webnovel

Bab 17

Percy baru saja sampai di rumahnya malam itu setelah dari rumah sakit. Ia melihat Rasya tengah mengambil air dari dalam kulkas di dapur apartement.

"Hai,"

Rasya menengok mendengar sapaan itu, ia tersenyum kecil dan beranjak menuju kamarnya. Percy tidak tau apa yang membuat Rasya bersikap seperti itu.

Mungkin karena surat kontrak itu. Pikirnya.

Percy bergegas ke dalam kamarnya untuk membersihkan dirinya, ia memejamkan matanya dengan kedua tangannya menyentuh dinding di depannya. Ucapan Verrel terngiang terus di kepalanya,

Dia mulai merasa putus asa dan lelah dengan semua ini...

20 menit, ia sudah berpakaian santai dan beranjak ke dapur. Ia membuka kulkas dan melihat beberapa makanan, ia beralih ke kitchen set dan mengambil satu bungkus indomie dan mulai menyalakan kompor menanak air untuk memasang mie.

Pikirannya melayang memikirkan Rindi, Rasya juga rumah tangganya bersama Rasya yang sama sekali tidak berjalan dengan baik. Ucapan Verrel terus saja terngiang di telinganya seperti alarm peringatan.

"Ishh,"

Prank

Percy meniup jarinya saat tak sengaja menyentuh wajan dan membuat sumpitnya jatuh ke lantai. Rasya yang mendengar suara berisik itu keluar dari dalam kamarnya.

"Ada apa?"

Percy menengok ke arah Rasya masih meniup tangannya yang melepuh.

"Aku sangat lapar, awalnya ingin membuat mie. Tapi malah melar mienya, aku memang tidak berbakat." Ucapnya menggaruk tengkuknya sendiri yang tak gatal.

"Kenapa tidak meminta tolong padaku?" ucapnya segera memungut sumpit itu dan memasukkannya ke dalam tempat pencuci piring.

"Kamu terlihat tidak baik-baik saja, aku tidak ingin mengganggumu." Ucapnya membuat Rasya menatap kearahnya.

'Apa kamu tidak sadar juga, aku seperti ini karena kamu, Percy.'

"Sudahlah, biar aku saja yang membuatkannya. Kamu tunggu saja." Ucapnya membuat Percy mengangguk dan beranjak menuju ke meja bar, ia duduk disana.

Rasya membuang mie itu dan mengambil yang baru, tetapi sebelum itu ia mengambil kotak p3k dan berdiri di samping Percy. Tanpa berkata apapun, ia menarik tangan Percy yang melepuh dan mengoleskan salep untuk luka bakar pada tangannya membuat Percy tersentak .

Tetapi tak ada perlawanan darinya, ia membiarkan Rasya mengobati tangannya. Tatapannya mengarah ke wajah Rasya yang fokus mengoleskan salep itu seraya meniupnya perlahan. Seketika matanya turun menatap leher jenjang Rasya, sekelebat bayangan saat Rasya mengerang dengan menengadahkan kepalanya.

Percy seketika memalingkan wajahnya ke arah lain. 'Ada apa denganku, kenapa aku menjadi mesum seperti ini.'

Rasya selesai memberi salep itu dan beranjak untuk menyimpan kembali kotak p3k. Iapun mulai memasak mie instan untuk Percy. Tanpa bertanya, Rasya menambahkan sayuran dan juga beberapa potong sosis dan telor kukus sesuai kesukaan Percy.

Percy menatap punggung Rasya yang dengan cekatan memasak disana. Seketika sekelebat punggung polos Rasya terbayang di benak Percy membuatnya memejamkan matanya. "Astaga, ada apa denganku." Gumamnya menghembuskan nafasnya.

"Ada apa?" tanya Rasya membuat Percy membuka matanya dan menatap Rasya.

"Tidak ada, hanya sedikit memikirkan masalah pekerjaan." Ucap Percy diiringi senyumannya.

'Apa karena kepikiran Rindi, kamu jadi sefrustasi ini?' batin Rasya.

"Ini mie nya," Rasya menyimpan semangkuk mie serta saus pedasnya.

"Kamu tidak membuatnya?"

"Aku sudah makan tadi." Ucap Rasya hendak beranjak tetapi di tahan oleh Percy.

"Bisakah kamu menemaniku makan," Rasya menganggukan kepalanya dan duduk di kursi tepat di hadapan Percy.

"Ah panas," Rasya terkekh kecil melihat sikap Percy yang tidak berubah.

"Kamu selalu tidak sabaran kalau makan," kekehnya.

"Aku sangat lapar,"

Rasya mengambil garpu dari tangan Percy dan mengambil Mie. "Begini kalau makan harusnya, kamu pelintir dulu mienya lalu tiup sebentar dan-" gerakan Rasya terhenti saat tangannya spontan mengarah ke bibir Percy.

Keduanya bertatapan cukup lama dalam kebisuan, hanya mata mereka yang seakan berbicara dan menunjukkan tatapan yang berbeda.

"Ekhem," Rasya segera mengalihkan pandangannya dengan deheman kecil.

Percy menarik tangan Rasya yang memegang garpu dan menuntutnya untuk menyuapinya. "Tidak panas lagi," ucapnya membuat Rasya mendadak gugup dan salting.

"Terima kasih, kamu selalu memahami aku." Percy mengusap kepala Rasya dan menikmati mienya sendiri. Rasya terus menatap Percy yang tengah menikmati mienya, ada percikan kebahagiaan di dalam hatinya dengan perlakuan lembut Percy.

Walau hanya sedikit, tetapi itu sungguh bermakna baginya...

"Weekend besok kamu ada acara?" tanya Percy menyadarkan Rasya dari keterpakuannya.

Ia segera menggelengkan kepalanya dengan sedikit gugup. "Kalau begitu besok kita pergi jalan-jalan yah. Rasanya aku ingin pergi ke pantai, kamu mau kan?"

Rasya menganggukan kepalanya diiringi senyumannya. Percy kembali menikmatii makanannya dan Rasya masih setia memperhatikannya.

'Padahal sudah sedekat ini, tapi kamu masih sulit aku sentuh. Apa semiris ini kisah cintaku? Aku hanya mampu menatapmu tanpa bisa memiliki dan menyentuhmu.'

***

Keesokan harinya seperti yang sudah di rencanakan, Percy dan Rasya pergi ke pantai Anyer. Selama perjalanan Percy seakan berusaha kembali akrab dengan memutar musik kesukaan mereka saat SMA dulu.

"Bernostalgia," Percy terkekeh mendengar penuturan Rasya.

"Ya, kangen banget rasanya kembali ke masa itu." Ucapnya membuat Rasya menengok ke arahnya yang fokus menyetir mobil. "Sekarang semuanya berubah."

Terdengar helaan nafas berat darinya. Rasya hanya tersenyum kecil dan kembali menatap ke depan.

"Ah iya, ingat lagu ini." Percy memutarnya dan seketika Rasya terkekeh.

"Ingat sekali, saat itu kita kabur dari sekola hanya untuk menonton konsernya. Kita pergi menggunakan sepeda, padahal jaraknya sangat jauh sekali. Sesampainya disana, acaranya kelar." Tawa Rasya dan Percy seketika pecah mengingat itu.

"Iya dan pulangnya malah hujan deras."

"Itu karena kita kualat sudah berbohong pada bu Ani dengan alasan sakit berjamaah padahal niat kabur." Kekeh Rasya.

"Bener banget, itu kenakalan kita pertama kali. Tetapi lama kelamaan sang ketua OSISpun ikut-ikutan." Kekeh Percy yang di angguki Rasya.

"Karena gagal nonton konsernya, kita malah seperti orang gila nyanyi nyanyi sambil hujan-hujanan dengan menaiki sepeda."

"Saat yang sangat menyenangkan dan merasa sangat bebas." Ucap Percy membuat Rasya mengangguk. "Ah, aku sangat merindukan masa itu." Keluhan Percy membuat Rasya menengok padanya.

"Saat ini aku merasa begitu tua, karena terlalu banyak berpikir dan tertekan." Percy menengok ke arah Rasya. "Bisakah kita kembali ke masa itu? Aku sangat ingin menjalankan hidup tanpa beban apapun, mungkin hanya memikirkan tugas dari guru killer itu saja." Kekehnya terlihat miris membuat Rasya membeku di tempatnya.

Rasya tau Percy begitu tertekan, entah apa yang Percy pikirkan hingga dia terlihat frustasi. 'Apa ini karena cintanya yang tak tersampaikan pada Rindi?'

Setelah menghabiskan perjalanan panjang, merekapun sampai di pantai Anyer. Percy segera menuruni mobilnya diikuti Rasya.

Percy terlihat santai dengan hanya memakai celana pendek seatas lutut berwarna Abu dan kaos polo berwarna putih. Kulitnya yang putih terlihat bersinar di tengah sinar matahari, Rasya yang hanya memakai dress berwarna peach seatas lutut berjalan mendekatinya.

"Ayo Sya," Percy terlihat bersemangat dan menarik tangan Rasya menuju pantai.

"Segar sekali udaranya, gue merasa baru keluar dari dalam gua yang sangat gelap." Ucapnya tersenyum bahagia.

Melihat Percy seperti itu membuat sudut bibir Rasya terangkat ke atas. "Kamu mirip seperti anak ayam yang baru di lepas."

"Jahat banget nyamain pria setampan ini sama anak ayam." Ucapnya pura-pura merengut.

"Tampan apanya, kepedean kamu. Tampan jidatnya iya." Kekeh Rasya,

"Dasar si tembem, awas yah." Percy menggelitik Rasya membuatnya tertawa dan terus menghindar.

"Aw, Percy hentikan." Tawanya pecah,

Rasya yang tak mampu lagi berpijak di atas kakinya, terjatuh membuat Percy tertarik hingga menindih tubuh Rasya.

Seketika bayangan Rasya yang mencengkram pundaknya seraya mengerang dan berkeringat terbayang di benak Percy.

"Astaga," Percy segera beranjak dari atas tubuh Rasya membuat Rasya mengernyitkan dahinya bingung.

"A-ada apa?" Rasya beranjak dari atas pasir dengan menepuk tubuhnya yang kotor. "Percy,"

Rasya tersentak saat Percy menepis tangannya yang menyentuh pundaknya. "Ah Sorry Sya. Gue rasa pikiran gue sedang kacau."

Percy berjalan menyusuri pantai meninggalkan Rasya yang membeku,

'Ya tuhan ada apa denganku? Kenapa aku jadi pria mesum, kenapa harus Rasya.' Percy mendesah frustasi.

"Percy tunggu," Rasya berjalan mengejar Percy dan berjalan di sampingnya menyusuri pantai.

Mereka melepas alas kaki mereka dan menentengnya sambil menikmati hembusan angin.

"Aku mulai lelah Sya," mendengar penuturan Percy yang tiba-tiba membuat Rasya menengok ke arahnya.

Percy menghentikan langkahnya dan memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. "Aku ingin mengakhiri semuanya."

Percy tersenyum miris. "Hidupku kacau, dan aku bahkan tidak bisa memutuskan apapun." Ia menunduk dengan mata sendunya.

"Bisakah aku keluar dari semua tekanan ini?" Percy menengok ke arah Rasya dengan tatapan yang terluka. Rasya mematung di tempatnya menatap Percy yang terlihat begitu rapuh.

"Aku sungguh lelah,"

"Kalau begitu melangkahlah, tinggalkan semua yang membuatmu tertekan." Ucap Rasya masih menatap manik mata Percy yang begitu sendu.

'Aku ingin melangkah, tetapi aku takut menyakitimu.' Percy mengangkat sebelah tangannya dan membelai pipi Rasya. 'Kamu terlalu baik Sya, kamu begitu istimewa. Aku ingin melangkah tetapi tidak ingin menjadikanmu sebagai pelampiasanku dari Rindi. Aku begitu menyayangimu sampai aku tidak ingin melukaimu. Mungkin sebaiknya kita tetap menjaga jarak agar tak ada cinta di antara kita, karena saat cinta itu tumbuh hanya rasa sakit yang akan di rasakan.'

"A-ada apa? Kenapa kamu menatapku seperti itu?" Rasya mendadak gugup di tatap seperti itu oleh Percy.

Percy hanya tersenyum menatapnya. "Apa aku sudah mengatakan kalau pipimu ini begitu tembem."

Rasya mencibir kesal. "Sudah sering sekali."

Percy terkekeh melihatnya mencibir karena pipinya terlihat semakin chubby. "Dasar tembem,"

"Aduh, sakit." Rasya mengaduh karena Percy mencubit pipinya.

"Dasar jidat lebar," ejeknya.

"Dasar si tembem doyan makan dan sukanya tidur."

"Apaan sih, dasar si jidat lebar yang suka teledor dan jorork."

"Aku gak jorok yah,"

"Yakin, sering jarang mandi kalau ke sekola." Kekehnya terus menghindar karena Percy melempar sepatunya dan siap menerkam Rasya.

"Awas kamu panda tembem." Percy mengambil air dan mencipratkannya ke Rasya membuat Rasya terus menghindar dan membalas Percy dengan melemparinya dengan pasir pantai yang basah.

"Dasar si jibar alias jidat lebar." Kekehnya membuat Percy diam-diam memangku tubuh Rasya dan menjatuhkannya tepat saat ombak kecil menerjang membuat tubuh Rasya basah semua.

"Percy aku gak bawa baju ganti." Percy tertawa puas melihat tubuh Rasya yang basah dan kotor karena karena pasir.

"Awas yah," Percy berlari menghindari amukan Rasya yang membawa pasir basah di kedua kepalan tangannya.

Keduanya tertawa puas seperti saat mereka SMA dulu. Sudah lama sekali Percy dan Rasya tidak saling mengejek seperti ini.

Rasya berhasil melempari Percy dan mendorong tubuh Percy saat ombak menerjang mereka membuat tubuh Percypun ikut basah.

"Awas yah," Rasya segera mengambil ancang-ancang untuk berlari tetapi terlambat karena Percy sudah membopong tubuhnya dan membawa Rasya untuk menerjang ombak bersama.

Hanya tawa yang mengiringi mereka berdua, mereka seakan melupakan semua masalah yang terjadi.

***

Percy dan Rasya kembali untuk pulang, Percy menyerahkan jasnya yang ada di bagasi mobilnya untuk di pakai Rasya yang kedinginan.

Dalam perjalanan Rasya memilih memejamkan matanya karena kelelahan dan Percy hanya meliriknya seraya tersenyum melihatnya. "Aku berharap kamu selalu bahagia, Sya." Percy mengusap kepala Rasya dengan lembut.

Pandangannya tak sengaja menatap ke bagian paha Rasya yang dressnya tersingkap hingga menampilkan paha mulusnya. Dan ia merasakan bagian pangkal pahanya mulai membengkak. Ia mengusap tengkuknya sendiri.

Ia merasa heran dengan tubuhnya, tidak seperti biasanya ia bersikap mesum seperti ini. Apalagi mesum pada sahabatnya sendiri.

Sudah sering ia bertemu dengan wanita berpakaian minim, tetapi tak ada yang membuatnya hingga seperti ini, apalagi hanya karena melihatnya.

"Astaga ada apa dengan gue," ia menghembuskan nafasnya dan berusaha fokus tanpa melirik lagi pada Rasya.

***

DI rumah sakit, pagi itu Rindi sudah bangun dan hanya duduk bersandar di brangkarnya. Tangannya memainkan kalung malaikat yang dulu di berikan Percy.

"Hay nona jutek,"

Rindi menengok ke ambang pintu dan terlihat Daffa datang dengan menggunakan jas formalnya berwarna hitam.

"Kamu baru menghadiri pemakaman siapa, tuan?" ucapnya menatap Daffa dari atas hingga bawah.

"Yang benar saja, aku baru selesai syutting dan mendapat peran sebagai pengusaha muda."

"Bukan dirimu sekali," kekehnya.

"Pantas saja semalam hujan deras sekali, ternyata ada pelangi yang hinggap di diri kamu. Makanya kamu terlihat begitu bersinar pagi ini nona Jutek."

Rindi terkekeh mendengarnya. "Modusmu itu sangat urakan."

Daffa terkekeh mendengarnya dan duduk di samping brangkar. "So, apa kamu berniat terjun bebas lagi dari atas brangkar sampai membuat jidatmu cedera." Ucapnya menatap kening Rindi yang memakai plester.

"Tidak, kemarin aku hanya ingin mengambil bunga itu, tetapi malah jatuh ke bawah." Ucapnya.

"Merindukannya," ucap Daffa saat tau bunga dari siapa yang Rindi maksud.

"Semalam dia sudah datang,"

"Pantas saja kamu cerah sekali pagi ini."

Rindi tersenyum kecil. "Kami tidak mengobrol, aku hanya diam dengan memejamkan mata merasakan aroma parfumnya."

Daffa menatap wajah Rindi yang terlihat menampilkan senyumannya tetapi wajah dan matanya tidak menampilkan seperti itu.

"Mau keluar?"

"Malas ah, nanti aku di cuekkin lagi karena ada yang minta foto dan tanda tangan padamu." Ucapnya merengut membuat Daffa terkekeh.

"Sekarang tidak lagi, janji deh." Ucapnya membuat Rindi terkekeh.

"Aku ingin keluar rumah sakit, aku bosan terkurung di sini."

"Mau kabur?"

"Apa bisa? Aku takut," kekehnya.

"Bisa dong, berani tidak?"

"Boleh," kekehnya.

Daffa melepaskan jasnya dan memakaikannya ke tubuh Rindi. Ia mengambil infusan dan mengantonginya ke dalam saku jas yang di gunakan Rindi.

"Siap, Nona?" Rindi menganggukan kepalanya dan Daffa segera membopong tubuh Rindi ala bridal. Dan mendudukan Rindi ke dalam kursi roda. Ia segera memasangkan infusan di tempatnya agar tidak sampai tersendat karena salah penyimpanan.

Ia mulai mendorong kursi roda yang di gunakan Rindi, awalnya tenang sambil menatap keadaan hingga saat merasa aman, ia mempercepat lajunya membuat Rindi menjerit kecil dan terkekeh karena aksi Daffa.

Mereka segera memasuki lift yang kebetulan kosong, dan segera keluar dari basement rumah sakit. "berhasil," ucapnya membawa Rindi ke mobil miliknya.

Ia membantu Rindi untuk duduk di kursi penumpang dan ia segera memasukkan kursi roda milik Rindi ke dalam bagasi mobil. Iapun segera memasuki mobilnya dan melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit.

"Ada Papa," ucap Rindi saat melihat Seno yang tengah berbicara dengan Dhika di dekat mobilnya yang terparkir.

"Menunduk Rindi,"

Rindi menyembunyikan kepalanya di pangkuan Daffa dan tepat di bagian selangkangannya membuat Rindi menelan salivanya sendiri saat melihat di depannya ada apa walau tertutup celana kain hitam. Ia memejamkan matanya karena tidak ingin menatapnya.

"Betah sekali kamu disana," sindiran Daffa membuat Rindi segera mengangkat tubuhnya dan memalingkan wajahnya yang memerah. Daffa terkikik geli melihat Rindi yang menahan malunya.

"Berhenti tertawa, tuan." Ucapnya dengan sinis.

"Juteknya kumat," kekehnya. "Nggak sekalian berkenalan barusan."

Rindi memelototi Daffa yang terkekeh. "Dasar tuan cabul dan mesum." Daffa semakin tertawa,

"Kamu memfitnahku padahal jelas jelas mukamu kelihatan menginginkannya." Sindiran Daffa membuat Rindi memukul lengannya membuat tawa Daffa semakin keras.

"Aku tidak masalah kok kalau kamu memang ingin berkenalan dengannya."

"Berhenti berbicara mesum. Atau aku akan meloncat dari dalam mobil." Ancamnya.

"Kamu ada keturunan Limbab yah, perasaan seneng banget menguji adrenalin dan melakukan hal-hal yang berbahaya." Sindiran Daffa membuat Rindi semakin mencibir kesal.

"Kita akan kemana?"

"Aku ingin pergi ke taman, nyari taman yang dekat saja."

"Kenapa tidak mencari hotel atau apartement saja." Rindi kembali memelototinya membuat Daffa terkekeh.

"Oke oke, padahal taman di rumah sakitpun ada. Kenapa harus jauh-jauh keluar."

"Kamu yang mengajakku, Tuan." Sindri Rindi dengan kesal.

Bersama Daffa, memang membuat emosinya naik turun.

Mereka sampai di sebuah taman yang begitu sepi. "Dasar tuan mesum, sengaja membawaku ke tempat yang sepi." Sindiran Rindi membuat Daffa terkekeh.

"Aku tidak suka main di area terbuka, kamu tau sendiri aku ini seorang aktor dan aku malas ada yang mengangguku saat tengah berkencan. Kecuali kamu mau melakukannya di tempat terbuka, akupun tidak akan menola-,, aduh." Daffa meringis seraya mengusap lengannya yang di cubit Rindi.

"Berhenti berpikiran mesum, menyebalkan." Gerutunya

"Baiklah," kekehnya segera menuruni mobil dan mengeluarkan kursi roda milik Rindi.

Ia membopong tubuh Rindi dan mendudukannya di atas kursi roda, lalu membawanya memasuki taman itu. Rindi tersenyum senang karena mampu menghirup udara segar ini. Ia merentangkan kedua tangannya dan menutup matanya.

"Segar sekali rasanya,"

Daffa tersenyum melihatnya, ia jarang sekali melihat wajah ceria Rindi, kecantikannya bertambah dua kali lipat saat dia tersenyum.

"Cantik," Daffa mengusap kepala Rindi membuatnya menengadahkan kepalanya.

"Kamu mengatakan sesuatu?"

"Tidak, kamu salah dengar." Ucapnya dan kembali mendorong kursi rodanya.

Mereka berhenti di sudut lain yang menampakan banyak sekali bunga disana yang di ukir secatik mungkin.

"Sepertinya segar yah berjalan dengan telanjang kaki di atas rumput hijau itu yang berembun." Gumamnya tersenyum miris.

"Kenapa tidak, ayo berjalan di sana."

"Yang benar saja, Tuan. Aku ini lumpuh."

"Ck, kau terlalu pesimif Nona jutek." Daffa melepaskan sepatu pentopelnya seraya kaos kakinya hingga bertelanjang kaki.

"Daf-," ucapan Rindi tertahan saat Daffa menyimpan kantung infusan ke dalam saku jasnya dan mengangkat tubuh Rindi.

Rindi membeku saat tubuhnya berdiri di atas kaki Daffa, Daffa memeluk perut Rindi dengan erat membuat Rindi sedikit ketakutan.

"Kakiku lemas sekali."

"Jangan di gerakkin kalau sulit, biarkan saja. Aku akan menahan beban tubuhmu." Ucapnya mulai melangkah kakinya perlahan menginjak rumput halus itu dan rasa sejuk langsung terasa di kaki Daffa dan Rindi.

"sejuk sekali," kekehnya.

"Kamu bisa berjalan bukan, jadi jangan pesimis lagi." Rindi membeku mendengar penuturan Daffa. Ia menengok ke arah Daffa yang berada di belakangnya dan begitu dekat sekali, bahkan hembusan nafasnya terasa menerpa wajahnya.

Tak ada yang mengeluarkan suara, hanya tatapan yang saling terpaut satu sama lainnya.

Rindi segera memalingkan wajahnya saat hidung Daffa mulai bersentuhan dengannya. "Kenapa?" tanya Daffa.

"Tidak, aku tidak ingin mengkhianatinya lagi." Ucapan Rindi membuat Daffa tersenyum sinis.

Ia kembali melangkahkan kakinya menyusuri rumput itu.

Terkadang seseorang yang berada tepat di depanmu tidak selalu ada di dalam pikiranmu...

次の章へ