webnovel

BAB 15

Di tempat duduknya, Naruto sedang merencanakan sesuatu, dan usahanya untuk bersabar menunggu teman-temannya memberitahu dirinya tentang kondisi Hinata tidak pernah ada dalam pilihan. Ia harus memastikan sendiri, apakah mereka tahu hingga berakhir untuk menutup mulut rapat-rapat.

Ketika hendak menyesap kopinya, terlihat Sakura memasuki kafe disusul oleh Sasuke di belakang perempuan itu. Mereka berdua tersenyum senang menjumpai dirinya sudah di tempat itu lebih dulu, sebelum akhirnya mereka mendekat dan duduk, setelah memesan sesuatu.

"Apa kau menunggu lama?" tanya Sasuke, selesai pria itu mengambil pernapasan panjang. "Di luar sangat panas. Aku kira ini sudah masuk musim dingin."

"Ayolah, mendekati musim dingin biasanya memang ditandai badai panas yang tidak kita semua sukai," Sakura menepuk punggung tangan kekasihnya, lalu beralih memandangi Naruto. "Kami senang kau ada di sini, kau baru datang beberapa hari lalu. 'kan?" Naruto mengangguk, disusul ia kembali menyesap kopinya, kali ini sampai habis. "Jadi, kau akan tinggal di rumah nenekmu atau kau akan tinggal di penthouses dekat kantormu?"

"Untuk sementara aku akan tinggal bersama nenekku sampai aku menemukan tempat tinggal yang layak." Naruto membalas, meskipun dia tidak tahan dengan perasaan ingin menyela, lalu bertubi-tubi menghadiahi mereka pertanyaan-pertanyaan yang selama ini hampir memecah-belah otaknya.

Sejenak Naruto melirik ke jalanan. Udara di luar memang sangat panas, tapi jauh lebih panas hatinya yang amat memanas. Dalam kesempatan yang ada, keinginan marah itu semakin naik tingkat, dan bahkan tak dapat ditoleransi lagi untuk tetap memendam semua pertanyaan ataupun kejadian yang ingin sekali diketahui olehnya. Namun masih dalam kondisi mempertahankan pertemanan, hingga akhirnya Naruto hanya menceletuk dengan berani, "Apakah kalian mendengar kabar tentang Hinata?"

Sakura menegang kemudian, kedua tangannya meremas lengan sofa kuat-kuat. "Mengapa kau tiba-tiba tanya tentang Hinata?"

"Kita teman satu angkatan, dan gadis itu juga teman sekelasmu, 'kan?" kopi pesanan Sakura maupun Sasuke datang, membuat mereka terhenti sejenak, sebaliknya Naruto tahu bahwa Sakura benar-benar tidak bisa menutupi ketegangannya. Berarti Sakura tahu apa yang terjadi pada Hinata—tentu saja kini saatnya untuk memberitahu yang sebenarnya. Namun ketika hendak melanjutkan pembicaraan itu, Sasuke mengangkat salah satu tangannya, menyetop begitu saja. "Apa yang ingin kaukatakan?"

"Kami tidak pernah tahu tentang kabarnya, dia tidak pernah datang ke acara reuni."

"Benarkah?" meski marah, Naruto tetap mengambil senyuman—tetap mengatur dirinya dalam bersabar walau ada sedikit bayangan dia menjungkirbalikkan mejanya, dan memaki kedua temannya. "Apakah dia tinggal di luar negeri?"

"Tidak," Sakura menyela, suaranya hampir terdengar mengerang. "Dia masih ada di Jepang." Sasuke melirik penuh waspada, kadang tanpa sadar dia menggeleng kecil, tapi kekasihnya justru mengabaikannya. "Terjadi sesuatu padanya, kami tidak pernah bisa membicarakannya pada siapa pun—"

Sakura merasakan sentuhan lembut pada punggung tangannya, ia sebentar melirik Sasuke dengan wajah ditekuk dan tentu saja sangat sedih. "Kita harus memberitahu dia... hanya pada Naruto seorang."

"Memberitahu?" Sasuke menutup matanya rapat-rapat sementara Sakura kembali memandangi wajah Naruto amat gelisah.

"Hinata mengalami kecelakaan, hanya kami berdua yang tahu." Naruto ternganga, dan Sasuke kini jauh menyadari, pertemuan mereka menjadi sangat kacau, padahal sejak jauh-jauh hari mereka sudah merencanakan akan pergi ke mana untuk acara reuni mereka begitu bertemu, menghabiskan sepanjang musim dingin berkeliling Jepang, mungkin saja terjadi.

Sakura kembali melanjutkan kisah tragis yang dapat diingatnya betul sampai membuatnya hampir gila. "Keluarga Hyuuga menutupi kecelakaan Hinata, dan kami berdua dipaksa untuk bungkam dalam masalah ini. Di antara kami, tidak boleh memberitahu siapa pun. Hinata mengalami cedera pada kepalanya, ataupun pada tulang punggungnya yang menyebabkan dia lumpuh, tetapi dokter pernah berbicara pada kami, seharusnya Hinata bisa berjalan kembali hanya mengikuti serangkai terapi dan rehabilitasi," Naruto menyisir rambut pirangnya dengan perasaan yang tak dapat digambarkan. " Tapi keluarga itu tidak melakukan apa pun selain memenjarakan putri mereka di dalam rumah. Kami sudah tidak sanggup menutupinya, kami harusnya mengatakan padamu apa yang terjadi, Hinata datang pada saat kau kembali ke Rusia, dia sangat sedih saat tidak bisa mengatakan sesuatu padamu, ya, kami harus memberitahu dalam hal itu, tapi ada banyak masalah yang terus membuat kami terpaksa menutupinya darimu, atau dari siapa pun."

Naruto mencermati wajah Sakura. "Apa yang ingin dia katakan?"

Sakura maupun Sasuke menggeleng. "Kami tidak tahu." Mereka berdua bersamaan untuk menjawab.

Naruto mencermati kedua temannya dengan hati dan pikiran yang kembali kacau. Namun dia terbilang masih tenang untuk mendengarkan cerita mereka. "Hinata datang dengan menangis, dan ketika dia tahu kau sudah tidak di sini, aku bisa melihat wajahnya berubah drastis menjadi pucat. Aku berpikir apakah terjadi sesuatu pada kalian?" ujar Sasuke, sementara Sakura menunduk, memandangi kopinya dalam-dalam. "Kecelakaan itu terjadi begitu saja. Aku yang pertama melihat bagaimana Hinata—" Sasuke menarik napasnya, rupanya menceritakan di bagian itu amatlah sulit. Ia bisa melihat Hinata berhenti secara tiba-tiba, sebuah mobil meluncur, adegan itu nyata bukan sebuah film penuh rekayasa, hingga selanjutnya yang terjadi, jauh menjadi sulit.

"Keluarga Hyuuga menyuruh kami untuk bungkam. Dan, apakah kau pikir kami baik-baik saja dalam hal itu?" Naruto membisu, mengernyit ngeri pada kedua temannya. "Kami berada pada tekanan mental yang sangat buruk pasca kejadian itu. Kami bahkan belum pulih sepenuhnya hingga saat ini."

Sakura mengangkat kepalanya. "Melihat kondisi Hinata seperti itu, aku... jauh menjadi sangat tertekan. Seandainya aku tidak mengajaknya untuk pergi mengantarmu ke bandara, aku rasa kejadian nahas tidak akan pernah terjadi padanya, atau pada kita."

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri," Sasuke berbisik, kemudian menyerahkan sapu tangan pada kekasihnya. Selesai menenangkan pacarnya, ia kembali melihat Naruto yang terpaku padanya. "Aku yang paling tahu bagaimana keluarga itu, karena norma-norma kuno yang diterapkan, bahwa anggapan kecacatan apalagi pada seorang anak perempuan bisa menjadi aib. Hinata buta, tak ada satu pun pendonor yang cocok jika bukan dari keluarganya sendiri. Tapi untuk kelumpuhan, aku bisa tahu kalau dia akan cepat pulih bila melakukan rehabilitasi, tapi ini sudah 15 tahun lamanya, aku pikir semuanya terlambat."

"Terlambat?" Naruto jauh berwajah pucat di tempat duduknya.

"Keluarganya tidak pernah memberikan tempat baginya sembuh," ujar Sakura. "Kami tidak bisa membawamu untuk melihatnya, karena hanya kita berdua yang diizinkan."

"Tidak perlu," temannya melirik heran pada Naruto. "Gadis itu ada bersamaku."

"Apa... apa yang kaukatakan?" Sasuke terheran-heran. "Hinata ada bersamamu? Sejak kapan?"

"Kemarin, aku membawanya pergi saat dia bersama adiknya, aku pikir akan sulit meyakinkan gadis itu, nyatanya... aku bisa mendapatkan Hinata dan membawanya tinggal bersamaku dengan sangat mudah." Naruto menjelaskan, kembali mendapatkan ketenangan mengingat selama seharian ini dia terus merasa cemas bukan main. "Sebenarnya aku tidak ingin mengakui bahwa aku telah bersama Hinata sejak kemarin, itu jika kalian memang sejak awal merahasiakannya dariku; tentang bagaimana kondisinya, tapi sekarang aku tahu, apa yang terjadi bukan kalian yang menginginkannya, tapi keluarganya yang terus menekan kalian untuk tidak mengaku pada siapa pun."

Sakura membuang napas selesai dia menyapu air matanya. "Apakah kau akan mencari pendonor?"

"Tentu saja, itu langkah awal yang harusnya aku lakukan, aku melakukannya bukan karena perasaan bersalah, aku peduli padanya, dan kalian yang paling tahu bagaimana perasaanku pada gadis itu."

次の章へ