webnovel

8

Di kamar yang sempit itu, Hinata tengah menata buku-bukunya, sebenarnya dia baru saja memborong beberapa novel percintaan yang ingin sekali dia beli langsung dari toko buku.

Di Okutama sendiri memang ada toko buku besar, tapi percayalah toko buku yang katanya paling besar dan paling lengkap di sana tidak lebih dari tempat dengan bangunan tua yang hanya memiliki buku-buku lawas, dan menurut gadis itu, buku di sana tidak seharusnya diperjualbelikan. Okutama sejenis tempat yang mungkin disebut retro. Terlalu ketinggalan zaman, tetapi beruntung jauh lebih baik daripada Korea Utara.

Tiba-tiba, ketika berhasil meletakkan buku terakhirnya ke rak buku, seseorang mengetuk, siapa pun itu pasti tidak jauh-jauh dari Neji atau pelayannya yang super berisik.

Hinata mendekati kamarnya, dia menemukan Neji berada di depan pintunya. "Waktunya makan malam," kata pemuda berambut panjang itu. "Kau tidak boleh melewatkannya, nanti kau bisa sakit."

"Bisa sakit, tapi aku tidak akan mati."

Neji hanya tersenyum untuk menanggapinya. "Turunlah, ada yang ingin aku bicarakan bersamamu di meja makan."

"Seharusnya kau bisa membicarakannya di sini, sekarang."

"Agak kurang nyaman, makan malam adalah waktu yang tepat untuk saling bicara."

"Neji, demi Tuhan," kata Hinata sedikit gemas. "Kita tidak harus sedekat ini."

"Kita dekat, dari kecil."

"Sebelum tragedi nahas itu terjadi pada kita berdua," seolah Hinata melanjutkannya.

"Hinata," Neji menyela, berusaha tidak bosan untuk mengingatkan sekali lagi. "Tidak ada tragedi nahas, itu semua sudah ditulis oleh Yang Mahakuasa."

Gila! Sepupunya ini terlalu apatis pada apa yang terjadi pada keluarga mereka. Salah satu orang yang paling sulit untuk disadarkan, bahwa semua yang ada di Okutama sebentuk kesalahan. Keluarga itu harus dihancurkan. Menurut Hinata memang begitu. Tradisi aneh yang tidak disukainya. Dan pikir Hinata, seandainya Neji berada di posisinya, mungkin laki-laki itu bakal membenci seluruhnya—hal yang penuh tidak masuk akal.

"Ini tentang Ketua Asosiasi," Hinata bergidik ngeri, masih terbayang wajah pemuda landak menyebalkan itu. "Dia bilang kalau kau sedikit tidak waras," Hinata memutar bola matanya kesal. "Terjadi sesuatu pada kalian? Kau bertemu dengan Naruto lagi?"

"Demi Tuhan, aku tidak akan menceritakan hal menyebalkan yang terjadi pada kami."

"Kurasa dia membuatmu kesal."

"Semakin kesal."

"Kau yakin pernah bertemu dengannya?"

Hinata menimang-nimang apakah dia harus berkata jujur. "Kau mungkin tidak akan percaya," kata Hinata, tampak meragukan Neji, dan Neji merasa tersinggung seolah-olah adik sepupunya itu menilai dirinya tidak akan dapat dipercayai sampai kapan pun. "Ya, aku pernah bertemu dengan laki-laki itu, setidaknya saat aku berusia 10 tahun."

"Itu tidak mungkin," sebenarnya Neji tidak mau meragukan itu, wajah Hinata ternilai yakin. "Kita tidak pernah keluar dari Okutama sedikit pun, dan kita semua tahu apa yang terjadi padamu berbulan-bulan tepat usia 10 tahun itu, kau menghilang."

"Itu maksudku."

"Apa?"

Hinata mulai memijit pangkal hidungnya, merasa begitu semakin sulit untuk memberitahu kakak sepupunya. "Aku tidak mau menceritakan bagian ini dulu, sangat rumit, aku yakin kau akan langsung menertawakanku, kita lupakan saja," Hinata langsung menutup pintu kamarnya, itu cara yang tidak sopan, tapi dia sebenarnya merasa begitu sesak untuk terus berinteraksi bersama Neji dengan mengingat masa lalu yang begitu sulit di antara mereka berdua.

Sementara di depan pintu kamar Hinata, Neji masih termenung, kosong, dan sesuatu secara rumit menjejal penuh sesak di dalam kepalanya. Dia tahu apa yang ingin Hinata beritahukan kepadanya, tapi Neji merasa tidak begitu yakin.

Di apartemen tak terlalu kecil dan tak terlalu besar, diisi oleh dua kamar dan satu kamar mandi bersama, dapur, juga ruang tamu yang sederhana, Neji melangkah penuh bingung, untuk sampai ke meja makan yang hanya beberapa meter saja dia merasa sangat berat sambil memikirkan hal-hal abstrak sulit untuk dia sendiri ungkapkan.

Neji kemudian duduk, memandangi seluruh makanan yang dimasak olehnya sendiri, sembari itu, mengingat perpisahan terakhirnya dengan sang ayah, ada kata-kata terselip tetapi Neji seolah tidak mendengar apa-apa di hari itu. Tidak ada raut kesedihan bahwa pria itu akan pergi dengan tugas berat, yang diperlihatkan oleh sang ayah pada waktu itu hanya sebuah senyum semringah—seolah tengah tidak sabar untuk bertemu dengan seseorang yang amat dirindukannya. Dan Neji merasa, jika ayahnya tidak akan kembali, itu benar terjadi.

Sementara di kamarnya, Hinata memandangi keluar, gelap tapi tak segelap di Okutama dan tidak setenang di Okutama. Ketika dia membuka jendela, Hinata masih mendengar riuh perkotaan dan klakson-klakson yang menggema dibawa oleh angin sampai ke tempatnya berada.

Di sini terasa jauh lebih damai daripada Okutama yang mungkin terbilang membosankan, baginya.

Hinata pikir, dia harus meyakinkan sendiri tanpa melibatkan Neji terlebih dahulu, apakah laki-laki landak itu si pembuat onar, dewa mesum, bajingan, kurang ajar, dan apa pun kejelekan-kejelekan pantas disebutkan untuknya. Mungkinkah keduanya hanya mirip? Toh selama pertemuan mereka, si Dewa memang tidak pernah memperlihatkan rupanya, Hinata hanya dapat menilai bahwa kulit sang Dewa bersih kecokelatan, tatanan rambut yang sama, dan satu yang tak dapat bisa dilupakan bahkan membuat Hinata begitu yakin, suara mereka... sama.

次の章へ