20 Jam Kemudian,
Minggu, 12 Feb 2023
7:32 AM
Kediaman Black
"Pagi ini, ditemukan sebuah mayat yang diduga merupakan menteri pertahanan, Robert Valanche. Korban memiliki luka tembakan di area kepala. Hingga saat ini, kepolisian masih menyelidiki kasus pembunuhan tersebut."
Baru sehari kedatanganku di kota ini, sudah ada pejabat yang terbunuh. Mike berasumsi jika itu adalah gerakan awal Ricardo dalam menjalankan rencananya, dan aku dituntut cepat dalam menangani perburuan ini.
Ku Kenakan kemeja biru gelap dan memastikan semua persenjataanku sudah siap. Sebilah pisau beserta 4 anak panah dan 5 magasin yang berisikan peluru 9mm pun juga dibawa. Masker hitam sudah terpasang menggantung di leherku. Aku mulai melangkah ke garasi. Mike berkata jika dia sudah menyediakan kejutan disana. Aku penasaran, sebenarnya apa yang ada didalam garasi tua itu.
Saat pintu di buka, si garang Ford Mustang sudah menungguku disana. Mobil Rear-Wheel Drive dengan mesin v8 berkapasitas 5.8 L penghasil 650 tenaga kuda itu mampu melaju dengan kecepatan hingga 200 meter per jam. Tak heran jika semua orang menyukainya, begitu juga denganku.
Hari ini aku akan menemui seorang penjual informasi di Assault City. Rumor mengatakan bahwa dia memiliki banyak sumber dan hubungan dengan beberapa orang dikota ini sehingga informasinya sangat akurat. Kurasa informasi mengenai Ricardo akan sedikit lebih mahal jadi untuk sementaraku sediakan 200 dolar sebagai bayaran awal. Ku harap dia bisa diajak kooperatif, jika tidak mungkin aku hanya akan menggunakan sedikit kekerasan.
***
Rumah Nomor 34 di area perumahan Lucye, merupakan alamat rumah milik sahabatku. Tak banyak yang berubah, hanya saja bangunan ini terlihat sedikit tua. Namun, tidak mungkin rasanya jika sahabatku adalah informan yang dimaksud. Kurasa rumah ini sudah berganti penghuni. Aku mulai berjalan mendekati pintu dan mengetuknya. Seseorang mengintip dari dalam.
"Siapa disa... Oh, ini benar-benar Kau!"
Huh? Suaranya terasa sangat familiar. Seperti suara sahabatku semasa SMA, namun sedikit lebih berat. Saat pintu dibuka, seorang pria berjanggut tipis muncul di hadapanku. Bekas luka di matanya mengingatkanku pada seseorang. Lalu kusadari jika dia adalah sahabat lamaku, Tommy.
"Black, bagaimana kabarmu?"
"Y-Yeah aku baik-baik saja. Hei, apa kau selalu begini setiap ada tamu?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah shotgun yang dia pegang.
Terkejut, dia langsung menaruh Remington miliknya di samping pintu. Aku langsung tertawa kecil melihat kelakuannya, ternyata masih sama seperti dulu. Dia langsung mengajakku masuk. Didalam, rumah bergaya Western yang dulunya tertata rapi sekarang menjadi sangat kacau. Banyak bungkus snack dan gelas kopi berserakan. Bahkan tubuh Tom sekarang agak lebih gemuk. Ya, begitulah sifat seorang pria jika tinggal menyendiri tanpa pendamping hidup. Tetapi hal itu tak berlaku bagi diriku.
Kami mengobrol sebentar sambil mengingat kenangan masa lalu. Pertama kali ku mengenalnya saat dia menolongku dari para pengganggu disekolah dulu. Hingga kini aku masih berhutang budi padanya. Kami terlalu asik mengobrol hingga aku hampir lupa tujuan utamaku untuk datang kesini.
"Hei Tommy, ku dengar kau menjual informasi apapun dikota ini. Apa itu benar?"
"Jadi itu alasanmu kesini?" Jawab Tom dengan ekspresinya yang agak kecewa.
"Ya, itu benar. Memangnya informasi yang kau butuhkan?"
"Aku ingin informasi apapun terkait dengan Ricardo Charles,"
Seketika raut wajahnya berubah drastis. Tak terlihat senyuman sedikitpun. Bahkan tatapannya mulai serius. Ia mulai menunduk, mengaduk-aduk kopinya tanpa henti. Seperti ada suatu hal yang dia khawatirkan.
"Aku mengenal orang itu, namun tidak untuk waktu yang lama. Tak banyak informasi yang bisa ku berikan, yang ku tahu dia menanyakan padaku tentang sebuah paket di Assault City. Katanya paket itu tersembunyi disisi gelap kota ini, namun kami tak menemukan apapun sehingga kami memutuskan kontrak. Kemungkinan barang yang dia maksud berada di tangan pemerintah."
Paket? Jadi ini "rahasia" yang Mike maksud. Sepertinya Ricardo tidak menjelaskan bentuknya secara spesifik. Namun apapun itu paketnya jika pengusaha seperti Ricardo sangat menginginkannya, tentunya akan ada juga organisasi lain yang berusaha mengambilnya. Mike juga pernah mengatakan jika kemungkinan paket tersebut berkaitan dengan senjata eksperimental ataupun barang berbahaya lainnya.
"Jadi, mau kau apa kan dari orang ini?"
"Aku akan membunuhnya."
Tom tiba-tiba berhenti mengaduk. Kalimat pendekku itu membuat dirinya terkejut. Dia melihatku dengan emosi yang tercampur aduk. Tom mulai menatapku lebih serius dan berkata,
"Dengar, aku tahu kau bisa membunuh 5 target sendirian. Tetapi pria ini sangat berbahaya! Dia memiliki organisasi kelas kakap dengan anggotanya yang siap membunuhmu dimana pun kau berada. Sebaiknya kau urungkan niatmu untuk mengakhiri hidupnya, atau sesuatu yang buruk akan terjadi padamu."
Kurasa kali ini Tommy benar-benar khawatir. Aku hanya bisa diam dan mencoba untuk menenangkannya. Dia memang tipe orang yang tidak ingin kehilangan teman bahkan sahabatnya karena dia hanya tinggal sendiri bersama adiknya. Ibunya meninggal saat dia dilahirkan dan ayahnya tewas dalam insiden perampokan bank. Namun aku sendiri tak bisa menghentikan perburuanku saat ini. Jika dia tidak dibunuh dan mencapai tujuannya, situasinya akan menjadi lebih buruk.
"Maaf Tom, aku tak bisa. Jika dia dapat paketnya, sesuatu yang buruk juga akan terjadi. Aku tidak tahu isi paket itu dan HQ juga tidak memberiku cukup informasi, jadi aku butuh bantuanmu untuk mencari tahu sekaligus melumpuhkan Ricardo. Tak apa jika kau tidak ingin membantuku, keputusan ada padamu."
Keadaan seisi rumah menjadi hening. Tom kembali duduk dan menarik nafas panjang, dia sedang mencari keputusan yang tepat. Aku tak punya pilihan dan aku juga tidak bisa menggunakan cara kekerasan. Lagipula, dia sahabatku.
"Heh, kau masih saja keras kepala seperti dulu. Baiklah, aku akan membantumu. Setidaknya aku sudah mencoba untuk mengingatkanmu. Tetapi sebelum itu, aku ingin kau melakukan sesuatu."
Dia menyodorkan sebuah foto. Anak lelaki berumur 16 tahun, masih SMA. Rambutnya pendek, berwarna pirang dan perawakannya kurus. Perokok aktif, tentunya tak baik bagi kesehatan paru-paru. Dilehernya terdapat tato berbentuk kobra dengan sisik merah yang mengelilinginya.
"Namanya Rooke. Dia sering mengganggu adikku di sekolahnya. Aku sudah memperingatkannya berkali-kali, tapi kau tahulah anak muda sekarang ini."
Minuman di meja mulai terasa dingin. Tommy mencoba meminum dan menghabiskan kopinya selagi hangat.
"Saat ini mungkin dia sedang berkumpul dengan temannya di lapangan basket sekolah. Tolong kirim pesanku padanya. Katakan jika dia tidak akan bisa menemui adikku lagi. Kau tahu kan maksudku?"
Aku paham apa yang dia mau. Tanpa pikir panjang ku ambil kunci mobilku dan berjalan keluar rumah. Seharusnya ini menjadi perburuan yang mudah. Saat mesin si Mustang dinyalakan, Tom kembali mendatangiku untuk memberikan sedikit tambahan.
"Oh ya, aku hampir lupa. Dia juga anggota baru dari gang Red Snakes. Kudengar gang itu sedang berbisnis dengan Ricardo dalam pasokan persenjataan. Jadi kau bisa mencari informasi tambahan darinya, setidaknya itu bisa sedikit membantu."
"Aku mengerti. Trims."
Baiklah, saatnya kembali berburu. Ku injak pedal gas dan mulai mencari mangsaku.
***
Puntung rokok dan sampah bekas bungkus obat berserakan di area lapangan basket itu. Sekumpulan anak muda sedang bersenang-senang disana. Mereka tampak bahagia dan bersemangat setelah meminum beberapa happy five, sedangkan seorang anak yang mengenakan jaket Hoodie masih terlihat biasa-biasa saja. Tiba-tiba telepon miliknya berdering. Dengan cekatan ia langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Hey Rooke, kembalilah ke markas. Ada 'permen' yang harus kau antar."
"Baik Boss."
Ia melakukan hisapan terakhir dan membuang rokoknya yang tersisa setengah kelingking itu. Rooke langsung memisah dari kawanannya dan memulai pekerjaan kotornya. Namun ditengah perjalanan, dia memiliki firasat buruk saat berpapasan dengan Mobil muscle berwarna biru tua di dekat sekolahnya.
Rooke berjalan di gang yang sempit. Seseorang sedang mengikutinya, bersembunyi di bayang-bayang. Tak tinggal diam, dia mencoba mengecoh dengan mengubah rute perjalanan namun rencananya tak bekerja. Rasanya ada malaikat maut yang siap mengambil nyawanya. Hingga akhirnya, ia terjebak karena langkahnya sendiri. Jalan buntu, hanya ada bangunan tua bekas pabrik didepannya.
Saat berbalik, dia melihat seorang pria berkemeja dengan masker hitamnya. Tangannya menggenggam pisau dan panah. Kini, rasa takut mulai menyelimuti Rooke. Dia mencoba berlari, lebih cepat. Namun kaki kanannya tak bisa menghindar. Tiba-tiba saja sebuah anak panah sudah menusuk salah satu pergelangan kakinya. Ia tidak bisa mendengar suara angin dari panah yang melesat. Kepalanya menoleh ke belakang. Orang itu sedang menggunakan pisau layaknya sebuah katapel. Dia memasang panah lain di karet yang terikat di pisaunya dan bersiap untuk membidik. Tak punya pilihan lain, Rooke kembali bangkit dan berlari ke bangunan didepannya meskipun dengan kondisi kaki kanannya yang terluka.
Ia bersembunyi dibalik pintu ruangan dan meraih tongkat kayu tepat di sampingnya. Anak itu sudah bersiap menyambut pria itu dengan kejutan kecil. Namun ada yang salah. Si pembunuh tidak segera muncul di hadapannya. Tiba-tiba Rooke mendengar suara korek api. Matanya melihat kebawah. Kaleng Coca Cola menggelinding di depannya. Tiba-tiba saja asap tebal muncul dari kaleng itu, dan Rooke terlambat menyadari nya. Ia tidak bisa melihat, tanpa disadari bahunya sudah digenggam dan kepalanya dibenturkan di tembok. Dia mencoba melihat raut wajah penyerangnya yang tertutup oleh masker. Pria itu adalah Black, orang yang ditugaskan Tommy untuk memburu Rooke.
Rooke mencoba untuk memukulnya balik dengan tongkat yang dia pegang tadi, namun pertahanan dan kecepatannya yang mulai melemah membuat kekuatannya juga ikut berkurang. Black mengambil kesempatan itu untuk menghindar dan melakukan serangan balik hingga tubuh remaja itu terlempar ke tanah. Rooke terkapar, tak bisa bergerak. Black mulai memasang kembali panah di katapel pisaunya dan membidik tepat di kepala Rooke.
"K-Kumohon, biarkan aku pergi."
"Apa kau anggota Red Snakes?" Tanya Black dengan tatapan dingin.
"Ya! Ya, aku memang salah satu dari mereka. A-apakah ini sebuah tes?"
Ia menunjukan tato dilehernya, kemudian menutupinya kembali dengan kerudung jaket.
"Tidak. Apa bosmu berurusan dengan Ricardo?"
"A-Aku tidak tahu soal itu. T-Tapi sepertinya, aku pernah mendengarnya di group chat gang kami. Ini, ambilah!"
Dengan tangannya yang masih gemetar, Rooke merogoh ponsel dari jaket dan melemparnya ke Black. Didalamnya, banyak percakapan yang meliputi perkembangan bisnis dari gang tersebut. Salah satunya merupakan transaksi pembelian senjata ilegal dengan organisasi pemasok yang bernama The Sellers, salah satu gang yang dipimpin oleh Ricardo.
"Ja-Jadi, boleh aku pergi sekarang?"
"Maaf, tetapi aku hanya mengantarkan pesan dari Tommy. Dia berpesan kalau kau tidak akan melihat adiknya lagi. Jadi, ku ucapkan selamat tinggal, Rooke."
Black kembali membidik, dan mengeksekusinya.
***
5 tahun yang lalu
"Baiklah, kurasa informasi itu sudah cukup. Trims."
Black kembali menaruh pisaunya disaku, bersiap untuk pergi. Kukira dia hanyalah siswa biasa seperti yang lainnya. Namun ternyata didalam hatinya, tersimpan dendam yang cukup dalam terhadap orang yang mengusik hidupnya. Jujur saja aku tak menyangka jika dia bisa seserius ini. Dia sudah berhasil membunuh 4 targetnya, tersisa satu target lagi.
"Hey Black, apa kau yakin akan melakukan ini?"
Dia hanya mengangguk dan berbalik, berjalan meninggalkan tempat ini.
"Aku mengerti. Jadi, apa rencanamu setelah semua urusan ini selesai?"
Langkahnya terhenti. Aku menoleh ke belakang, menunggu jawaban dari sahabatku. Matanya menatap keatas, melihat kumpulan bintang. Sepertinya dia masih kebingungan untuk memutuskan sebuah jawaban.
"Entahlah Tom, mungkin aku hanya akan meninggalkan kota ini dan mencari kehidupan baru."
"Hmm, baiklah. Pertanyaan terakhir. Apakah kita akan bertemu lagi?"
Tak ada reaksi lagi. Pandangannya masih melekat di langit malam yang indah. Aku menunduk, kurasa kami tidak akan bertemu lagi. Namun Black melemparkan sesuatu padaku. Sebuah peluru jenis Parabellum varian 9 x 19 milimeter.
"Jaga peluru itu, dan kembalikan saat kita bertemu lagi."
Kemudian dia pergi, kembali meneruskan perjalanan untuk memburu targetnya.
***
Aku menunggu kedatangan Tom di pinggir pantai San Torrino, tempat dimana kami berpisah 5 tahun yang lalu. Dia yang mengajakku kesini, untuk menerima laporan dan hasil buruanku tadi. 12 menit kemudian, dia datang sambil membawa sesuatu di genggamannya.
"Apa semua sudah beres?"
Ku tunjukkan panah yang ku gunakan untuk membunuh Rooke. Darah segar masih mengalir di paku yang berguna sebagai mata panah. Kali ini Tom benar-benar terkesan.
"Baguslah. Ngomong-ngomong, ini untukmu."
Sebutir peluru tua diberikan padaku. Tentu saja aku tidak lupa, itu adalah kenangan yang kuberikan pada Tom sebelum meninggalkan kota ini. Keadaannya masih bagus, setidaknya bisa digunakan untuk aksesoris seperti gantungan kunci.
"Jadi kau masih ingat, huh."
"Ya, tentu saja. Mana mungkin aku lupa."
Kami duduk bersama sambil menikmati sunset. Memang aku tidak mendapatkan bayaran yang pas dari perburuanku tadi. Tetapi bertemu dengan sahabat lama, merupakan kesenangan yang tak bisa dibayar oleh apapun.
***