webnovel

Sebuah Rahasia

Aku menghela nafas panjang, menatap cincin yang ada di jari manis kiriku kemudian beralih menatap Elsie. Sejenak aku ragu untuk bercerita tentang asal usul cincin ini pada gadis itu meski biasanya tak ada rahasia di antara kami.

"El, kamu percaya cerita tentang time travel, gak?" tanyaku dengan tampang serius.

Elsi segera melepas tangannya yang menggenggam tanganku dan menatapku sambil tersenyum.

"Eh, itu kan cerita fiksi ilmiah yang selalu menarik untuk dilihat, tentang seseorang yang berpindah waktu untuk tujuan tertentu, kan?" jawab Elsie dengan penuh semangat.

"Iya,"

"Emang kenapa?"

"Kamu percaya, gak?" desakku.

"Jangan buat aku tertawa, deh! Itu kan cuma ada di novel-novel atau di film-film kalau kenyataannya sih aku agak ragu,"

"Padahal cerita tentang time travel ada lho dalam Al-Quran di surat Al Kahfi, tentang beberapa pemuda yang bersembunyi di gua dari raja yang zalim dan baru bangun tiga ratus tahun kemudian." aku menatap cincin di jariku dengan perasaan berdebar, wajah Ali yang tengah tersenyum terlintas begitu saja dalam benakku.

"Iya, sih... tapi kalau itu terjadi saat ini aku ragu," Elsie menatap ke luar jendela, menatap pohon mawar yang bergoyang-goyang diterpa angin.

"Aku punya sebuah rahasia, tapi diantara kita saja, ya...," pintaku.

"Kamu aneh banget, Zie. Tadi cerita tentang time travel dan sekarang kamu bilang punya rahasia. Rahasia tentang apa? Kamu punya selingkuhan di belakang Harsya? Ingat Zie, dia sangat baik, kamu sangat keterlaluan kalau sampai selingkuh dari Harsya!" Elsie menatapku dengan wajah kecewa, kemudian menatap cincin itu sepertinya dia curiga kalau cincin itu bukan dari Harsya.

"Bukan seperti itu!" Aku jadi jengkel, "Mau dengar tidak?"

"Oke, aku akan dengar..." masih ada nada curiga dalam suara Elsie.

"Sebenarnya aku juga masih ragu dengan kejadian ini, karena aku merasa semua ini hanya mimpi, tapi keberadaan cincin ini, membuatku harus berfikir kejadian ini nyata."

"Emangnya bagaimana?" Elsie mulai tertarik dengan ceritaku.

"Semakin aku menyangkal kejadian itu, semakin aku merasa semua begitu nyata." desahku.

"Kejadian apa?"

"Suatu malam, seseorang yang mengaku dari masa depan, memberiku cincin ini dan dan kepada seorang temanku. Katanya, kami adalah sepasang suami-istri istri di masa depan, aku menyangkalnya dan meninggalkan mereka berdua sebelum perempuan setengah baya itu menyelesaikan semuanya...." tatapanku mengawang mengingat kejadian itu, aku masih ingat kilasan-kilasan kejadian antara Ali dan Ali saat tangan kami disatukan dalam genggaman perempuan itu.

"Jangan-jangan itu cuma akal-akalan teman kamu saja, zie..Mungkin dia naksir kamu makanya dia sengaja melakukan itu agar kamu jadi suka padanya"

"Entahlah, aku pernah berfikir seperti itu tapi rasanya ga mungkin juga. Ia gak pernah menyukaiku sejak awal sama seperti perasaanku padanya. Lagian tidak mungkin seorang mahasiswa seperti kami menyusupkan seorang pasien di ruang VIP," kataku muram.

"Terus kenapa?"

"Perasaanku pada Harsya masih sama, aku cinta banget sama dia tapi kini setiap bertemu dengan temanku itu aku jadi merasa berdebar-debar dan kadang salah tingkah," aku menghela nafas," aku sudah mencoba berkali-kali untuk melepas cincin ini tapi tak pernah bisa, cincin ini serasa melekat di jariku. Aku berfikir kalau cincin ini bisa dilepas mungkin aku tidak akan merasa canggung setiap bertemu temanku itu."

"Kamu suka dia?" tanya Elsie tak suka, sebagai pengagum Harsya tentu saja dia tak suka kalau Harsya sampai di selingkuhi.

Aku menggeleng.

"Aku tak begitu mengenalnya, dia satu-satu temanku yang tak pernah berinteraksi denganku."

Elsie menatapku seakan meragukan meragukan kejujuranku.

"Aku sama sekali tak pernah berfikir tentangnya apalagi berharap dia menjadi masa depanku. Kamu tahu sendiri kan, bagiku Harsya adalah segalanya jadi mana mungkin aku bisa mengharap orang lain menjadi bagian hidupku?"

"Kalau teman kamu sikapnya ke kamu berubah juga?"

Aku merenung memikirkan sikap Ali kepadaku akhir-akhir ini. Ali memang jadi lebih perhatian kepadaku dan kami jarang berselisih paham sejak kejadian malam itu.

"Aku tidak memperhatikannya," aku mengangkat bahuku. Aku bercerita singkat tentang Ali dan bagaimana hubunganku dengannya selama ini.

"Terkadang antara cinta dan benci tak terlalu kentara bedanya, mungkin karena kamu terlalu membencinya jadi tanpa kamu sadari dia telah mengisi hati kamu," kata Elsie prihatin.

"Aku rasa tidak, El. Dia tak pernah ada dalam kamusku sebelum kejadian itu," tolakku.

"Kejadian itu hanya pemicunya. Sudahlah, Zie. Gak usah terlalu dipikirkan. Sekarang tinggal bagaimana kamu mengelola hati kamu biar gak jatuh cinta pada cowok itu," kata Elsie pada akhirnya.

Aku mengangguk dan mengalihkan pembicaraan kami,mengobrol tentang banyak hal lain hingga tak terasa telah masuk waktu dhuhur.

***

次の章へ