Anggap saja Lamanda beruntung karena ia sampai di beranda rumah dan mendapati lelaki yang tadi menelfonnya tepat ketika suara gemuruh hujan terdengar di kejauhan, kemudian suara gemuruh itu semakin dekat... semakin dekat... semakin terdengar jelas lalu hujan tumpah begitu saja di halaman rumahnya. Dengan cepat Lamanda membuka pintu dan bergegas masuk diikuti lelaki itu yang kemudian menutup pintu. Mereka belum berbicara sepatah katapun.
Sesampainya didalam, Lamanda berbalik dan menelisik penampilan Alta dari atas sampai bawah kemudian atas lagi. "Kamu kenapa basah kuyup gini?" tanyanya bingung.
"Kena hujan," jawab Alta. Lamanda mengernyit bingung. Mengerti, Alta melanjutkan. "Di sekolah hujan deres." Ia mulai melepas jaketnya yang basah dan menampilkan seragam basketnya. Ia menyerahkannnya pada Lamanda.
Lamanda beranjak ke ruangan dekat dapur, lalu menggantung jaket Alta dan mengambil handuk. Setelah itu, kembali menghampiri Alta. Ia menyadari saat masuk ia tidak melihat mobil Alta. "Mobil kamu kemana?"
"Dipake Raskal, kita tukeran bentar." Alta mengambil alih handuk yang dibawa Lamanda dan mengusap rambutnya yang basah. "Gue numpang mandi sekalian ganti baju."
Lamanda mengangguk. "Aku ambilin baju Kalka dulu."
"Nggak usah. Gue pake seragam aja."
Lamanda melongok ke arah tas parasut Alta. Kemudian ia mengangguk. "Ya udah."
Setelah itu Lamanda mengarahkan Alta ke kamar mandi belakang yang biasanya memang untuk tamu atau kalau kamar mandi di kamarnya ngadat.
Ia memastikan Alta masuk sebelum berjalan ke dapur. Mungkin ia akan membuatkan Alta minuman hangat.
Sesampainya di dapur, Lamanda memilih membuat kopi dan teh hangat. Kopi untuk Alta dan teh untuk dirinya karena Lamanda tidak terbiasa meminum kopi. Sepuluh menit kemudian ia sudah berjalan ke ruang depan dan mendapati Alta sudah duduk di salah satu sofa. Lamanda mendekat dan menyimpan minuman di meja.
"Kamu laper?" tanya Lamanda.
"Iya," jawab Alta jujur.
"Aku buatin sop atau mie instan, mau?"
"Terserah."
"Yaudah aku buatin sop bentar."
"Gue nggak suka sop."
Tolong dicatat. Nyatanya tidak hanya perempuan yang membingungkan. Lelaki juga bisa sama membingungkannya seperti perempuan. Contohnya Alta.
"Berarti aku masakin mie instan aja."
Alta mengangguk.
Lamanda segera berdiri dan kembali ke dapur. Memanaskan air dan memasak mie instan untuk Alta. Bundanya memang tidak masak untuk makan malam tadi karena sore tadi ia ke Bogor diantar Kalka untuk ke kondangan. Lamanda juga disuruh makan di kafe, makanya ia berdiam disana sejak tadi sebelum Alta kesini.
Mungkin karena melamun Lamanda sampai tidak sadar Alta sudah berdiri disampingnya hingga lelaki itu mengambil alih mangkok didepan Lamanda dan membuka bungkus bumbu mienya. Lamanda menoleh. Sedikit kaget.
Sebenarnya Lamanda ingin protes dan mengeluarkan seruan kaget tapi begitu melihat raut wajah Alta, Lamanda malah mengulurkan tangannya ke pipi Alta yang sangat dingin. "Dingin banget ya?"
"Nggak," jawab Alta sambil menurunkan tangan Lamanda. Ia mentiriskan mienya yang sudah matang dan meletakkannya di mangkok. "Apa?" tanya Alta saat memergoki Lamanda memandangnya lekat.
Lamanda menggeleng. Ia berjalan mendahului Alta kembali ke ruang depan dan memilih duduk lalu menyalakan televisi. Lalu ia merasakan sebuah pergerakan disampingnya, ia menoleh dan mendapati Alta duduk menyender sambil memejamkan mata. Mienya ia letakkan di meja.
"Kenapa nggak dimakan?"
Alta menggeleng dengan mata masih terpejam.
"Tadi kamu bilang laper," ucap Lamanda. Ia meraih mangkok mie tadi dan menyerahkannya pada Alta. "Dimakan biar nggak maag, atau kamu mau makanan lain aja?"
Alta membuka matanya. Ia meraih mangkok mienya dan menyimpan kembali di meja. Setelah itu ia menarik Lamanda mendekat. Dengan suara serak Alta berkata. "Bisa lo diem? Gue capek."
Mengerti akan hal itu Lamanda mengangguk saja dan memilih mengalihkan tatapannya pada layar televisi. Ia diam. Sesekali ia melirik ke arah Alta yang masih bersandar sambil memejamkan mata.
Wajah lelaki itu terlihat pucat.
***
Bagi Alta, menyentuh Lamanda adalah sebuah dosa. Jadi dapat disimpulkan bahwa ia hampir melakukan dosa tersebut setiap hari. Entah itu karena usapan pada pipi atau kepala Lamanda atau genggaman tangannya. Apapun itu, intinya, selama ini Alta telah mengambil langkah yang terlalu berbahaya.
Ia meletakkan kaleng root beernya yang keempat di meja. Alta tidak makan sejak tadi, mie yang ia dan Lamanda buat dibiarkan mendingin begitu saja. Tidak ada suara lain selain dari televisi di depannya yang sedang menayangkan salah satu film dari box office movie. Alta menurunkan pandangan ke arah Lamanda yang sudah tertidur lelap dengan bantalan kaki Alta. Alta menyentuh rambut gadis itu -sekali lagi ia melakukan dosa- membuat Lamanda bergerak kecil. Lalu gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali. Beberapa saat kemudian, ia duduk dan menghadap Alta.
"Aku ketiduran ya?" Alta mengangguk. "Berapa lama?"
"Dua jam," jawab Alta.
Lamanda melihat ke arah pintu. "Bunda sama Kalka belum dateng?"
Alta menggeleng.
"Kamu pucet banget, Al." Lamanda meletakkan punggung tangannya ke dahi Alta. Merasakan suhu tubuh Alta yang panas. Lamanda menangkup wajah Alta. Lelaki itu memejamkan matanya merasakan tangan dingin Lamanda. "Tidur di kamar ya?" Alta menggeleng.
"Yaudah, aku ambilin bantal sama selimut dulu. Kamu tidur disini?" lagi-lagi Alta menggeleng.
Jelas Lamanda khawatir merasakan suhu tubuh Alta yang semakin meningkat. Ia beranjak dari duduknya.
Alta mencekal tangannya. "Mau kemana?"
"Ambil kompresan."
"Nggak usah," ucap Alta. Ia menarik Lamanda untuk kembali duduk.
Melihat kaleng root beer di meja, Lamanda menatap Alta. "Kamu minum soda?"
Alta tidak menjawab. Ia mengambil tasnya. Memasukan kaleng-kaleng tersebut ke dalamnya. Setelah itu menutupnya kembali. Alta berdiri.
"Udah malem, gue balik," pamit Alta sebelum benar-benar berjalan ke arah pintu.
Lamanda yakin bahwa kondisi Alta tidak baik-baik saja bahkan di luar masih hujan dan sekarang lelaki itu berniat untuk pulang?
Lupakan soal Lamanda takut hujan karena sekarang ia sudah menyusul Alta berjalan ke luar. Lamanda tercekat ketika sampai di ambang pintu dan melihat hujan turun dengan jelas. Rasanya, jantungnya berhenti berdetak. Sebelum Alta menuruni tangga beranda, Lamanda segera berlari dan menarik lengan lelaki itu.
"Ini masih hujan. Kamu pulang nanti aja, biar Kalka yang ngater."
"Nggak usah."
"Kamu demam, Al," ucap Lamanda sedikit bergetar. "Jalanan juga pasti licin."
"Nggak masalah."
Ada jeda sejenak karena Lamanda mengatur napas agar suaranya bisa keluar. Kemudian Lamanda mengangguk. "Oke, kalau gitu aku ambilin mantel dulu," putus Lamanda.
"Nggak perlu."
Sedikit saja Lamanda bergerak, maka tubuhnya akan limbung karena ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menahan rasa nyeri di dadanya dan mengatur pernapasannya.
Sebut saja ini dosa terbesar Alta pada Lamanda karena ia tidak mempedulikan kondisi Lamanda dan memilih melepas pegangan tangan gadis itu lalu berbalik pergi menuju motor Raskal. Ia menyalakan dan memanaskannya sebentar setelah itu keluar dari pekarangan rumah Lamanda.
Alta memilih meninggalkan gadis itu.
Meskipun ia tahu Lamanda sedang melawan rasa sakit dan takutnya sendirian sekarang.
Anggap saja Alta baik dengan membiarkan Lamanda belajar melawan semuanya sendiri.