webnovel

25

Meskipun menemukan papan peringatan untuk tidak duduk-duduk pagar trotoar, Hinata tetap melakukannya sambil melihat kakinya yang bergoyang-goyang kecil karena bosan.

Sejam yang lalu dia berhasil kabur dari pendampingnya yang juga merangkap sebagai pengasuh sejak dirinya kecil. Karena tidak ada Neji, Hinata tidak bisa bebas untuk melakukan semuanya sendiri, karena pendampingnya akan menginap di apartemen mereka.

Masih duduk-duduk di pagar trotoar, seorang pemuda mendekatinya, dan itu adalah Naruto. "Apa yang kaulakukan di sini? Kau tidak lihat kalau ada peringatan tidak boleh duduk di pagar jalan?" Hinata mendongak, poninya yang panjang jatuh menutupi kedua matanya. "Kau bersama Neji?"

"Tidak, Neji pulang ke rumah, dia bilang ada urusan, dia meninggalkanku bersama pendamping."

"Jadi, kau tidak punya teman?"

Hinata menghela napas, kembali jatuh memandang kakinya yang bergerak-gerak. "Kita tidak pernah menjadi teman, Neji tidak akan mau berteman dengan gadis sepertiku."

"Tapi kalian saudara," Hinata tertegun, ia membeku. "Kau sangat dekat dengan kakakmu?" lidahnya menjadi keluh, ia tidak mungkin berkata sejujurnya bahwa mereka bukan saudara kandung. "Seharusnya kalau dia pulang ke rumah, kau sebaiknya juga ikut biar tidak kesepian."

"Aku membenci rumahku," balas Hinata, suaranya hampir tidak terdengar. "Aku benci ayahku, aku juga benci ibuku, mereka berdua membuat Neji mengambil tanggung jawab yang besar. Aku ingin lari tapi tidak tahu ke mana," Naru melihat sekeliling. "Mungkin aku harus pergi ke suatu tempat sampai Neji kembali ke Tokyo."

"Sini," pemuda itu tiba-tiba menarik tangan Hinata, gadis itu tersentak. "Ikut ke rumahku, ibuku mungkin akan senang dengan kedatanganmu di sana. Kalau aku membiarkanmu di sini sampai larut malam tanpa pengawasan, kau bakal diculik. Asal tahu saja, kota besar sangat berbeda dari tempat kalian di Okutama, yang kata Neji, bahwa tempat tinggal kalian sangat damai," Naru mencerocos tanpa henti, memaksa gadis itu masuk ke dalam mobil.

Sudah masuk ke dalam mobil, Naruto memberikan syal merahnya, kemudian dililitkan pada leher gadis itu. "Ini sudah memasuki musim dingin, sebaiknya kau pakai syal untuk menghangatkan diri." Laki-laki ini baik, tidak ada alasan untuk membencinya, hanya karena pemuda ini mengingatkan Hinata akan sosok yang sangat dibenci olehnya.

Banyak orang terenggut nyawanya, banyak sanak-saudaranya menghilang begitu saja. Tapi pemuda ini manusia, nyata, semua orang mengetahuinya. Tidak ada yang aneh selama ini, tidak ada energi mencurigakan yang terasa di sekitar pemuda itu, mengapa dia harus membentuk sebuah pertahanan dan kebencian. Itu terdengar tidak adil.

"Terima kasih," kata gadis itu tiba-tiba dengan suara pelan. "Maaf kalau aku selama ini menunjukkan sikap permusuhan, sebenarnya itu bukan sikapku, memusuhi orang tanpa sebab. Hanya, kau mengingatkanku pada seseorang," Naru menekan kunci pada tablet, lalu mendengarkan secara serius. "Aku sangat membencinya."

"Mengapa kau membencinya?"

"Karena banyak orang yang memilih berkorban untuknya."

"Berkorban?"

"Aku tidak mungkin menceritakannya, ini masalah pribadi di keluarga kami."

"Tentu, kau tidak perlu menceritakannya jika memang kau tidak ingin," pemuda itu terkontrol, terlihat tidak seperti biasanya—dan rasa-rasanya memang benar kalau pemuda itu sebenarnya pemuda baik, mungkin semuanya bermula dari dirinya yang tidak memberikan situasi terbaik, maka pemuda itu ikut-ikutan menjadi sedikit arogan. Hinata merasa menyesal karena hal itu.

Sampai di kediaman Namikaze, Naru mengajak Hinata untuk masuk ke dalam rumahnya. Kushina yang awalnya ingin menyambut kedatangan putranya dari bimbingan belajar, tiba-tiba dikejutkan oleh kehadiran gadis itu. "Apa ini, ya Tuhan, bibi tidak menyangka kau akan datang malam-malam begini," sempat tersenyum kepada Hinata, Kushina beralih memandangi putranya. "Kau tidak bicarakan hal ini pada ibu sebelumnya."

"Kami tidak sengaja bertemu di tengah jalan, Neji sedang pulang ke rumah, dan dia kesepian."

"Ya Tuhan, kasihan sekali. Kalau kau mau, kau boleh menginap di sini, para pelayan akan siapkan kamar tamu untukmu. Tapi omong-omong, kau sudah makan malam?" Hinata menggeleng kecil, dia menyukai perhatian Kushina. "Kebetulan, kau bisa makan satu meja dengan Naruto."

"Aku sudah—" Kushina memukul keras lengan putranya. "Baiklah," dan anak itu jelas langsung menyerah.

"Ayo masuk, udara di luar mulai dingin."

"Terima kasih, bibi, maaf kalau merepotkan."

Kushina merengut. "Tidak sama-sekali, sungguh, bibi senang kalau kau berada di sini, dan bisa menginap di sini juga," Hinata bersemu merah. "Besok pagi, ayo ikut bibi untuk menghadiri upacara minum teh."

"Ibu, jangan lagi, Hinata mungkin tidak akan nyaman."

"Tidak apa-apa, aku sering ikut upacara minum teh bersama beberapa orang," seharusnya Naruto tahu, kalau gadis itu terlihat lebih suka untuk melakukan apa pun semaunya. Semestinya dia tidak perlu membantu gadis itu untuk menolak ajakan Kushina, selama Naru dapat menilai, jika Hinata tidak mempermasalahkannya. "Kau tidak keberatan kalau aku ikut bersama ibumu?"

"Tidak pernah keberatan, selama kalian menginginkannya, kukira begitu," Kushina dan Hinata saling memandang, lalu keduanya tersenyum. "Aku akan pergi ke kamar untuk berganti pakaian dan mencuci wajah."

"Kami tunggu di ruang makan, oke?" kata ibunya, Naru meninggalkan kedua orang itu tepat di tengah lobi, ia perlu lebih dulu naik ke lantai atas untuk menuju kamarnya, berganti pakaian lebih penting dan membasuh mukanya yang mungkin berminyak penuh kotoran, karena seharian ini dia banyak mendatangi berbagai tempat untuk bimbingan, atau tur kecil di kampus favorit bersama anak-anak kelas tiga lainnya.

Sejak dinyatakan memiliki kesehatan buruk jika berada di luar negeri, keluarganya jarang mengajaknya atau memaksanya untuk tinggal di tempat asal keluarga ayahnya terlalu lama. Dimulai ketika saat memasuki sekolah menengah pertama, begitu tinggal di sekolah barunya di Sevenoaks, Naru mengalami demam tinggi, penyakit jantungnya membuat anak itu berkeringat dingin di setiap harinya, dan itu semakin membuat kedua orangtuanya khawatir.

Jepang tujuan utama demi kesembuhan pemuda itu, dan itu terbukti, anak itu tidak pernah sakit-sakitan berada di sini.

次の章へ