webnovel

BAB 3 (PERTEMUAN PERTAMA)

"Katakan, siapa mereka!" Tuan Bill menatap Avellyn marah. Di tangannya terdapat sebuah belati yang siap digunakan.

"Aku tak tahu, Ayah," jawab Avellyn.

"Kau masih tak mau mengaku? Baiklah, Ave. Kau berani melawan ayah? Yang Mulia Raja Lucifer akan mengutukmu!" Tuan Bill menjambak rambut Avellyn.

"Persetan dengan kekuatan Lucifer. Ayah boleh memilihnya, aku tak akan mau menyembah patung mati itu lagi!" tegas Avellyn sambil menatap sang ayah. Avellyn hanya bisa menangisi nasibnya. Ayah yang selama ini ia sayangi tak lebih dari orang yang jahat. 

Tuan Bill meraih pistol di atas meja lalu mengarahkannya kepada Avellyn. "Kau masih tak mau mengaku?"

"Apa yang harus kuakui?"

Kesal, Tuan Bill menarik pelatuk pistolnya dan menembakkanya pada perut Avellyn.

"Masih tidak jujur?"

Avellyn menggeleng. Ia tidak mengerti apa yang harus ia akui. Avellyn terus menekan bekas tembakan pada perutnya dan meringis. Darah mengalir dan mengotori permukaan lantai. 

"Katakan siapa sebenarnya Shuxio! Kenapa dia bisa memiliki tato yang sama seperti ibumu!" Tuan Bill menendang kaki Avellyn, membuat anak gadisnya meringis menahan sakit. Digoresnya belati di betis Avellyn yang menghasilkan darah segar.

Avellyn meludahi wajah Tuan Bill dan menendang perut ayahnya. Avellyn berlari tanpa memedulikan kakinya yang terasa sakit. Hatinya sangat terluka. Ia tak tahu apa pun, tetapi ia dituntut untuk mengatakan banyak hal.

"Kejar dia dan bawa dalam keadaan hidup!" Teriakan Tuan Bill membuat para pengawalnya bergerak. 

Avellyn masuk ke mobilnya dan melajukannya dengan cepat. Ia tak peduli akan tujuannya. Dia harus hidup. Dia harus bertahan dan tak akan menyia-nyiakan pengorbanan kedua sahabat dan ibu asuhnya.

 "Fuck you, Bill. You are monster," umpat Avellyn sambil melajukan mobilnya. Di belakangnya terlihat mobil anak buah ayahnya melaju dan sesekali melepaskan tembakan. Namun, sekali lagi dia tak peduli. 

♣♣♣

Sudah sekitar satu jam Avellyn berkendara dan itu cukup menguras tenaga. Tangan gadis itu bergetar dan wajahnya benar-benar pucat. Mobil Avellyn berhenti di depan hotel megah. Tangannya membuka pintu mobil perlahan. Avellyn menatap beberapa kali ke arah belakang lalu bernapas lega. Kakinya melangkah cepat. Orang-orang pasti tak akan mengenali dirinya dan tak akan ikut campur dengan urusannya.

Avellyn bergegas masuk lift menuju lantai paling atas gedung. Baru saja pintu lift akan tertutup, seorang pria menyeringai ke arahnya. Avellyn cukup tahu orang itu adalah bawahan ayahnya. Baru saja pria tadi ingin melangkah, pintu lift tertutup. 

Beberapa saat kemudian, Avellyn segera berlari keluar dari lift. Terdengar derap langkah terburu dari arah tangga darurat. Ia yakin derap langkah itu milik pria tadi. Avellyn tak membuang waktu. Ia membuka deretan pintu yang ada di depannya satu per satu.  Namun, tak ada yang terbuka. Avellyn berlari ke arah pintu di ujung lorong. Pintu yang terlihat berbeda dengan pintu lainnya.

Avellyn segera membuka pintu itu. Ia sangat bersyukur pintu itu sama sekali tak terkunci. Ia segera masuk dan menutup pintu lalu bersandar di daun pintu. Mengatur detak jantungnya, mata Avellyn terpejam. Ia bahkan tak sadar  seorang pria dan wanita kini sedang menatapnya penuh tanda tanya.

"Periksa semua pintu dan geledah ruangan yang ada. Kita harus menemukan gadis sialan itu!" perintah itu terdengar jelas. 

Avellyn menatap ke seluruh ruangan yang bercahayakan lilin dari sudut ruangan. Harum mint begitu saja masuk ke indera penciumannya. Tak lama, ia terpaku kepada sosok pria yang kini berdiri di hadapannya. Pria itu bahkan tak mengenakan sehelai benang pun di tubuhnya. "Ma-maafkan saya, Tuan. Saya sudah masuk sembarangan. Saya akan pergi," ujar Avellyn gugup.

Baru saja Avellyn ingin beranjak pergi, pria itu langsung menyeret Avellyn ke ranjang dan membantingnya. Avellyn sangat terkejut saat pria itu langsung menindih dan mengecup bibirnya yang dingin.

Pintu terbuka dengan kasar. Para pemburu menatap tak percaya pada pemandangan di depan mata mereka. Tiga orang sedang menikmati permainan panas.

"Apa yang kalian cari?" suara serak itu terdengar dari pria berambut putih. Avellyn hanya bisa berharap orang-orang itu tak mencarinya lebih jauh. Ia tak ingin dua orang di dekatnya ini menjadi korban.

"Maaf, Tuan, kami sedang mencari seseorang. Tapi, sepertinya kami kehilangan dia. Maafkan kami," ujar salah satu dari mereka.

"Keluar!" titah pria itu dan kembali mencumbu Avellyn sambil membuka kancing kemeja Avellyn satu per satu.

Melihat pemandangan tersebut, orang-orang tadi memilih keluar. Mereka harus segera mendapatkan anak atasan mereka.

"Rose, kejar mereka dan bunuh!" titah pria itu.

Wanita bernama Rose tak membantah. Dengan patuh dia melaksanakan tugas yang diberikan tuannya.

"Jangan meninggalkan jejak. Aku percaya kepadamu."

"Nikmati mainan barumu, Tuan," jawab Rose. Wanita itu menggunakan pakaiannya lalu menelepon para bawahan tuannya yang lain. Sebelum melaksanakan tugas, Rose menghampiri tuannya, mengecup pipi sang tuan lalu berlalu pergi.

"Siapa kau gadis kecil?" suara serak itu kembali terdengar, membuat Avellyn tersadar dan mengalihkan tatapan matanya. Dia tak mengenal pria di atas tubuhnya, tetapi aroma maskulin yang tercium hidungnya begitu menggoda.

"Ave. Sa-saya. Saya adalah Avellyn Deidenbell," jawab Avellyn sambil menahan napas. Tangan pria di atasnya bermain di payudaranya. Secara langsung rasa geli menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Tubuhmu begitu mulus. Aku sudah menyelamatkanmu, bahkan aku gagal menikmati tubuh budak kesayanganku karena hal itu. Apa yang akan kau berikan kepadaku, hmm?"

Avellyn menelan ludahnya kasar. Dia menatap pria di atas tubuhnya bingung.

"Namaku Xavier. Kau bisa memanggilku Daddy dan mendesahkannya, Bell."

Avellyn menatap bingung. Bell? Kenapa pria itu memanggilnya Bell?

"Kau bingung? Anggap saja itu nama kesayangan dariku," ucapan pria itu terhenti. Dia mencoba membuka celana Avellyn.

"Tuan, jangan. Saya, saya masih perawan. Saya mohon jangan." Avellyn memohon sambil menahan tangan pria itu.

"Apa harga yang pantas untuk gadis perawan? Kau ingin uang? Berapa banyak?" tanya Xavier.

"Bukan. Saya ingin hal lain." Avellyn menimbang tawaran Xavier.

"Katakan, Dear. Apa pun itu akan aku lakukan." Suara Xavier semakin serak, sangat seksi dan menggoda.

Avellyn menahan napas. Dia menatap pria yang masih terus berada di atas tubuhnya. Rasa sakit pada bagian perut semakin nyeri, sedangkan betisnya yang terluka masih mengeluarkan darah.

"Tuan Xavier, bisakah Anda menyingkir?" Avellyn menelan kasar ludahnya. Mata Xavier menatapnya dalam. Deruan napas Xavier mengenai kulit wajahnya.

"Tidak. Aku ingin menikmati tubuhmu, Bell." Xavier menyeringai. Ditariknya bra hitam yang Avellyn gunakan.

"Ah, sakit." Avellyn memejamkan matanya, menahan sakit yang mendominasi dari bagian perutnya. "Sa-sakit. Pe-perutku tertembak!" 

Xavier mengubah raut wajahnya. Dia melihat wajah Avellyn memucat. Ia beranjak dan menatap tubuh Avellyn. Bagian perut Avellyn tertembak. Xavier mengalihkan tatapannya ke betis Avellyn, terlihat bekas sayatan yang tak bisa dikatakan luka ringan. Darah terus mengalir dari sana bahkan tulang putih Avellyn pun terlihat.

"Sial, kau benar-benar dirusak oleh mereka." Dengan kesal Xavier berjalan ke kamar mandi dan membanting pintu dengan keras. 

Avellyn memegang bagian perutnya. Peluru masih bersarang di sana. Avellyn menangis dalam diam. Menggigit bibirnya, Avellyn berusaha bangun dan keluar. Dia hanya ingin pertolongan medis, bukan pria aneh yang masih berada di kamar mandi. Avellyn segera berdiri, tetapi kakinya terasa begitu sakit. Melangkah perlahan, Avellyn menghampiri pintu. Dia berharap tak kehabisan darah dan mati sia-sia. Wajahnya semakin pucat, bahkan kepalanya terasa pusing.

"Bell, kau tak bisa keluar dari sini," ucapan itu terdengar. Xavier melangkah pelan.  "Aku akan melakukan apa saja, asal layani aku malam ini." 

Avellyn menatap Xavier yang menyeringai jahat di dekat ranjang. "Jika Anda bisa membunuh Tuan Bill dan seluruh anggota organisasi Sixcross, maka saya akan menjadi budak yang baik dengan senang hati." Avellyn menatap Xavier tajam.

Xavier mengangguk. Dia tak perlu menjawab atau berjanji. Malam ini dia bisa saja membunuh dan menghancurkan Sixcross.

"Apa Anda yakin? Anda akan menjadi persembahan di markas besar jika gagal." Avellyn memejamkan mata, menahan rasa sakit di tubuhnya.

Xavier melangkah pelan dan menatap Avellyn lalu tersenyum. Dia suka mainan barunya. Gadis kecil di depan matanya begitu kuat. Pria berumur dua puluh tiga tahun tersebut tak akan melepaskan Avellyn dengan mudah. "Katakan berapa umurmu, Bell? Sembilan belas tahun? Atau dua puluh tahun?" Xavier sengaja mengulur waktu. Dia menyukai wajah Avellyn saat menahan rasa sakit. Dia bahkan ingin menyentuh setiap inci tubuh Avellyn.

"Fuck!" Avellyn  terjatuh, gadis itu tak sadarkan diri.

♣♣♣

Nero bergegas menaiki lift. Telepon dari Xavier benar-benar mendadak. Dia sangat terkejut saat mendengar nada panik Xavier. Pria gila itu mengatakan jika mainan barunya telah dirusak dan dia ingin Nero memperbaikinya. Nero segera keluar dari lift  menuju kamar yang ditempati Xavier. Pemandangan pertama yang dilihatnya cukup mengejutkan. Seorang gadis sedang terbaring telanjang di atas kasur. Dengan segera Nero menghampiri Xavier.

"Kau gila? Memberiku waktu lima belas menit untuk datang ke mari. Ada apa?" Nero menatap kesal Xavier yang tengah menatap ke arah gadis yang tak dikenalnya.

"Mereka merusak mainanku. Kau harus mengeluarkan peluru dari perutnya lalu membereskan kakinya yang tergores," ujar Xavier. 

"Siapa gadis itu? Dari mana kau dapatkan mainan barumu?" Bukannya menjawab atau melaksanakan perintah Xavier, Nero malah bertanya.

"Selesaikan saja. Aku tak ingin tubuh mainanku cacat. Kau tahu bukan seleraku terlalu tinggi."

"Wajah gadis ini tak asing."

"Obati dan pergi!" perintah Xavier.

Nero tak ingin berdebat lebih lanjut. Memilih melaksanakan tugasnya, Nero mengeluarkan alat-alat medis dari tasnya. "Xavier, katakan siapa gadis ini?" Nero belum puas, sambil mengobati luka Avellyn dia terus bertanya pada Xavier.

"Avellyn Deidenbell, anak dari pemimpin organisasi Sixcross," jawab Xavier.

Nero menatap Xavier. Bagaimana mungkin anak dari pemimpin organisasi terkenal itu ada di hadapannya sekarang. "Ba …," ucapan Nero terpotong.

"Dia yang berlari dan bersembunyi di kamarku. Obati dan pergi. Aku ingin bermain dengannya," jawab Xavier tak berniat menjelaskan. Dia masih bingung bagaimana bisa Avellyn datang dengan keadaan seperti tadi. Tak mungkin Tuan Bill ingin mengurbankan anaknya.

Teka-teki bertambah saat Avellyn memintanya membunuh seluruh anggota Sixcross. Dia tahu organisasi Sixcross adalah organisasi besar. Jemaat gereja setan tak hanya berisi seratus atau dua ratus orang. Belum lagi organisasi Sixcross adalah salah satu organisasi besar yang ada dalam perlindungan kelompok mafia.

Melelahkan, Xavier bersandar lalu mengacak rambutnya. Ia akui bahwa Avellyn akan menjadi salah satu mainan yang paling menggoda iman. Dia bahkan sudah memiliki beribu rencana menyenangkan dalam otaknya. "Berapa lama dia akan pulih?" 

Nero menatap Xavier datar. Tak bisakah pria itu bersabar. "Xavier, kau bisa bersabar?" 

Beberapa saat kemudian, Nero selesai melaksanakan tugasnya dan membereskan alat medis yang digunakannya. Ditatapnya Xavier yang tersenyum tanpa dosa. "Kau memintaku datang hanya untuk memperbaiki maninanmu ini?" tanya Nero sambil menatap kesal ke arah Xavier. "Kemampuanku bukan untuk memperbaiki mainanmu, Xavier." Nero mengembuskan napas kasar, lalu melangkah pergi.

"Akan kuberikan tubuhnya sebagai bahan eksperimenmu nanti," jawab Xavier santai. Dia tahu Nero saat ini pasti sedang tersenyum senang.

"Aku menunggunya, Xavier." Nero menyeringai, ia benar-benar senang mendengar janji saudaranya.

"Jangan sampai Lica tahu hal ini, Nero."

"Ya, aku bisa pastikan itu." Nero membuka pintu dan pergi secepat mungkin.

次の章へ