webnovel

BAB 13

Di perjalanan itu, Naruto merasa tidak nyaman menjumpai Hinata yang diam seperti patung. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dalam mengambil sikap, situasinya amat rumit, dan berakhir menjumpai gadis itu menunduk, air mata terjatuh di atas pahanya—rok lipit berwarna cokelatnya pun mulai basah.

Naruto menghela napas dengan pikiran jauh lebih terbuka. Ada saatnya seorang perempuan butuh tempat untuk menangis, atau kesendirian menjadi pilihan paling bijak daripada menunjukkan kesedihan dan kesengsaraan itu pada orang lain. Maka yang dilakukan olehnya pun memberikan ruang bagi Hinata untuk menumpahkan segala masalah pelik yang membelenggunya, membiarkan gadis itu menangis sendirian. Hingga akhirnya, secara sigap Naruto menepikan mobilnya ke pinggir jalan, kemudian memberitahu Hinata, "Aku memberimu waktu untuk sendiri, ketuk dasbor mobil jika sudah selesai, kita bisa melanjutkan perjalanan kembali."

Sebelum memutuskan untuk keluar, Naruto menepuk pundak Hinata—kepeduliannya bukan lagi sekadar seorang teman satu sekolah. Kini yang diinginkan oleh laki-laki itu menunjukkan sebuah dukungan, ia tidak boleh lagi menutupi rasa sukanya yang menggebu-gebu. Dan tentu saja, betapa menyesal dirinya tidak bisa melakukan apa pun pada gadis itu dulu. Dan kali ini, ia akan bersikap sepantasnya sebagai seorang laki-laki yang tidak pernah padam untuk jatuh cinta pada gadis itu.

Namun ketika Naruto akan keluar dari mobilnya, gadis itu mengetuk dasbor secepat yang dirinya bisa, "Jangan pergi," ucap gadis itu lemah, suaranya cukup lembut sampai-sampai membuat hati Naruto mencelus, pada akhirnya pun Naruto kembali duduk dengan tenang.

"Maaf," kata Hinata setelah itu dengan suara pedih. "Aku tidak ingat apa pun tentang dirimu."

"Aku tidak pernah mempermasalahkan itu."

"Tapi aku sedang mempermasalahkannya sejak semalam."

Naruto menutup kembali pintu mobilnya, lebih kencang menyalakan AC. Di dalam situ rasanya jauh lebih panas. Belum lagi mendapati Hinata bersedih membuatnya ingin menyalahkan dirinya sendiri atas rencana dadakan yang tak diungkapkan olehnya. "Lalu, apa yang harusnya aku lakukan?" ujar Naruto cemas, karena dia tidak tahu apa yang bisa dia lakukan, sebab yang ia tahu, meyakinkan Hinata tentang hubungan, lalu mungkin mereka bisa mulai kehidupan asmara yang mendebarkan, walau kenyataannya ia mungkin saja bakal membuat ibunya mengalami serangan jantung.

Hinata menggelengkan kepala dengan perasaan yang sulit dipahami. "Aku merepotkanmu."

"Sama-sekali tidak, karena aku yang menginginkan ini."

"Mengapa kau menginginkannya? Keluargaku saja tidak menginginkan aku ada."

Naruto mengalihkan pandangannya keluar jalanan, entah mengapa rasanya sakit mendengar hal itu terucap dari bibir Hinata. Kenyataan bahwa gadis itu mengetahui—menyadari jika keluarganya tidak lebih dari orang yang dikenalnya. "Aku tidak pernah bertemu ibu dan ayahku lagi, rasanya makin hari aku mulai melupakan bagaimana suara mereka. Kami juga tidak pernah berada di satu meja makan. Ketika di rumah ada acara besar-besaran, akan ada kebohongan besar di mana mereka mengatakan aku pergi ke luar negeri karena pendidikan, juga karier."

Jari lentik gadis itu menyapu air mata yang berjatuhan. "Ya Tuhan, aku sampai tidak tahu apa yang harusnya aku katakan, dan aku benar-benar putus asa!"

"Benar, kau memang pantas untuk putus asa, bahkan jika aku berada dalam kondisimu, aku mungkin menginginkan mati sejak dulu." Hinata mencermati suara laki-laki itu saksama—perasaannya yang lagi-lagi ditenangkan begitu mudah, kadang terasa sangat tidak masuk akal.

Siapa laki-laki ini, mengapa bisa aku tidak berpikir buruk padanya?

"Benar. Aku bahkan jauh menginginkannya akhir-akhir ini."

"Tapi mati bukan pilihannya." Laki-laki itu membalasnya, mencengkeram kedua tangan Hinata sangat tiba-tiba, meski terkejut, Hinata tetap mencoba untuk tenang. "Ada banyak tujuan untuk membahagiakan diri sendiri. Dan... aku akan jadi orang yang membahagiakan dirimu."

Hinata berpikir sejenak. "Apakah dulu saat SMA, kita sangat dekat?" Naruto melonggarkan genggamannya. "Ada banyak pertanyaan yang ingin kuajukan." Naruto masih terdiam. "Apa mungkin... kita pacaran?"

"Iya," Naruto menjawab tanpa pikir panjang, meskipun sebenarnya dapat mendengar nada gemetar dari laki-laki di sampingnnya itu, Hinata masih sabar untuk mencari tahu kenyataan aneh di antara mereka. "Kau menginginkan aku terbuka?" Naruto menarik napas. "Kau seperti ini karena aku... aku penyebabnya."

"Sekarang kau menyalahkan dirimu sendiri?"

"Aku tidak mencoba menyalahkan diriku sendiri, tetapi aku sangat menyesal karena tidak menunggumu pada hari itu," dalam kegelapan yang menguasai, Hinata merasakan jika tangan laki-laki itu terus bergetar, tetesan demi tetesan air mata berjatuhan di atas punggung tangannya, ia terkejut bukan main. Apakah laki-laki ini menangis sekarang?

"Aku tidak bisa tidur, sama halnya seperti dirimu, aku pun butuh banyak penjelasan mengapa kau seperti ini pada akhirnya. Sakura maupun Sasuke tidak membicarakan kenyataan menyakitkan ini padaku. Dan bodohnya, aku sendiri cukup malu untuk mencari kabar tentangmu. Aku terus menunggu seseorang menyinggung tentang dirimu, tapi tidak ada satu pun dari mereka menyebutkan namamu." Hinata dapat merasakan pria itu marah, tapi entah mengapa dia justru ingin tertawa. Naruto menyadari itu—Hinata yang mencoba menertawakan kesedihannya. "Aku menyukaimu, sampai detik ini, rasanya aku akan mati kalau tidak mendapatkanmu."

"Aku tidak pernah membayangkan mendapatkan kata-kata romantis seperti sekarang."

Naruto memutar bola matanya kesal. "Aku ingin mengatakannya sejak dulu."

"Boleh... aku menyentuh wajahmu?" Naruto menarik tangan Hinata cepat-cepat, sampai membuat gadis itu menganga saking kagetnya.

"Sentuh, sampai kau puas."

次の章へ