webnovel

RUTE YAMI KEEMPAT: MAAF

Kiki POV

"Kenapa kamu menangis, Yami?" tanyaku. "Kalau ada masalah, katakan saja kepadaku. Aku pasti akan membantumu."

Ini sudah dapat dipastikan kalau Yami sedang ada masalah. Sebagai teman sekaligus pengurus asrama yang bertanggung jawab, aku harus membantunya mengatasi masalahnya.

"Tidak… aku baik-baik saja…" jawab Yami sambil mengusap air matanya.

"Yami, aku ini temanmu. Jadi, jangan sungkan untuk meminta pertolongan kepadaku."

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja… Tidak ada masalah, jadi tenang saja…" balasnya lagi dengan suara parau.

"Yami, aku mencemaskanmu. Jadi, ceritakan saja. Aku akan bantu semaksimal mungkin untuk membantu menyelesaikan masalahmu."

"Sudah kubilang, aku baik-baik saja!"

Setelah memberikan bentakan seperti itu, Yami langsung berlari menjauh dariku.

Dengan bentakan itu, aku menyadari satu hal. Aku terlalu memaksa dan menekannya, tanpa kusadari. Aku tidak tahu kenapa malah melakukan itu, padahal aku tidak perlu ikut campur dalam masalahnya.

Memang aku ini pengurus asrama dan teman Yami, tapi memang itu bisa menjadi alasanku agar ikut campur dalam masalahnya. Aku bukan keluarga atau punya hubungan darah dengannya. Aku hanyalah orang asing yang kebetulan memiliki peran dalam hidupnya.

Aku benar-benar bodoh.

Argh, dadaku terasa sakit mengingat kebodohanku tadi.

Aku benar-benar mencemaskan Yami. Aku ingin membantunya bila dia mendapatkan masalah. Aku tidak suka melihatnya sedih seperti itu. Aku ingin melihat dia bahagia seperti biasa.

Tunggu…

Benar juga. Aku baru menyadarinya. Kenapa aku baru sadar sekarang, ya?

Aku… menyukainya. Aku menyukai Yami. Bukan sebagai keluarga, tapi sebagai perempuan yang ingin aku beri cinta. Itulah alasan kenapa aku ingin sekali menolongnya.

Yami, tunggu saja. Aku akan menolong apapun masalahmu itu. Akan kutunjukkan bagaimana karakter utama yang terobsesi menjadi karakter utama bekerja!

***

Hari festival sekolah dimulai akhirnya tiba juga. Sekitar area sekolah dipenuhi oleh orang-orang. Mau itu siswa, guru, orang tua siswa, kerabat guru, orang yang ingin berkunjung, teman siswa, dan banyak lagi.

Bahkan, stan-stan tempat jualan berbagai jenis yang memeriahkan festival tidak kalah banyaknya. Mau itu dari buatan siswa-siswi di sekolah ini atau pedagang luar yang sengaja menyewa tempat di sini agar bisa berjualan di sini.

Sekarang aku jalan-jalan melihat-lihat festival ini. Aku sebenarnya ingin membantu teman-teman kelas mengurus rumah hantu, tapi karena semuanya sudah diatur agar teratasi, aku jadi tidak bisa membantu. Kalau pun dipaksakan membantu, ujung-ujungnya menjadi mengacaukan, begitulah kata temanku yang kukenal sebagai orang yang paling pedas lidahnya.

Aku tidak tahu harus melakukan apa untuk menikmati festival ini, sebelum tampil menjadi anjing saat pementasan drama nanti. Kalau saat selesai, aku bisa menikmati permainan atau makanan yang ada di sini, tanpa memikirkan waktu. Penampilannya akan diadakan siang hari, tapi kemungkinan aku akan dipanggil untuk siap-siap dua jam sebelumnya atau bisa saja mendadak. Jadi, aku tidak bisa sepenuhnya menikmati festival ini.

"Silahkan untuk datang ke kelas 2-C! Di sana kami mengadakan rumah hantu."

Mendengar seseorang mengucapkan kalimat itu cukup keras, aku langsung melihatnya. Ternyata itu adalah Yami yang sudah memakai pakaian kimono putih panjang dengan riasan wajah mengerikan. Tapi walau begitu kelihatannya tidak terlalu mengerikan, yang ada malah cantik.

Yami terus-terussan meneriaki kalimat itu sambil berjalan membawa papan bertuliskan rumah hantu kelas 2-C, dengan tulisan berwarna merah darah dan latar hitam gelap sebagai tambahan bumbu horror-nya.

Aku ingin sekali menghampirinya, tapi aku merasa malu dan tegang hanya dengan melihatnya. Terlebih, dengan apa yang terjadi tadi malam, aku merasa canggung dan tidak enak untuk bicara dengannya.

Tiba-tiba, secara kebetulan, mata kami saling bertemu. Kami saling menatap dalam diam beberapa saat, sampai akhirnya Yami mengalihkan pandanganya dan pergi begitu saja. Aku tidak mengejarnya, karena aku rasa untuk sekarang Yami memang jangan dulu didekati.

"Rif-kun!"

Mendengar panggilan nama itu, spontan aku berbalik. Walau namaku adalah Rifki Kiki, dan bukan Rif. Tapi aku tahu kalau panggilan itu tertuju kepadaku. Karena aku kenal siapa yang memanggilku begitu dan nada suaranya itu.

Sosok gadis berambut hitam twintail, berseragam sekolah, dan memiliki wajah imut yang periang. Itulah sosok yang berlari kecil kepadaku, sekaligus orang yang memanggilku. Namanya adalah Manabi Miyabi. Dia adalah teman sekelasku.

"Kamu ke mana saja? Aku mencari-carimu!" ujar Manabi-san setelah di dekatku.

"Memangnya ada apa?"

"Hmm… Ada yang ingin aku tanyakan, tapi kurasa sebaiknya di tempat yang cukup sepi. Ah, apa sekarang kamu sedang sibuk?"

"Tidak. Paling, aku ada tampil drama, itu pun nanti siang."

"Bagus. Kalau begitu, ayo kita belakang sekolah!"

Tanpa meminta persetujuanku, Manabi-san menarik tanganku dengan ekpresi semangat senang. Aku hanya bisa pasrah dibawa olehnya, karena meminta untuk dilepaskan juga percuma, mengingat dia tidak bisa diganggu gugat saat sifat periang berlebihannya muncul. Terlebih, dia adalah seorang perempuan yang memegang prinsip aturan nomor satu dan dua.

Sebelumnya, aku pun pernah mengalami ditarik paksa olehnya saat keluar sifat periangnya. Waktu itu, Minabi-san ditugaskan untuk membersihkan kolam renang akibat keterlambatannya. Akibatnya, saat pulang dia terlihat lemas. Melihat itu, Avira, yang merupakan teman dekatnya, merasa cemas dan ingin menolong. Tapi, karena dia ada kesibukan di klub, jadi dia tidak bisa bantu.

Lalu, rasa ingin menolongku kumat, sehingga aku menawarkan diri untuk membantu Minabi-san. Berkat itu, dia pun kembali ceria dan dengan semangat langsung menarikku menuju tempat kolam renang. Saat ditarik paksa seperti itu, aku memintanya untuk melepaskanku. Tapi, dia memberikan bantahan seperti 'biar cepat', 'tidak masalah, aku tidak mempermasalahkannya', dan sebagainya.

Kembali lagi saat aku ditarik olehnya menuju belakang sekolah. Di sini tidak seramai bagian depan gedung sekolah, karena tidak ada yang mendirikan stan di sini.

Aku tidak tahu kenapa Minabi-san ingin membawaku ke tempat yang sepi. Tapi, satu hal yang pasti. Aku yakin bukanlah hal berbau mesum atau adegan menembak. Karena, Minabi-san sudah punya pacar dan aku dengar dari pacarnya yang kebetulan aku kenal kalau dia masih polos tentang hal berbau mesum.

"Jadi, apa yang ingin kamu tanyakan?" tanyaku setelah Minabi-san berhenti menarikku.

Sebelum mengeluarkan pertanyaannya, dia melihat sekitar dengan ekpresi berharap tidak ada yang melihat kami. Setelah memastikan di sini aman, dia pun melihat ke arahku dan melontarkan pertanyaan yang mengejutkan.

"Apa Vira-chan menerima pernyataan cintamu?" tanya Minabi-san dengan nada cukup kecil.

Sontak aku langsung kaget. Lalu, dengan buru-buru aku mempertanyakan hal itu. Ngomong-ngomong, yang dimaksud Minabi-san adalah Avira.

"A-A-Apa maksudmu?! Kenapa kamu bicara seperti itu?! Aku tidak pernah menyatakan cinta kepadanya!"

"Eh, tapi aku lihat kamu waktu itu memberikan jimat cinta kepada Vira-chan."

Aku langsung menggali ingatanku. Aku rasa tidak pernah memberikan jimat cinta kepadanya.

Oh, aku memang pernah memberikan sebuah jimat kepada Avira. Apa mungkin jimat itu, ya?

"Aku memang pernah memberikan jimat kepadanya, tapi itu bukan jimat cinta. Melainkan jimat keberuntungan."

"Tidak-tidak, itu bukan jimat keberuntungan. Aku tahu jimat itu, karena aku pernah diberikan oleh Ji-chan saat pulang dari festival musim panas. Menurut teman-teman, jimat itu adalah jimat cinta," ujar Minabi-san. "Lalu, kata mereka juga. Kalau seorang laki-laki memberikan jimat itu kepada seorang perempuan, maka itu artinya dia melamarnya atau bisa diartikan juga pengukapan cinta kepada perempuan itu."

Aku tidak tahu akan hal itu. Apakah alasan Avira panik saat itu adalah dia mengira kalau aku menembaknya?

"A-Aku tidak tahu akan hal itu. Aku memberikan jimat itu karena aku kira itu adalah jimat keberuntungan."

"Be-Benarkah?" kaget Minabi-san. "Maaf, Rif-kun. Aku salah mengiranya."

"Tidak apa-apa."

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Nanti aku akan datang untuk melihat penampilanmu!"

"Oke, aku tunggu."

Setelah kepergian Minabi-san, aku pun berjalan menuju kelasku. Aku ingin memberitahukan maksudku memberikan jimat kepada Avira. Kurasa Avira tidak akan salah mengiranya sebagai menembak, tapi tetap saja kurasa aku harus memberitahukan hal itu.

Sesampainya di kelas, aku dapat melihat ada dua teman kelasku yang berdandan seperti hantu sedang duduk di kursi meja penerimaan pengunjung. Mereka pun memanggilku, setelah melihat ke arahku.

"Hei, Rifki-kun," panggil salah satunya. "Kemarilah~"

Aku pun mendekati mereka. Tanpa memberi aku kesempatan untuk bicara, satunya lagi mengucapkan sesuatu yang cukup mengejutkanku. Ngomong-ngomong, aku tidak tahu siapa mereka. Karena dandanan mereka cukup menutupi bagian wajah yang dapat digunakan sebagai pengenal mereka. Tapi yang jelas, keduanya adalah perempuan.

"Selamat, ya," ujarnya singkat.

"Selamat apa?" bingungku.

"Karena Avira menerimamu."

"Menerima?"

"Iya. Ah, aku lupa. Avira sudah menceritakan tentang kamu menembaknya dengan memberikan jimat cinta itu."

"Itu benar-benar romatis sekali! Aku tidak menyangka kamu orangnya bisa seperti itu."

"Benar. Dari penampilanmu, kamu itu laki-laki yang biasa saja. Tapi tidak disangka bisa berpikiran seperti itu."

"Tunggu dulu," ujarku menghentikan kalimat mereka yang mungkin akan memanjang. "Avira menceritakan kejadian itu?"

"Iya. Terus, dia bilang saat itu ingin langsung bilang menerimamu. Tapi dia terlalu malu."

"Jadi, kami mewakilkannya."

Sepertinya memang keputusan yang tepat aku datang kemari untuk memberikan penjelasan hal itu kepada Avira. Aku tidak tahu bagaimana Avira menceritakannya kepada mereka, sehingga menganggapnya begitu luar biasa. Tapi, yang jelas, aku harus meluruskan kesalah pahaman ini.

"Maaf, kalian berdua. Aku harus masuk dan bicara dengan Avira!"

Tanpa menunggu persetujuan mereka, aku langsung masuk ke dalam kelas. Aku tahu di bagian mana Avira berada, jadi aku langsung berjalan tanpa mempedulikan teman-teman sekelasku yang berusaha menakutiku.

"Avira."

Aku memanggil Avira sebelum sampai di tempatnya, agar dia tidak keluar dan mengejutkanku. Kemudian, aku mendengar suara sedikit ribut di dalam sumur tempat Avira bersembunyi.

"A-Apakah itu kamu, Kiki-kun?!" tanya Avira yang masih bersembunyi di dalam sumur.

"Iya, ini aku. Ada yang ingin aku bicarakan."

"Ah, iya. Aku…Aku menerimanya! Maaf kalau aku baru menjawabnya sekarang, Kiki-kun!"

"Tunggu, dengarkan aku dulu. Aku…"

Selanjutnya, aku menceritakan soal kesalah pahaman itu dan memberitahu kalau aku punya perempuan yang aku suka.

Setelah itu, hal yang terjadi adalah keheningan yang diiringin suara perempuan yang menahan kesedihannya.

"Jadi… sebenarnya… Kiki-kun tidak mencintaiku…?" tanya Avira yang masih bersembunyi di dalam sumur.

"Maaf, Avira…"

Kemudian, terdengarlah suara tangisan yang memilukan. Kalau saja ini adalah tangisan yang dilakukan untuk membuat suasana rumah hantu ini menakutkan, maka itu tidaklah masalah. Tapi, karena aku tahu ini adalah tangisan yang dilakukan bukan untuk itu, maka aku merasa tidak nyaman dengan tangisan itu.

次の章へ