webnovel

6

Naru berjalan gontai memasuki kelab malam, usai kejadian yang tak pernah diduga olehnya. Sikap Hinata malam ini terbilang yang paling buruk selama dia mengawasi gadis itu setiap harinya.

Masih kalut akan keterkejutan, Naru berdiri di tengah-tengah anak tangga setelah menuruni dengan keadaan yang semakin kacau, dan di tengah-tengah dia termenung, seseorang memeluk lengannya dengan gerakan cepat seakan-akan menahannya untuk tidak pergi dari sana.

"Kau tidak bilang akan ke sini," Gaara tampak senang dengan kehadirannya, wajah pemuda merah itu semringah namun setengah agak memerah karena teler. "Ayo ke meja kami, aku dan Sasuke berada di meja dekat bartender." Pemuda merah itu menyeret temannya yang loyo, pikir Gaara, mungkin terjadi sesuatu di tengah perjalanan tadi—sebenarnya yang ingin Gaara tebak, barangkali suasana buruk anak itu sedang kambuh, hal tersebut bahkan tidak sekali terjadi. Dan kehilangan arah adalah kebiasaannya, pasti tahu-tahu sudah ada di sini.

Di tempat nongkrong mereka, Sasuke sedang bermain kartu bersama pacarnya. Pemuda berambut hitam itu jauh lebih terkejut oleh kehadiran Naruto yang diseret Gaara, dan tidak mungkin Gaara-lah yang menyeret Naru untuk datang ke kelab malam. Kalau sekalinya pemuda itu menolak, mau dipaksa dengan cara apa pun, Naru tidak akan pernah terpengaruh, bahkan yang mungkin terjadi, kemarahan macam setan yang bakal ditunjukkannya.

Bersamaan dengan itu, seorang gadis yang duduk di sebelah kekasih Sasuke, mendekati Naru, bergelayut di lengan pemuda pirang itu seolah kenal baik, tetapi sebelum gadis itu dapat berjinjit untuk mencium pipinya, tangan Naru terangkat untuk mencekik gadis itu kuat—bakal mati, jika Sasuke tidak segera berpikir dia harus menengahi. "Kita bisa bicara, kita berdua," kata Sasuke kepada Naru, kemudian Sakura berdiri, gadis berambut merah muda itu menghela napas. "Keluarlah, tinggalkan kami berdua di sini sendirian," tidak mengeluarkan suaranya, Sakura menggeret gadis tadi dan juga Gaara, yang sebenarnya tidak ingin pergi.

Gaara agaknya mulai dibuat kesal, dianggap tak pernah ada di sekitar mereka, kehadirannya begitu samar seperti debu yang tak kasat mata kadang-kadang menjadikannya cukup muak. Pemuda merah itu selalu mempertanyakan mengapa Sasuke yang paling beruntung menjadi orang yang pertama kali diberitahu, kekacauan apa, atau masalah apa yang sedang dihadapi oleh Naruto.

Naru mendekati sofa, dan terbaring di atas sofa hitam kulit yang paling panjang sembari memandangi atap baja yang disorot oleh lampu diskotek menyilaukan. Bayangan tentang Hinata yang tak pernah menyesali perbuatannya itu terus menghiasi setiap ingatannya, dan semua itu terasa amat mengganggu.

"Terjadi sesuatu selama transaksi?" Sasuke mencoba menebak, karena seingatnya, laki-laki itu tidak menginginkan untuk menyelinap masuk ke kelab malam setelah transaksinya, dia mengaku akan langsung pulang, biar besok bisa menghadapi Hinata Hyuuga yang sulit didekati.

"Ya," jawabnya singkat. "Seseorang mati." Pemuda itu melanjutkan, dengan suara yang nyaris Sasuke tak mendengarnya, bukan hanya pelan tetapi begitu kelam, seolah tidak ingin mengakuinya.

"Kukira—" Sasuke meyakinkan diri untuk mengatakannya, mengedarkan pandangan ke segala ruangan sebelum melanjutkan, meski dia tahu tidak ada siapa pun di ruangan itu, kecuali orang-orang yang melewati dinding kaca depan, tempat mereka berada, dan mereka tidak akan bisa mendengar suara keduanya yang ada di dalam. "Bukan yang pertama kali kau dapat melakukannya."

"Kau benar," kali ini, Naru sendiri yang tampak ragu. "Bukan aku."

"Bukan kau?" Sasuke mendekati Naru, duduk di sofa yang sama, dekat kepala pemuda itu yang masih terbaring, mata birunya semakin kelam dan penuh kabut. "Apakah ini soal kakekmu? Atau orang lain? Atau kau baru saja bertemu seseorang?" Naru mengambil duduk tiba-tiba, termenung kemudian. "Jadi, seseorang... siapa itu?"

"Apa kau percaya jika Hinata baru saja membunuh seseorang?"

Sasuke menelan suaranya kembali, lalu dia tidak bisa bergerak karena aliran dingin muncul di ujung kakinya. "Bukankah hal itu sulit dipercaya?" Sasuke lebih mendekati. "Aku pergi ke apartemennya, aku melihat dia sepertinya bertengkar dengan saudari perempuannya, karena suatu masalah, kudengar itu tentang utang-piutang, penjelasan singkat yang aku terima darinya."

"Lalu, kalian pergi ke mana? Atau dia membunuh saudarinya?"

"Aku hanya bisa menebak, kalau adiknya berencana menjual diri demi melunasi utang keluar mereka, sementara orang malang itu bukanlah adiknya."

"Astaga, kau serius?" Naru mengangguk. "Lalu, kejadian tentang pembunuhan itu?"

"Ini di luar rencana, maksudnya kami tidak pernah merencanakan ada yang mati, kau tahu, semua orang tahu, jika gelap mata, seseorang pasti memiliki ambisi untuk menjadi pembunuh. Hinata kelepasan, dia benar-benar melakukannya tanpa penyesalan setelah itu."

"Lalu kau meninggalkannya sendiri? Bagaimana kalau polisi mendatangi dia?"

"Dia ada di suatu tempat, di Love Hotel."

"Itu tidak menyelesaikan masalah, mengapa kau malah meninggalkan dia?"

"Karena dia tidak mau ikut bersamaku," suara Naru meninggi, dia frustrasi. "Aku tidak bisa memaksa," gadis itu memang sulit dihadapi, jika Naruto kelabakan seperti ini, Sasuke tahu, Naru agaknya terlalu terkejut menghadapi situasi yang tak pernah dibayangkannya itu, sehingga pemuda itu tak memikirkan betul-betul tindakan apa yang dapat diambil olehnya kemudian. Naru segera meringkuk, menarik botol vodka, dan meminumnya tanpa ampun.

Ketika Naru baru menggelindingkan botol minumannya ke lantai, Sasuke kembali berbicara. "Lalu, apa rencanamu selanjutnya? Kau akan menggunakan kasus ini sebagai bahan untuk mendekatinya?"

"Kau pasti bercanda, Sasuke!"

"Tidak. Aku sama-sekali tidak bercanda."

"Memanfaatkan hal seperti ini, kurasa itu tidak akan membuatnya percaya padaku, maksudnya dia akan semakin tidak menyukaiku."

Sasuke menghela napas. "Kau peduli pada bagian itu? Kurasa kau sendiri yang berencana akan menghadapinya dengan cara kotor sekalipun. Dan rencana ini yang paling kotor, tidak butuh waktu lama, kau bakal mendapatkan gadis itu."

"Kau sendiri tahu, bahwa dia tidak mudah untuk dihadapi."

"Ayolah," Sasuke nyaris menyerah untuk menjelaskannya. "Ibunya sedang mengalami sakit keras, adiknya berencana menjual diri demi melunasi utang-piutang keluarganya, dia akan menerima apa pun jika itu keuntungan baginya. Kau tahu, dia tidak akan pernah membuat ibunya bersedih karena kasus yang telah dihadapinya ini. Gadis itu teliti, dan kurasa di kamar hotelnya, gadis itu sedang memikirkan rencanamu juga, kelicikan yang mungkin akan segera kau perlihatkan, dia pasti tahu, kau akan memanfaatkan situasi malam ini."

Sasuke mungkin ada benarnya, tapi Naru sedikit tidak berdaya harus dihadapkan dengan kenyataan itu. Ia memang berpikir sama tadi, mengendarai mobilnya dan terus memikirkan bahwa kejadian malam ini bisa diambil sebagai alasan dia untuk memenangkan Hinata. Mm, itu sulit sekali, tapi sangat menarik.

"Kau ada di sana, satu-satunya saksi yang dapat menjebloskan dia ke penjara," Sasuke melanjutkan teori kejahatannya—sebenarnya teori yang sama dengan apa yang direncanakan oleh dirinya yang lain. "Tidak mungkin dia bakal membiarkan ibunya bersedih, adiknya tidak akan memaafkannya dan tak ada alasan untuk memaafkan. Aku yakin betul, Hinata sedang memikirkan ketakutan tersebut di kamar hotelnya, dan satu-satunya yang bisa kaulakukan hanya memanfaatkan situasi ini untuk mencapai apa yang kau inginkan... memiliki gadis itu!"

Kenapa dirinya baru menyadari jika Sasuke dan dia adalah orang yang mungkin memiliki sisi yang sama? Semua penggambaran laki-laki itu persis dengan apa yang dipikirkan olehnya selama perjalanan kemari.

Naru tahu betul untuk beberapa lama waktu setelah mengenal temannya itu, dia dan Sasuke tidak jauh beda. Hanya yang membedakan bahwa laki-laki itu lahir dari keluarga politikus, dan ayahnya yang kaku itu lebih memilih kakak laki-lakinya apa pun yang terjadi, dan Sasuke memiliki sisi gelap untuk menghancurkan keluarganya, tapi dia belum memiliki kesempatan untuk itu.

Di kamar hotelnya, Hinata tidak bisa tidur, dan sepanjang malam itu dia memandangi kedua tangannya, "Aku membunuhnya," kata gadis itu kemudian dengan nada yang mungkin terdengar biasa saja, tak ada satu pun tersirat penyesalan seakan ini bukan pertama kalinya dia melakukannya, meskipun dia bertarung dengan banyak orang dalam pertandingan atau terlibat perkelahian antara dirinya dan seorang preman, Hinata tidak pernah kelewatan sampai membunuh mereka. Mungkin, karena seringnya dia menggunakan tinjunya, penyesalannya hanya sesaat, bahwa kematian yang telah diperbuatnya itu awal sebagai ketangguhan untuk menyelesaikan masalah, atau membunuh siapa pun yang mengganggu adik perempuannya.

Aku tidak pantas untuk menyesal.

Pagi hari sebelum Hinata keluar dari hotel, dia mengamati jalanan di pagi hari yang tidak terlihat satu pun mencurigakan, seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya dari jendela kamar hotel di lantai tiga.

Baru kemudian dia keluar dari kamar hotel sambil mengenakan jaket hoodie milik Naruto, laki-laki itu berkata padanya sebelum meninggalkannya sendiri di hotel. "Pakai ini kalau pergi ke mana-mana, karena aku tidak sempat mengecek apakah di sana ada kamera pengintai, takut seseorang mengenali dirimu."

Benar, lebih mengerikan jika dia ketahuan, dan ibunya harus menanggung bukan hanya malu, wanita itu bakal menyesali segala yang terjadi—menyesal karena tidak menempatkan anak-anaknya pada situasi yang aman. Wanita itu pasti akan menangis tidak hanya semalaman, tapi setiap hari, selamanya.

Namun, meski dia berpura-pura untuk tidak terjadi apa-apa, dia sebenarnya mewaspadai teman sekelasnya. Laki-laki sialan itu ada bersamanya pada malam kejadian. Satu-satunya saksi yang justru membawanya bersembunyi di Love Hotel.

Di tengah melangkahkan kakinya yang kadang terasa begitu sangat lemah, Hinata mendesah bukan main begitu dia mengingat Naruto Uzumaki. Ia tidak boleh gegabah dalam mengurus laki-laki itu. Tapi barangkali, sesuatu telah direncanakan oleh Naruto sendiri. Hinata tidak tahu persisnya apa, tapi Naruto mengintainya bertahun-tahun karena mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Dan Hinata tidak pernah menyadarinya.

Hinata tidak mau berpikir bahwa ini bagian dari umpan. Rasanya itu sesuatu berlebihan, apa yang dipikirkannya sebelum ini. Dengan alasan apa laki-laki itu memasang umpan pada kail pancingnya? Hinata menyadari dirinya sendiri bukanlah benda berharga yang bisa dimiliki, dia hanya cewek miskin di sekolah, dan mungkin yang paling miskin di antara anak-anak di sana.

Mungkinkah ini ada hubungannya soal malam hujan?

Pemuda itu mungkinkah berencana memberikan imbalan kepada Hinata, karena telah menolong nyawa laki-laki tersebut di hari hujan itu?

Hinata pikir sikap dingin Naruto waktu itu menandakan bahwa hubungan mereka berakhir, tidak perlu ada lagi ungkit-mengungkit masalah bayaran, cukup dengan lima ribu yen, membayar ke penatu karena seragamnya kotor.

Kalau memang ingin memberikan sesuatu, seharusnya dia memberikannya tanpa mengikuti ke mana pun Hinata berpijak, bukan? Seperti seorang penjahat!

Dan memahami Naruto Uzumaki sama rumitnya dengan memikirkan jalan yang ditempuh oleh adiknya.

Kenapa perlu terlibat dengan orang-orang di Snake Club, pemiliknya adalah orang yang sama dengan rentenir yang meminjami ayah mereka uang, Hiashi Hyuuga, tanpa tahu bahwa bunganya sungguh luar biasa tinggi, dan mengakibatkan polemik besar-besaran di antara Hyuuga lainnya. Kebangkrutan yang dialami, semuanya adalah kesalahan sang ayah. Dan semua utang itu harus dilimpahkan seluruhnya, menjual rumah, mobil, harta benda lainnya pun tidak bisa menutupnya.

次の章へ