webnovel

29

Tidak ada yang menarik dari Okutama, mengapa dia harus pulang ke tempat menyebalkan ini, berada di dalam kamarnya dan memandangi ginkgo sepanjang hari, ketika dia mengambil sehari masa libur tepat di hari Sabtu.

Neji terpaksa mengantarkan dirinya pulang, mendengar kabar bahwa ibunya sakit, rindu berat, itu sudah biasa, wanita itu sangat menyayangi Hinata daripada sang ayah yang selalu bersikap dingin kepada putrinya.

Untuk apa pulang kalau pada akhirnya menerima perlakuan aneh mereka?

Seharusnya tidak perlu menginap, 'kan?

Seorang gadis cilik tiba-tiba muncul di kamar Hinata. "Kakak, aku baru pulang dari belajar menjahit, dan aku melihat Miru ada di halaman, aku tidak percaya kalau kakak pulang," Hanabi senangnya minta ampun. "Kakak, aku juga ingin hidup di Tokyo bersamamu dan Neji, aku di sini kesepian."

"Anak kecil tidak cocok tinggal di sana, lebih baik kau tinggal di Okutama," seru Hinata, seolah memberikan saran. "Kalau sudah besar kau boleh menyusulku ke sana. Itu jika ayah memberikan izin untukmu meninggalkan Okutama," seperti biasa, wajah gadis kecil itu merengut. "Oh iya, apakah selama aku pergi terjadi sesuatu di rumah ini?"

Hanabi mengingat-ingat sejenak. "Kurasa hubungan ayah dan ibu sedikit merenggang," kata gadis kecil itu, dan bagaimana bisa ucapannya itu dapat dipercaya. Penilaian anak kecil bukankah kadang berbeda dari orang dewasa yang barangkali dapat memahami segala polemik rumah tangga.

"Aku tidak sengaja melihat ibu menangis dan marah kepada ayah suatu malam. Aku mencoba menyelinap keluar dari kamar untuk pergi ke dapur pada waktu itu, rencananya mencari camilan. Ketika melewati kamar ibu dan ayah, ibu menangis dan ayah hanya terdiam memandang itu," Hinata menoleh ke arah ginkgo. "Apa kau pikir ini ada hubungannya dengan Dewa Rubah?"

Hinata tertunduk. Kasus apa lagi sekarang yang mulai membuat geger orangtuanya. Dewa sialan itu tidak pernah berubah, selalu menginginkan apa pun yang dia mau tanpa memikirkan perasaan manusia yang mengabdi padanya. "Kakak, kau kenapa?"

Ketika memandangi adiknya sekali lagi, Hinata seolah tersirap dan tertelan rasa bingung, ia tidak bisa menjawab pertanyaan adiknya sebaliknya hanya memandangi gadis kecil itu yang mulai ketakutan. "Kakak tidak apa-apa?"

"Bisakah kau meninggalkan aku sendiri di sini? Aku baru datang, aku ingin istirahat sebentar sampai makan malam tiba."

"Tentu, jika itu yang kakak inginkan."

Hanabi keluar dari kamar kakaknya dengan rasa penasaran. Gadis itu bahkan tidak benar-benar menutup pintu kamar kakaknya. Ia mengintip dari celah pintu. Angin berembus sangat kencang sampai membuat helai demi helai rambut kakaknya terbang. Kemudian, Hanabi melihat seolah sang kakak tengah berbicara entah dengan siapa. "Aku akan berpacaran dengan seseorang, aku akan berciuman dengannya, aku akan menikah dengannya, dan aku akan hamil anaknya. Apa kau tidak dengar?" Hanabi terkejut di tempatnya. "Aku akan melakukan apa pun semauku mulai sekarang, kau tidak harusnya ikut campur dan membuat keluargaku hancur!"

Itu tidak mungkin, 'kan?

Hanabi masih merasa heran mengapa kakaknya berkata seperti itu. Kakaknya adalah pengantin dewa, dan penduduk di sini semuanya tahu itu, tidak ada yang dirahasiakan. Ibarat biarawati yang tidak menikah, kakaknya mungkin bisa diibaratkan seperti itu, mengabdi pada Tuhan dan menjadi pelayan setianya. Beberapa orang di pelosok dunia meyakini hal itu—demi memuaskan kepercayaan dirinya sendiri, Hanabi sang gadis yang serba tahu mulai mencari beberapa orang yang bernasib seperti Hinata. Apakah wanita bernama Hayes bisa disamakan seperti sang kakak? Menjadi seorang perawan yang disucikan.

Ah, tidak, tidak, tidak.

Hanabi tidak ingin menyamakan kakaknya dengan orang-orang Katolik. Kakaknya jelas terpilih, tidak diberikan kesempatan untuk dapat memutuskan apa yang terbaik bagi hidupnya sendiri. Ia tidak sukarela menyerahkan dirinya kepada Dewa. Kakaknya jelas berbeda. Ia tertekan, merasa sakit, ketidakadilan menyerang, belum lagi orangtua mereka yang kadang bertolak belakang dalam memutuskan sesuatu yang menyangkut kakaknya.

Dengan langkah pelan, tetapi kepalanya nyaris berasap, Hanabi tiba-tiba menubruk tubuh Neji. "Aduh," seru gadis itu, terjatuh, merasakan pantatnya mendarat pada permadani koridor. "Kak Neji, membuatku terkejut saja."

"Mengapa kau melamun, Hanabi?"

"Aku tidak melamun."

"Kalau kau tidak melamun, kau tidak akan tertabrak," masih mengusap dahinya, Hanabi kembali berdiri. "Kau mau ke mana?"

"Aku sehabis dari kamar Hinata," Neji melirik ke lorong terbuka yang menghubungkannya dengan paviliun pribadi milik Hinata. "Sepertinya kakak punya pacar," dengan keterkejutan, Neji kembali melihat Hanabi. "Dia bilang akan menikah dengan seorang pria dari Tokyo."

"Pria siapa yang dimaksud olehnya? Hinata tidak kenal siapa—" ia tidak bermaksud memotong perkataannya, tapi Neji teringat soal satu-satunya laki-laki di Tokyo yang mereka kenal. "Apakah dia menyebut nama seseorang?" Hanabi menggelengkan kepala, wajahnya terlihat sedih. "Kau yakin?" masih memandangi Hanabi yang seakan-akan bingung, Neji kemudian menggendong anak itu untuk dibawanya pergi ke suatu tempat—setidaknya tidak berada di lorong yang kemungkinan besar percakapan mereka dapat didengar banyak orang.

Jangan lupa masukkan cerita ini ke dalam daftar perpustakaan kalian, dan terima kasih atas vote-nya.

BukiNyancreators' thoughts
次の章へ