webnovel

Mahalnya sebuah kata 'Maaf'

Pernah membayangkan, bagaimana sebuah bulan dimalam hari begitu nikmat dipandang? Saya sih, cukup merasakan dengan diam dan duduk di bawah terangnya semalaman dan rasanya begitu menakjubkan. Ini serius lho, tidak heran bagaimana dulu ada cerita manusia berubah menjadi serigala disaat bulan purnama.

Karena ya ini. Saya rasakan begitu enak dan nyaman. Hahaha. Kalau berpikir saya bakal cerita tentang serigala? Hmm ... kalian salah. Karena saya hanya gunakan bulan sebagai prolog.

*****

Ini terjadi, ketika saya menginap dirumah teman.

rumahnya memang tidak begitu besar. Letaknya pun tidak terlalu strategis dan tidak terlalu menguntungkan. Kenapa? Karena rumahnya terletak di pojok dan tidak jauh dari pemakaman warga setempat.

Tak jarang, rumah teman saya ini menjadi tempat persinggahan bagi 'mereka'.

Seperti kejadian waktu itu, rumah teman saya kedatangan sepasang suami istri yang entah dari mana datangnya. Mereka bertamu layaknya manusia normal, mengucapkan salam dan bertanya apakah saya ada atau tidak.

Aneh kan, padahal saya posisinya tamu bukan pemilik rumah, kenapa tiba tiba cari saya?

Saya benar-benar tidak mengenal mereka.

"Maaf, ada perlu apa ya sama saya." saya keluar dari rumah dan menatap mereka dari depan pagar rumah.

"Maaf, mengganggu," kata sang istri.

Pasangan ini bisa saya tebak tidak berasal dari daerah jawa dan sekitarnya. Jika dicermati mereka menggunakan dialek chinese yang lumayan kental. Bahasa seperti ini seperti berasal dari pulau sumatra atau kalimantan.

Mereka berdua berbadan tambun dan memakai baju yang sama. Layaknya couple. Kutebak mereka berusia sekitar empat puluh tahunan sekian.

"Iya, enggak apa-apa. Ada yang bisa dibantu?" tanya saya.

Pertanyaan sesederhana ini, bisa berefek dahsyat yang dapat mengakibatkan dibangunnya sebuah jalur komunikasi dua arah antara saya dan mereka. Jika saya tidak sreg dengan mereka, lebih baik tidak membuka jalur komunikasi dan hanya mengatakan 'maaf cari orang lain saja'. Banyak hal yang membuat saya membatasi membuka jalur komunikasi dua arah, jika saya tidak suka. Antara lain kemampuan saya yang terbatas atau energi mereka yang tidak bagus atau cenderung negatif.

Ops! maaf agak ngelantur. Nggak papa ya, namanya juga intermezo karena udah lama tidak share. Huhu. Oke, balik lagi ke mereka.

"Maaf, boleh minta tolong?" kata mereka dengan sedikit tidak enak hati.

Seketika, tiba-tiba saya telah ada di pinggir sebuah jurang yang terlihat kedalamannya sekitar sepuluh meteran. Dari atas nampak sebuah mobil yang berasap berada di dasarnya. Mobil itu berwarna biru dan letaknya sudah menyimpang. Di dalamnya nampak mereka berlumuran darah dan dalam keadaan terjepit dashboard mobil.

"Maaf, kalau maksud kalian saya harus memberitahukan pihak polisi letak kalian disitu. Saya tidak bisa membantu. Saya tidak bisa berbuat sejauh itu. Apa nanti yang orang pikir tentang saya? Polisi bisa berpikir saya gila atau malah curiga saya ada hubungannya dengan kecelakaan kalian. Maaf, saya nggak bisa bantu. Cari orang lain saja, yang bisa? "ungkap saya dengan gamblang.

Ini sebenarnya kasus kesekian saya harus menunjukan letak mayat seseorang. Pernah ada yang bilang dia terkubur di sebuah rawa. Dan ujung-ujungnya dia meminta calon suaminya turut bertanggung jawab atas kematiannya.

Ada juga, yang mengatakan sebuah janin ada di dalam septik tank yang minta diangkat dan dikubur secara layak. Dan itupun harus ibunya yang membongkarnya sendiri. Padahal, itu kejadiannya sudah dua tahun yang lalu.

Ini gila ...

Lagi-lagi, saya harus tegas dengan keterbatasan kemampuan saya sendiri. Saya tidak bisa berbuat lebih jauh dan tetap berpegang pada akal sehat ataupun logika. Walaupun, mereka meminta bantuan dengan barter sekalipun.

Iya, ada mereka yang mau barter dengan kemampuannya. Mereka akan melakukan apa saja asal saya mau membantu membalaskan dendamnya.

Oh No ... Thats the big no no. Saya tidak membutuhkan bantuan apapun dari mereka. Titik.

"Iya, kami mengerti. Kami tidak dapat berbuat apa-apa sambil menunggu mereka menemukan jasad kami cepat ataupun lambat. Kami pasrah mbak ... kami cuma minta doanya aja ya, doakan kami ..." katanya pelan.

"Maaf ya, Tante. Kita harus serahkan ini ke pada pihak yang berwajib. Mereka pasti akan bekerja ketika sudah ada laporan om dan tante menghilang," kata saya sembari terdiam.

"Iya, kasihan anak-anak menunggu mama dan papanya dirumah. Mereka pasti khawatir. Mereka tidak tahu apa yang terjadi." Air matanya meleleh di pipinya yang gembil.

"Mama, mau minta maaf karena udah berbuat nggak jujur. Mama minta maaf...." Isak tangisnya membuat saya turut sedih.

"Iya, pasti mereka memaafkan, Tante," hiburku.

Aku, selalu berpikir namanya maut tak ada orang lain yang bisa menduga. Mereka datang seperti pencuri di waktu malam. Mereka, datang disaat kita sudah siaga atau saat kita berpikir mereka tidak mungkin datang sekalipun. Tidak ada yang yang bisa menduga.

Yang tersisa hanya sesal dan sesal. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh mereka yang tidak punya waktu untuk mengucapkannya. Atau selagi mempunyai waktu tidak terpikirkan mengucapkan atau tidak bisa mengungkapkan kata 'maaf'.

"Kalau bisa diputar waktu, Mbak. Tante ingin minta maaf ke anak tante. Mamanya, nggak sebaik yang mereka pikirkan. Kita hanya melakukan yang terbaik dengan segala cara. Tidak peduli itu merugikan orang lain atau tidak. Kita tidak peduli. Tapi sekarang tante menyesal ... maaafin mama, Nak," isaknya kembali pecah.

"Dia selalu mempunyai cara untuk memaafkan. Sekarang, kalian sudah terputus dan tidak berhak akan dunia mereka sekarang. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali meminta Dia memberikan ampunan yang sebesar-besarnya. Biarkan mereka berpikir kalian adalah orang tua yang terbaik yang mereka punya dan paling bertanggung jawab yang mereka kenal. Kalian tidak ingin mereka marah karena kalian ternyata orang tua yang jahat bukan?" tanya saya.

"Oh, tidak tidak. Aku sebenarnya tidak ingin mereka tahu. Serius. Tidak sekalipun kami ingin mereka tahu. Tidak sedikitpun," sang Ayah membuka suaranya dengan lantang dan pasti. Tidak ada keraguan yang nampak.

"Tapi, mereka harus tahu pah," sang Istri membalas.

"Bagaimana, caranya memberitahunya coba? Mbak ini bilang dia nggak bisa bantu. Kalau cari orang lain yang bisa pun papa nggak mau mereka menyesal. Kau mau seumur hidup mereka di bebani kalau yang terjadi dengan kita itu sebuah karma. Ini karma. Ini sebuah akibat dari apa yang pernah kita lakukan seumur hidup. Memperdaya orang, berbuat curang, berbuat semena-mena.

Papa, lebih baik mereka tidak tahu dan menganggap kita sebagai seperti yang mereka bayangkan. Urusan kita dengan mereka sudah selesai. Kita harus menanggung akibat dan karma. Kita harus tanggung ma," ujar sang Ayah dengan nada tinggi.

"Tapi, Pa ...." potong sang Istri.

"Sudahlah, harusnya kita meminta maaf kepada mereka jauh-jauh hari dan mulai meninggalkan kebiasaan buruk kita masing-masing. Nggak ada lagi yang bisa kita lakukan sekarang. Semua sudah terlambat. Terlambat! Sekarang kita pastikan, Dia mau berbaik hati kepada kita dan meringankan hukuman kita demi anak-anak. Kita membutuhkannya. Walaupun sepertinya itu akan sulit. Ayo kita pergi ..." ujarnya sembari berlalu.

"Tapi, pah ... Maaf permisi ...."

Well, mereka berlalu begitu saja. Meninggalkan saya sendiri yang menatap bulan dengan indahnya. Dan mulai mengusik pikiran saya tentang tidak ada kata terlambat untuk sebuah kata maaf yang ingin di ucapkan.

Lakukan sekarang atau terlambat sama sekali.

次の章へ