webnovel

4

Hinata mengamati laki-laki itu bersama kedua temannya di meja paling pojok kafetaria. Karena hari ini dia tidak bawa bekal, dia ingin makan siang di kafetaria dengan memilih menu yang paling murah.

Pertama kali Hinata menyadari tentang keberadaan laki-laki itu, dia menganggap apakah dunia sangat sempit, atau memang seseorang tengah mempersempit. Hinata tidak menyangka kelas yang selalu berakhir acak, kini malah kembali diisi olehnya dan laki-laki itu di kelas tiga. Meski tampak tidak masuk akal, dia tidak mau memprotes ke dewan sekolah. Tenaganya pasti bakal terbuang sia-sia.

Menggerutu tak ada habisnya akan semakin membuatnya lelah, Hinata melangkah untuk mendekati meja yang paling kosong. Hanya perasaannya atau memang laki-laki itu kembali menjatuhkan pandang ke arahnya—setiap hari, seperti itu, membuatnya tak pernah nyaman berada di sekolah. Akibatnya, Hinata tidak berselera menikmati makan siangnya. Tinggal menunggu sebentar lagi, laki-laki itu akan menghampirinya dengan alasan apa saja.

Terakhir kali yang diingatnya pada tempo hari, laki-laki itu tiba-tiba muncul tanpa disadari olehnya, menjadi pahlawan kesiangan seolah ingin selalu ada waktu untuknya, dengan memberikan sapu tangan kepadanya hanya untuk mengelap jus yang tumpah ke roknya. Hinata sendiri tidak punya alasan untuk menerima kebaikan laki-laki itu, ia tentu memilih pergi daripada terlibat dengan Naruto Uzumaki—dengan alasan yang terdengar lebih rumit, laki-laki itu cukup mengerikan dalam hal spesifik yang membingungkan.

Dalam pekan waktunya untuk memikirkan seluruh keganjalan-keganjalan yang terbentang, ia telah diikuti sampai masuk ke sekolah yang sama, berada di kelas sama, lalu bimbingan belajar yang sama, membuat Hinata kadang naik pitam dan ingin mempertanyakan langsung apa yang diinginkan laki-laki itu padanya—pada cewek miskin yang memiliki banyak masa lalu pahit tentang dunia yang ternilai tak pernah adil untuknya;

Demi membantu ayahnya keluar dari jerat utang-piutang, kepeduliannya justru tak sedikitpun dihargai, karena pada akhirnya, sang ayah memilih untuk meninggalkan keluarganya dengan cara mengakhiri hidupnya, menyisakan utang kepada rentenir, yang sampai sekarang Hinata tidak pernah tahu, kapan dia dapat melunasi. Ketika hal itu belum cukup menyulitkan dirinya, kembali dia dihadapkan pada kenyataan bahwa ibunya mengalami sakit keras, belum cukup dikenal sebagai atlet gelap, terakhir ini yang paling parah, adiknya yang bekerja di bar menghilang sudah sebulan belakangan. Hinata mulai mencari tahu, sangat aneh kalau tiba-tiba Hanabi pergi bersama seorang laki-laki, padahal gadis itu tidak cukup tertarik untuk berkencan. Satu-satunya kesimpulan, mungkinkah seseorang menculiknya? Kasus tersebut bukan sebagai kejahatan baru di dunia hiburan malam, jika setidaknya gadis itu mau menggaet beberapa lelaki hidung belang.

Terdapat banyak pokok masalah dan semuanya terasa melelahkan ketika dia terpaksa harus menghadapinya sekaligus. Kematian ayahnya tidak meringankan bebannya, dan sebagai anak pertama, dia bertanggung jawab dalam segala segi.

Dan semua yang telah dirangkum oleh Hinata, belum mendaftarkan masalah baru di mana dia harus menghadapi seorang laki-laki penguntit yang tidak dikenalnya baik

Naruto Uzumaki meletakkan umpan di tempat yang tepat sementara Hinata menyadari—masih benar-benar sadar, bahwa dia tidak boleh menarik umpan tersebut. Hinata tahu betul, atau mungkin mengerti bahwa secara samar Naruto telah menawarkan tempat yang layak berada di sisi laki-laki itu.

Hinata perlu berpikir secara matang nan serius, apakah termakan jebakan laki-laki itu bakal menyelesaikan seluruh rangkuman masalahnya? Meskipun sebenarnya dia tidak bisa mengembalikan ayahnya dari kematian, juga memperbaiki reputasi sebagai atlet gelap, tapi mungkin, menolong ibunya dari kematian, melunasi utang-piutang yang menggunung, atau membuat Hanabi tidak bekerja di hiburan malam, bakal bisa diatasi.

Baru beberapa suap merasakan makanan yang terasa hambar di mulutnya, laki-laki itu meletakkan kotak susu pada nampan makan siangnya, dan berkata, "Minumlah, tersisa satu."

Hinata mengamati kotak susu itu tanpa minat secara dalam, kemudian memindahkannya pada nampang gadis di sebelahnya—karena memikirkan sekelebat curiga, apakah si pirang itu meletakkan sesuatu ke dalam minumannya? Ia harusnya tidak menerimanya.

"Minumlah, Naruto Uzumaki memberikannya padamu."

"Eh, serius?"

Selesai menyerahkan nampan makan siang pada meja petugas, Naru melirik Hinata yang memberikan susu kotak pemberiannya pada gadis lain.

Gadis sialan.

Persis seperti yang dikatakan oleh Sasuke. Mungkin gadis itu tahu siapa dirinya dan takut untuk terlibat dengannya? Atau lebih tepatnya, menyadari umpan yang telah diletakkan pada kail pancing dengan sangat sempurna, mengingat kondisinya yang hampir putus asa, gadis itu mungkin sangat rela untuk menjual keperawanannya, dan menawarkannya pada orang yang memberikannya sinyal—satu-satunya pemuda kaya raya yang mendekatinya adalah teman sekelasnya.

Naru bergegas mendekatinya dengan sangat emosi, tapi Sasuke mencegahnya. "Jangan mencari keributan!" meski berbisik, seseorang dapat memahami, jika akan ada pertengkaran sebentar lagi sementara di tempat duduknya, Hinata yang menyadari itu, dia hampir mematahkan sumpit makanannya. Ribut di kafetaria bukan pilihan—sulit mendapati kenyataan kalau sebentar lagi dia bakal jadi pusat perhatian. Terbayang sudah, rumor tentang atlet gelap, ayahnya mati karena menggantung diri, kehidupan yang sulit bakal menjadi bahan perbincangan dari anak-anak orang kaya di sini. Itu sangat menyebalkan.

"Semakin dia seperti itu padaku, semakin aku ingin mendapatkannya dengan cara kotor," beruntung kalau emosinya tidak membuat pemuda itu sampai mengeraskan suaranya. Gaara masih memikirkan apa yang sebenarnya terjadi, tetapi dia terlalu lamban untuk menyadari.

Naru meninggalkan kafetaria, sedangkan Sasuke dan Gaara termenung saling memandang. "Dia tidak apa-apa, 'kan?" Sasuke meletakkan nampan, kemudian dia mengikuti ke mana Naruto pergi daripada membalas pertanyaan Gaara yang terlihat amat penasaran pada situasi yang baru saja terjadi.

Di kelas, Naru siap pergi membolos, sekali lagi, Sasuke punya sikap sebagai seorang kakak laki-laki bagi pemuda itu. "Kau mau ke mana? Memilih kabur?"

"Pekerjaan kecil."

"Transaksi?" Naru sejenak berhenti menarik tasnya, dia punya suatu pelampiasan aneh, memperdagangkan barang-barang haram ke sesama pelajar. "Jangan lakukan itu. Kumohon, kau tidak boleh melakukan hal itu," masih mencegah mati-matian, Sasuke terus mengawasi Naruto dari samping. Wajahnya pucat, dan terus menunduk dengan amat gelisah. "Kau pernah bilang padaku, untuk hidup normal tanpa melibatkan diri menjadi penerus kakekmu."

"Aku hanya mencari kerja sampingan."

"Menjadi bandar narkotika? Itu bukan pilihan!" suara Sasuke berbisik pelan, tetapi amat menekannya, seolah-olah memberitahu risiko yang bisa diterimanya nanti. "Dengar, kau membahayakan dirimu sendiri, itu tidak efektif."

Kepala Naru serasa mau pecah, dan ketika Gaara baru saja masuk ke kelas, pemuda merah itu kaget bukan main ketika teman pirangnya menendang meja-meja di kelas itu sampai membuat anak-anak lain berjingkat. "Sialan! Dasar keparat!" Naru mengumpat jauh lebih keras, sampai penduduk lantai tersebut mendatangi kelas mereka.

Di bagian pintu masuk, Hinata termenung memandangi Naru yang kesetanan. "Ingat! Kau membutuhkan aku suatu hari nanti." Dengan mencengkeram ujung jas, seolah Naruto tengah berbicara kepadanya, Hinata bergidik—dan kenyataannya memang begitu, secara tak terduga Hinata memang membutuhkan Naruto demi membantunya memecahkan masalah, tetapi bagi Hinata, ia sendiri belum menjadi seseorang yang mungkin tersesat.

次の章へ