku bingung dengan maksudnya.

"Kuharap Rafael tetap ingat kepadaku," ujarnya mulai membalik badan, "kalau begitu daa," ucapnya sambil melambaikan tangan.

"Tunggu sebentar!" panggilku.

Dia langsung memberhentikan langkahnya lalu memutar tubuhnya sembilan puluh derajat dan kepalanya menoleh ke arahku. Sekilas kulihat ekspresi tidak puas itu dari wajahnya. Cukup kesal rasanya dipandang dengan raut muka seperti itu, tapi aku harus sedikit bersabar.

"Apakah kau mengenal Rafael?" tanyaku.

"Jangan bilang kau juga lupa dengannya," ucapnya sangar masih menunjukkan wajah ketidakpuasan.

"Hah, mana mungkin bisa aku melupakan partner ku dalam hal autokrasi-"

Brrakk

Suara itu hasil dari hentakan tangan kirinya dengan telapak terbuka. Cukup membuatku dan murid-murid lainnya kaget kemudian memusatkan perhatian kepadanya.

Raut wajah ketidakpuasannya kini berubah kembali menjadi senyum lebar yang tadi. Lirikan matanya itu sangat menggangguku. Jujur saja, aku hanya bisa terdiam dengan tatapannya yang seperti orang gila.

"Wah ... bagus kalau begitu! Apa kamu mengingatku?" tanyanya.

"Tidak," jawabku heran.

"Haaahhh membosankan," ucapnya sembari memutarkan sebuah kursi dengan tangan kirinya lalu segera mengambil posisi duduk di kursi tersebut.

"Hey, siapa yang menyuruhmu duduk!" ujar salah satu murid.

Seketika pergerakannya terhenti dan mulai menoleh serta menatap tajam murid yang mengatainya. Sekilas tatapan itu terlihat seperti mempunyai niat ingin mencelakai orang lain. Nampaknya jika kubiarkan akan rusuh.

"Biarkanlah dia," suruhku kepada murid yang mengatainya, "jadi apa maumu berkunjung ke sini," ujarku kembali melihatnya.

"Yaaa, sekedar salam sapa saja ... apalagi sudah lama kita tak bertemu dan mengobrol bersama seperti dulu," ujarnya sembari mengambil posisi duduk.

"Memangnya kita pernah satu sekolah?" tanyaku.

"Tidak."

"Lalu?" heranku.

Dia memajukan posisi dan tempat duduknya. Lalu melipatkan tangannya di atas mejaku. Rasanya aku risih sekali melihat sikapnya yang seperti seenaknya saja. Dia semakin memajukan bibirnya ke arah salah satu telingaku.

"Jadi kau sama sekali tak ingat kudeta satu tahun yang lalu di sini?" bisiknya.

Maksudnya? Satu tahun yang lalu di sini? Setahun yang lalu.

"Maksudmu apa? Setahun yang lalu kita semua masih SMP dan belum pernah ada di tempat ini," geramku.

"Hoo jadi sama sekali tidak pernah ada di tempat ini yaa, apakah kau ingat umurmu berapa?" Tanya dia kurasa mulai memastikan sesuatu, namun ada suatu hal yang tak kupahami.

"Umurku berapa? umur itu apa?" Tanyaku penuh rasa kebingungan dan curiga.

Ekspresinya kaget seakan-akan menganggapku aneh, setelah mendengar ucapanku.

"La lalu bagaimana dengan usia?" tanya dia mulai menunjukkan raut resah.

"Apalagi itu, kau mau mengerjaiku dengan bahasa asing hah?!" ujarku mulai kesal dengan pertanyaannya.

"Ahaha ... hahaha ga mungkin, mereka benar-benar gila sampai sedetail itupun mereka hilangkan," ujarnya sedikit tertawa namun seakan-akan tak percaya dengan realita.

"Mereka? ah aku tau siapa yang kau maksud, tapi tolong jangan buat aku kesal dan bingung," sahutku.

"Mengapa aku tidak membuatmu kesal dan bingung? Kan sudah kebiasaanku dari dulu membuatmu bingung dan kesal," ujarnya mulai tersenyum lebar menuai sebuah harapan.

"Ah jadi kita benar benar akrab ya dulunya? kau bisa jelaskan sesuatu tentangku?" ucapku memastikan.

"Kau sedari dulu hingga sekarang tak berubah sama sekali loh! Bernama Zafer Al Jericho dan masih berkulit cokelat muda dan berambut cokelat tua serta bergaya rambut cukup lebat bergelombang, apalagi yang khas darimu ini terlihat jelas ras semitnya, jadi ga heran sih kalau kau ini berasal dari uni emirat arab, meskipun begitu kau cepat emosi namun tetap bijak dalam menjadi pemimpin," jelasnya.

Hmm ... tak kusangka dia akan mengatakan begitu banyak. Tapi, kurasa aku dan dia memang pernah akrab dulunya. Kalau begitu, bagaiman jika kupastikan identitasnya, "tapi ... maaf saja nih, mungkin dengan memperkenalkan dirimu sekali lagi bisa membuatku mengingatmu kembali."

Kukira setelah mengatakan itu, senyumnya akan luntur lagi. Tapi, dia semakin terlihat senang saat mendengarkan ucapanku.

"Oke kalau begitu, kuperkenalkan diriku sekali lagi," ucapnya mulai melepas lipatan tangannya dan menunjuk dirinya sendiri, "namaku Samael, lengkapnya Samael Sechszehn dari kelas U."

Namanya seperti tidak asing tapi ada dua hal yang membuatku bingung.

"Bentar bentar, apa nama belakangmu?" tanyaku.

"Bisakah aku meminta kertas dan alat tulis?" tanya Samael kembali.

Sikapnya masih saja semena-mena. Aku langsung mengambil sebuah buku dan pulpen dari kolong bangku lalu memberikan kepadanya. Dia langsung membuka buku itu pada suatu halaman dan menuliskan nama belakangnya.

Sechszehn.

Setelah usai menulis, dia langsung memutarkan buku itu sehingga tulisannya terbaca jelas kepadaku. Namun, aku sendiri kesulitan membacanya.

"Ah gimana? Duh namamu sangat menyulitkanku," ujarku.

"Aahh ... nama belakangku ini dibaca dengan logat bahasa jerman," jelas Samael.

"Jerman? Kenapa harus dibaca begitu?" tanyaku heran.

"Karena aku diciptakan di jerman," ucapnya tersenyum.

Argh ....

Entah kenapa kepalaku serasa pusing serta dan telingaku serasa berdenging. Sekilas aku tak kuat membuka mataku dan terpintas beberapa ingatan. Gambaran ingatan itu cukup samar-samar, namun di situ ada aku, Rafael, gadis berambut putih kurasa dia si ketua kelas C, dan gadis berambut panjang yang sepertinya itu si ketua kelas E dan seorang lelaki berambut putih, kurasa si Samael ini. Selain itu juga, terdengar samar samar bahwa Samael mengatakan hal yang sama. Suara denging itu mulai hilang dan kepalaku tak terasa berat lagi, tapi tetap saja pusing rasanya. Apa pemicunya itu ucapannya? Aku masih memegang jidatku dengan tangan kanan sambil menatapnya.

"Oh oke ... sepertinya aku ingat sesuatu, dan nampaknya kita pernah akrab sebelumnya," ujarku.

"Nah ... benar, kan," ucapnya.

"Tapi tunggu dulu."

"Hm?"

"Kenapa aku mengingat kalau kita pernah bersama namun ada enam-"

"Sssttt," desisnya menempelkan jari telunjuk di bibirnya sendiri.

Kurasa ada yang disembunyikan tapi berbahay jika diungkapkan. Tapi, tetap saja ada dua hal yang membingungkanku. Pertama adalah ucapannya tentang dirinya yang diciptakan lalu yang kedua tentang kelasnya dan terakhir.

Apa itu umur? Usia itu apa?

"Oke ... bisa kau jelaskan tentang kelas U ini? Kami sekelas bahkan tak pernah tau ada istilah kelas U," ujarku

"Hmm ... sayangnya kelas itu masih dirahasiakan dan aku sendiri tak boleh menjelaskan hal itu," kata Samael.

"Ayolah ... kita kan teman, tak ada salahnya menjelaskan hal itu kepadaku," balasku.

"Tetap saja kawan, aku sendiri tak berani karena mereka memantau segala hal yang ada di tempat ini," ujar Samael serius.

Aku paham siapa mereka ini. Sepertinya ada sesuatu di kelas itu. Aku jadi penasaran sekaligus curiga. Hmm ... apakah aku harus mengerahkan unit khusus untuk menyelidiki hal ini. Namun, mendengarnya menjelaskan sesuatu tentang Master Plan membuatku jadi ragu untuk mengambil keputusan. Ah iya lagi satu.

"Aku mau nanya lagi nih."

"Nanya apa?"

"Umur dan usia itu apa?"

"Pfftt ...."

"Woi apanya yang lucu!?" bentakku.

"Kau tau apa itu tanggal lahir?"

"Ga."

"Pfftt HAHAHAHAAHAHA kau bahkan tidak tau hal remeh seperti itu ... HAHAHAHA," ujarnya tertawa terbahak-bahak hingga mengundang perhatian anggota sekelas.

Sekilas aku jadi malu, tapi aku tak boleh emosi mengingat dia ini tamuku.

"Tapi ... jika kau sangat ingin tau informasi tentang umur, usia dan kelasku, maka ada satu hal yang harus kau lakukan," jelas Samael.

Haruskah aku menurutinya? Tidak seperti diriku yang biasanya. Tapi, karena terlanjur penasaran, maka akan kudengarkan dahulu.

"Apa itu?" tanyaku.

Senyumannya semakin lebar, bahkan mampu menyaingi senyuman seorang badut.

"Kau hanya perlu menantang kelasnya Rafael dalam perang antar kelas nanti, jika kau sudah melakukannya, aku akan memberikan segala informasi tersebut," jelas Samael.

"Jangan harap kau-"

"Harusnya aku berharap seperti itu, mengingat kegagalannya menjadi ketua kelas, itu pasti membuatmu kesal, kan? Yaa aku juga merasakan begitu," potong Samael.

"Jadi?"

"Maka daripada itu mari kita jatuhkan ketua kelas A yang sekarang, dengan begitu pasti Rafael akan maju," jelas Samael.

"Kita?"

"Tentu saja! Aku akan membantumu mencari informasi tentang murid-murid yang ada di kelas A, dengan begitu kau dapat menyesuaikan penyerangan."

Boleh juga tuh. Tapi, menantang kelasnya Rafael yaaa. Aku cukup ragu untuk saat ini. Akan tetapi, yang dia ucapkan ada benarnya. Ini demi membuat Rafael menunjukan potensinya.

"Bisakah aku mempercayaimu?" tanyaku memastikan.

"Tentu saja! Kita kan teman," sahutnya.

"Okelah kalau begitu-"

Sreg

Samael terlihat memundurkan kursinya. Lalu dia segera berdiri dan keluar dari tempat duduknya.

"Kalau begitu, kita sudah sepakat. Aku masih ada urusan di kelasku. Baiklah, aku pamit undur diri dulu," ujarnya langsung berbalik badan dan melangkah menuju pintu keluar kelas.

Jadi ... apa benar kalau aku dan dia itu sebelumnya akrab? Kenapa diriku jadi ragu dengan isi kepala? Ah kulihat dia memberhentikan langkahnya. Dia mulai menoleh ke arahku dengan sebuah senyuman dingin.

"Woi Zafer! Jangan sampai kau membohongiku lagi ya! Camkan ini! Kelasku lebih tinggi dan hebat dari kelas A!" ujarnya dengan lantang bahkan kurasa mampu terdengar sampai keluar kelas. Dia mulai kembali menatap ke depan dan melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.

Aku masih sangat sangat bingung dan penasaran dengannya. Siapa sebenarnya Samael? Kelas U itu kelas apa? Lalu, ada apa dengan isi kepalaku ini? Sementara itu kucoba sesuatu.

"Woi kamu."

"Saya?"

"Iya, sini cepetan!"

"Ada apa?"

"Kamu tau sesuatu tentang umur dan usia?"

"Apaan tuh bos? Makanan? Enak gak?"

"Dahlah bawahanku saja ga paham."

>===÷===<

Cerita ini adalah Fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

次の章へ