11. Kara dan Keral
Waktu memang tidak bisa diulang. Tapi, hari esok bisa diperbaiki.
***
Dengan hati-hati Raskal mengompres lebam-lebam di wajahnya. Sesekali ia meringis kesakitan. Saat ini ia sedang berada di apartement Alta karena tidak berani pulang ke rumah dengan keadaan babak belur begini.
Dilihatnya Alta yang menatapnya tajam sejak tadi, entah kali ke berapa Raskal kembali mendengus melihat ekspresi Alta. Wajah Alta sudah seperti toilet sekolah dekat gedung kelas dua belas yang sudah lama tidak terpakai. Angker. Raskal jadi bergidik melihatnya. Sampai-sampai ia salah mengompres dan mengenai matanya.
Sebenarnya bisa saja ia memilih menginap di rumah Keral ataupun Satya namun kedua temannya itu mendadak tidak berfaedah saat diperlukan. Keral sedang ada urusan yang entah penting atau tidak Raskal tidak peduli untuk saat ini karena prioritasnya sekarang adalah mencari alasan yang tepat untuk papanya nanti. Sedangkan Satya, di rumahnya sedang ada perkumpulan keluarga besar yang naudzubillah banyaknya. Raskal nggak mau lagi kecipratan tugas mencuci piring seperti beberapa bulan yang lalu.
"Bisa nggak sih lo ngelihatnya biasa aja? Nggak usah kayak yang mau makan gue gitu," celetuk Raskal.
Demi apapun Alta ingin menghajar Raskal saat ini juga. Setelah membangunkan Alta dengan teriakan toanya jam 2 dini hari dan muncul dengan wajah menyeramkan Raskal masih menyuruhnya santai. Kalau bukan temannya Alta tidak akan mau menampungnya disini.
"Berantem sama siapa lo?"
"Biasa lah sama haters gue," jawab Raskal enteng. Ia berbaring setelah meletakkan baskom berisi air hangat di atas nakas, tangannya mulai sibuk menata-nata bantal agar pas pada posisinya.
"Gue serius," ucap Alta penuh penekanan.
Raskal berdecak. "Sama Vero."
Alta menggeram mendengar nama tersebut. "Jangan cari masalah sama Vero lagi."
"Gue cuma nggak sengaja nabrak bamper mobil dia. Vero aja yang baperan," dumel Raskal.
Tadi sepulang dari mengantar pacarnya -yang entah keberapa yang jelas namanya Orien- ia memang mampir ke toko kue untuk membeli satu kotak coklat untuk Lamanda tapi di tengah perjalan pulang ia nggak sengaja menabrak bamper mobil Vero. Jadilah adu mulut dan cekcok berkepanjangan sampai adu jotos untung saja beberapa orang datang melerai mereka kalau tidak mungkin salah satu dari mereka sudah jadi mayat.
"Lo sama Vero sama aja."
"Nggak sama lah. Gantengan juga gue," kata Raskal pede. Ia mulai memejamkan matanya perlahan.
Alta berdecih, ia duduk di tepian tempat tidurnya ketika matanya tidak sengaja melihat kresek putih di atas nakas. Ia meraihnya dan melongok isi di dalamnya. Coklat. Alta mengeluarkan kotak tersebut dan membukanya. Karena ia lapar dan belum makan malam tadi, jadi lumayan sebagai pengganjal perut.
"JANGAN DIMAKAN!!"
Alta terlonjak membuat coklat yang hampir masuk ke mulutnya terjatuh dan menggelinding di lantai. Ia menoleh ke arah Raskal yang nyengir lebar, "D*mned you!"
"Itu mau gue kasih ke orang. Jadi jangan dimakan, nggak berkah. Nanti perut lo buncit," kata Raskal tanpa dosa dan kembali memejamkan matanya.
Alta menyeret sebelah kaki Raskal membuat tubuh Raskal melorot ke lantai, "Lo tidur di sofa!"
"Tidur berdua nggak bikin lo hamil," Raskal mendengus kemudian menelungkupkan tubuhnya tanpa mempedulikan Alta.
Dengan cepat Alta membuka laci nakas dan mengeluarkan lakban. Ia segera membalik tubuh Raskal dan membungkam mulut Raskal dengan lakban yang ia sobek, hal itu membuat Raskal terduduk. Ia meraih lakban di mulutnya namun segera ditepis oleh Alta.
"Lo berisik kalau tidur. Pilihannya dua, gue lakban mulut lo atau lo tidur di sofa."
Mereka tidak jadi tidur karena mulai berdebat dan perang bantal sambil saling tarik menarik membuat Alta kesal apalagi terdengar gendoran keras di pintu kamarnya. Alta yakin kalau tidak Keral sudah pasti yang di luar Satya karena hanya teman-teman dan mamanya saja yang tahu kode apartemennya jadi bisa masuk seenaknya kecuali kamar Alta. Kalaupun mamanya itu tidak mungkin karena sekarang Viola sedang ada di Mataram dan sempat menghubunginya tadi sebelum tidur.
Alta melangkah hendak membuka pintu kamarnya yang memang biasa ia kunci kalau sedang tidur. Karena sudah kebiasaan yang selalu diajarkan mamanya sejak kecil. Biar aman, begitu katanya. Wajah Alta bertambah kusut ketika melihat Keral yang langsung nyelonong masuk lalu langsung menjatuhkan tubuhnya di dekat Raskal yang mulai tidur telungkup lagi.
Keral terlihat gusar dan tidak tenang seperti biasanya, namun Alta tidak bertanya. Ia berjalan dan membuka gorden jendela kamarnya lalu mulai menyalakan rokok. Ia dapat melihat banyak bintang di langit barat sana. Entah itu sirius, canopus, aldebaran, rigel, venus, altair atau vega Alta tidak tahu.
"Gue hamilin cewek," kata Keral tiba-tiba dengan suara parau.
"Nggak usah bercanda," balas Alta. Ia masih memandang langit sambil menghisap rokoknya perlahan.
"Gue lagi nggak bercanda!! Gue beneran hamilin anak orang!!" tegas Keral.
Wajah Alta pias mendengar pengakuan Keral, ia segera mematikan dan membuang rokoknya sembarangan lalu berbalik dan menghadap Keral.
Raskal juga langsung mendudukkan dirinya.
"Nggak lucu, Ral," desis Alta.
"Gue serius, Al. Dia hamil dan.. keguguran," suara Keral terdengar bergetar. Wajah lelaki itu juga terlihat serius, dan Alta tidak dapat melihat celah kebohongan disana.
Alta sudah tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Ia menahan emosinya agat tidak mengahajar Keral saat ini.
"Terus sekarang dia gimana?" tanya Raskal susah payah. Entah kenapa ia merasa ketakutan dan tidak berani melihat ke arah Alta. Bukan angker lagi tapi horror.
Keral tidak menjawab, ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Pikirannya sudah kalang kabut.
"Jawab, Ral!" ucap Alta tegas. Namun Keral masih diam.
Alta menarik tangan Keral dengan kasar. Ia terperangah ketika melihat Keral menagis. Jantung Alta berdebar pasti ada yang tidak beres.
"Dia meninggal," kata Keral. Pelan.
Hati Alta mencelos mendengar pengakuan Keral. Ia menyenderkan dirinya di tembok. "Lo brengsek," lirih Alta.
"Gue emang brengsek. Gue pengecut. Kalau aja gue mau tanggung jawab dia nggak bakal coba bunuh diri." Keral menutupi wajahnya kembali terlihat jelas bagaimana tidak tenangnya ia saat ini.
Bukk
Alta sudah cukup sabar sedari tadi ketika Keral menceritakan semuanya hingga pengakuan terakhirnya. Namun sebrengsek apapun Keral untuk saat ini ia tidak butuh dihakimi maka Alta melampiaskan kemarahannya pada dinding di dekatnya.
Melihat itu Raskal menelan salivanya susah payah, rasa kantuk yang mederanya sejak tadi hilang seketika.
Alta menghela napas dan menoleh ke arah Keral, "Sekarang lo maunya gimana?"
Keral menggeleng, pandangannya juga kosong. "Gue nggak tahu."
Alta memijit pelipisnya perlahan, "Siapa yang lo hamilin?"
"Kara."
"Kara?" ulang Alta sambil menautkan alisnya karena tidak mengerti.
"Anak akselerasi." jelas Keral tapi percuma karena Alta kembali diam, sepertinya ia tidak tahu.
Sedangkan Raskal memilih random banyak pertanyaan yang berkelebat dipikirannya, "Orangtua dia tahu?"
Keral menggeleng, tatapan kosongnya mendadak sendu, "Dia anak panti."
Lagi-lagi Alta dan Raskal dibuat terperangah oleh ucapan Keral. Keral sungguh menyajikan banyak kejutan sampai Alta ingin membunuhnya saat ini juga.
Tidak ada yang berbicara lagi setelah itu semua larut dalam pikiran masing-masing. Alta menarik pintu kaca membuat udara dingin dini hari menyeruak masuk ke dalam ruang kamarnya lalu menuju balkon.
Ia berdiri melihat lampu-lampu jalanan di bawah apartemennya yang menyala juga keadaan jalan raya yang sedikit lengang. Dirasakannya dingin angin menusuk kulit wajahnya. Biasanya angin akan membuat Alta lebih tenang dan berpikir jernih.
Alta memejamkan matanya membiarkan wajahnya ditiup-tiup oleh angin. Baginya angin itu seperti penghapus tidak kasat mata yang mampu menghapus segala resah, sedih juga amarah yang ada lalu menggantinya dengan ketenangan.
Setelah emosinya stabil ia kembali masuk dan mendapati kedua temannya masih duduk dan diam seperti tadi. Alta sebenarnya kasihan melihat keaadaan Keral saat ini apalagi sampai menangis seperti tadi, ia pasti dihantui rasa bersalah maka Alta akan mencoba untuk menjadi teman seperti yang Keral butuhkan.
"Gue bakal usahain orang-orang nggak tahu kalau lo terlibat," kata Alta membuat Keral menatapnya. Alta tersenyum. Tulus. "Karena kita teman."
Raskal yang mendengar itu langsung mengucapkan hamdalah berkali-kali dalam hatinya karena tidak ada adegan Alta mengamuk sepeti biasanya. Ia cukup legah setidaknya tidak ada perang dunia ketiga.
"Tapi kalau sampai hal ini terulang. Jangan anggap gue teman lagi," lanjut Alta