Alleia masih tidak percaya kalau ternyata ayahnya dan Galang mengatur ini semua tanpa sepengetahuannya. Bahkan Alleia tidak pernah terpikir dalam mimpi sekalipun kalau Ardan dan Galang ternyata sudah pernah bicara tentang hubungan mereka.
"Jadi Ayah mengatur ini semua?" tanya Alleia penasaran. Alleia tidak berhenti menatap Galang dan memegang tangan Galang dengan posesif. Alleia takut ini semua hanya mimpi di siang bolong.
Galang mengangguk, "Bisa dibilang begitu," ujarnya pelan. Alleia semakin meremas tangan Galang dan senyum merekah tidak hilang dari wajahnya. Sejak mereka putus baru kali ini Alleia tersenyum lepas dan tulus saat bertatapan dengan Galang.
"Kakak harus ceritakan apa yang terjadi!" kata-kata Alleia bagaikan perintah dan Galang akhirnya mengangguk dan mulai menceritakan kenapa akhirnya ia diizinkan menikah Alleia, tentu saja dengan perjuangan yang tidak mudah.
Flashback dua tahun yang lalu.
Galang tahu hubungannya dengan Alleia tidak akan pernah berhasil jika ia masih tetap menjadi pengawal keluarga Mahesa. Siapapun orangtua tidak akan mengizinkan anak gadisnya menikah dengan laki-laki yang statusnya jauh di bawah sang anak. Galang pikir setelah lebih dari satu tahun menjalin hubungan backstreet, mungkin sudah waktunya Galang bicara empat mata dengan kedua orangtua Alleia. Urusan direstui atau tidak akan Galang pikirkan nanti saja, yang terpenting Ardan dan Sekar tahu kalau Galang dan Alleia saling mencintai.
Tanpa sepengetahuan Alleia yang sedang kuliah. Galang menemui Ardan dan Sekar di ruang kerjanya. Jantung Galang berdetak tak karuan dan peluh membasahi pelipisnya. Tangannya dingin dan basah oleh keringat. Tidak pernah Galang segugup ini saat bertemu orang tapi kali Galang bagaikan anak kucing yang sedang bersembunyi dari kejaran anjing.
Tok tok tok
Ardan sedang sibuk membaca Koran sedangkan Sekar sedang bermain dengan dua cucu kembarnya langsung menyuruh Galang untuk masuk. Galang lalu masuk ke dalam ruang kerja Ardan. Ardan dan Sekar bingung kenapa Galang terlihat gugup dan takut.
"Ada apa Galang? Alleia baik-baik saja kan?" tanya Sekar.
"Non Alleia baik-baik saja Nyonya. Kedatangan saya ke sini untuk bicara dengan Tuan dan Nyonya tentang … tentang …" lidah Galang terasa kelu dan berat memberi tahu majikannya tentang keberaniannya mencintai anak majikan.
Ardan melipat kembali korannya dan merasa Galang ingin bicara hal penting dengannya, Ardan lalu membuka kacamatanya dan berjalan menuju sofa agar Galang merasa santai dan tidak gugup lagi.
"Duduk," ajak Ardan, Galang mengaitkan tangannya lalu menggeleng pelan.
"Saya berdiri saja Tuan," tolak Galang.
"Duduk saja, agar pembicaraan kita bisa sedikit lebih santai," ajak Ardan. Sekar akhirnya ikut duduk di samping Ardan setelah cucu kembarnya tertidur pulas di box bayi yang khusus diletakkan di ruang kerja Ardan. Galang akhirnya mengalah dan duduk di depan Ardan masih dengan rasa gugup dan takut.
Ardan mencoba membaca mata Galang dan yakin pembicaraan ini ada kaitannya dengan Alleia, "Ada apa Galang? Kenapa kamu segugup ini saat ingin bicara dengan saya?" tanya Ardan penasaran. Galang mengangkat wajahnya dan mencoba bicara dengan menatap mata Ardan.
"Saya … saya mencintai Alleia Tuan," ucapan Galang langsung, singkat, padat, dan sangat jelas di telinga Ardan dan Sekar. Sekar langsung menggenggam tangan Ardan dan mereka saling menatap karena shock mendengar ucapan Galang tadi.
"Saya memang lancang karena berani mengatakan ini, hanya saja saya berpikir kalau saya tidak bisa menutupi hubungan kami lebih lama karena itu sangat pengecut dan saya tidak mau jadi laki-laki pengecut. Makanya, saya memutuskan memberi tahu Tuan," sambung Galang lagi.
Ardan lalu membuang napasnya, "Sudah berapa lama kaliah menjalin hubungan? Sejauh apa hubungan kalian? Saya akan membunuh kamu kalau sampai kamu menyentuh anak gadis saya sebelum waktunya," ancaman Ardan cukup membuat Galang mati kutu.
"Kami berhubungan hampir satu setengah tahun dan sumpah demi almarhum orangtua saya sekalipun saya tidak pernah menyentuh Alleia. Kami tahu batasan dan saya tidak akan merusak wanita yang saya cintai apapun alasannya," ucapan Galang membuat Ardan kagum dan yakin kalau Galang memang sangat menjaga Alleia. Hanya saja Ardan belum siap melepaskan Alleia semuda ini untuk menikah dengan Galang.
Ardan melirik Sekar sekali lagi dan melihat pengalaman serta sifat keras Alleia yang sangat mirip dengan Galih akhirnya Ardan dan Sekar menerima maksud baik Galang hanya saya Ardan ingin Galang menunjukkan ketulusan dan keseriusannya sampai kuliah Alleia selesai dan siap untuk menjadi seorang istri.
"Saya butuh jaminan kalau kamu tidak akan menyentuh Alleia sebelum waktunya dan saya menginginkan kamu melepaskan pekerjaan ini dan kerja di kantor saya. Saya tidak mau Alleia menderita setelah menikah dengan kamu. Anak itu sangat manja dan dia pasti merasa sulit jika harus hidup sederhana,"
"Sayang … seharusnya kamu tidak memaksa Galang. Uang itu bisa dicari tapi kebahagiaan susah. Biarkan Galang memutuskan hidupnya dan sudah seharusnya Alleia beradaptasi seandainya Galang tidak bisa memberikan kemewahan padanya," ucapan Sekar membuat Ardan diam dan kini mereka menunggu jawaban dari Galang.
"Bagaimana?"
Galang mengeluarkan sebuah amplop dari dalam jaketnya, "Saya akan menikahi Alleia setelah saya berhasil meniti karir. Saya tidak akan membuat Alleia menderita setelah kami menikah. Beberapa bulan yang lalu saya melamar kerja di salah satu anak perusahaan Mahesa Group dan saya akhirnya diterima walau hanya sebuah jabatan kecil tapi saya akan berjuang mati-matian agar karir saya naik dan kedudukan saya dengan Alleia menjadi berimbang," ujar Galang dengan tulus. Ardan dan Sekar senang melihat ketulusan dan sikap gigih Galang, mereka akhirnya memberi restu dan sebuah syarat penting.
"Selagi kamu berjuang lebih baik hubungan kalian diakhir dulu. Saya tidak mau kuliahnya terganggu, saya melakukan ini agar kalian fokus dengan impian masing-masing dan setelah itu saya akan dengan senang hati menyerahkan Alleia ke tangan kamu," syarat Ardan akhirnya disetujui Galang.
Flashback end
Alleia terkesima mendengar setiap kata yang keluar dari mulut Galang. Alleia semakin mengagumi Galang yang gagah berani melamarnya langsung ke orangtuanya walau harus dengan menyakitinya dulu dengan putusnya mereka dua tahun yang lalu. Andai Alleia tahu tujuan Galang memutuskannya dengan hari ini mungkin dengan senang hati Alleia merelakan dan tidak perlu memendam cinta dan benci selama ini.
"Kakak jahat tahu nggak?" rajuk Alleia.
"Maaf ya tapi kakak harus patuhi syarat yang diajukan Tuan," balas Galang.
"Jadi kakak kerja di salah satu perusahaan Ayah dan bohong tentang menjadi asisten kak Daniel?" tanya Alleia penasaran. Galang mengangguk dan bersyukur semua keluarga mendukungnya dan membantunya merahasiakan semua rencananya.
"Ishhhh jadi kalian semua sudah kerjasama ya bohongi aku?" Alleia lalu melepaskan tangan Galang dan menyatukan kedua tangannya di atas dadanya sambil memanyunkan bibirnya. Hal yang sering Alleia lakukan jika sedang merajuk, Galang tertawa dan menoel hidung Alleia.
"Masih suka ngambek ternyata, arghhh sepertinya kakak harus menunda pernikahan kita. Kakak nggak mau ah menikah dengan gadis perajuk," Galang semakin menggoda Alleia dan reaksi Alleia langsung membatalkan niatnya merajuk. Mereka saling tertawa dan menceritakan perasaan masing-masing setelah dua tahun ini putus.
Yana bahagia saat Alleia pulang dengan senyum sumringah dan menceritakan lamaran Galang dan menunjukan cincin yang kini melekat di jarinya. Seharusnya Yana ikut bahagia melihat keluarganya bahagia tapi entah kenapa Yana merasa kosong dan hampa. Sudah satu minggu ini Yana kembali tinggal di rumah keluarga Mahesa dan selama ini Galih tak kunjung menampakkan batang hidungnya sedangkan Yana yakin Alleia atau anggota keluarga lainnya sudah memberi tahu Galih tentang kepulangannya.
Yana diam-diam meninggalkan ruang keluarga untuk kembali ke kamarnya. Untungnya tidak ada yang sadar dengan kepergiannya karena sibuk membahas pernikahan Alleia. Yana lalu naik dan lagi-lagi masuk ke kamar Galih, rutinitas yang selalu Yana lakukan sebelum tidur. Biasanya Yana akan mengambil baju atau celana milik Galih lalu memasangnya dan membawanya ke kamarnya. Kali ini Yana melakukan hal yang sama hanya saja Yana menikmati aroma tubuh Galih sambil membayangkan Galih memeluknya, menciumnya, dan berada di dekatnya.
Dada Yana sesak saat sadar dirinya semakin lepas kontrol dan menjadikan baju Galih sebagai pelampiasan rasa rindunya. Yana meneteskan airmatanya dan menatap panjang foto Galih, "Mungkinkah aku harus merelakan kamu?" tanya Yana pelan. Terkadang Yana ingin melepaskan Galih tapi terkadang Yana ingin memiliki Galih. Yana benar-benar bingung dengan hatinya.
Setelah puas Yana kembali memasang baju dan celana Galih meski penampilannya sangat buruk. Baju dan celana itu membuat tubuh mungilnya tenggelam. Setelah itu Yana keluar dan rasanya Yana ingin mengenang masa-masa kecil mereka. Yana lalu naik ke kamar loteng, kamar yang sudah tiga tahun ini tidak pernah ia masuki. Kamar yang tetap sama dengan foto-fotonya terpajang di setiap dinding.
Yana lalu berbaring di dipan kecil dan tidak butuh waktu lama Yana tertidur pulas dan bermimpi Galih memeluknya seperti impiannya tadi. Yana meringkuk bagaikan janin dan tanpa sengaja meneteskan airmata saat sadar itu hanya mimpi pemanis tidur.
Pagi harinya.
Yana terbangun saat cahaya mentari menyinari dan membuat matanya silau. Yana menggeliat dan tidak pernah tidur senyenyak ini. Biasanya tengah malam Yana terbangun tapi tadi malam Yana tidur sangat nyenyak. Yana lalu melihat jam di atas nakas dan matanya langsung melotor saat sadar jarum jam sudah berada di angka sembilan.
"Arghhhhh jam berapa ini!" Yana ingin berdiri tapi sebuah benda berat di perutnya membuatnya sulit bangun. Yana lalu membuka selimut yang menutupi tubuhnya dan melihat sebuah tangan sedang memeluknya. Jantungnya langsung berdetak hebat, Yana sangat mengenal siapa pemilik tangan ini. Hanya saja Yana takut ini hanya mimpinya dan Yana takut kecewa kalau ternyata ini tidak nyata.
Perlahan-lahan Yana mulai memutar kepalanya dan melihat Galih sedang tidur di sampingnya. Wajah yang sangat Yana rindukan terlihat kurus, mata hitam, dan rambut kecil memenuhi pipi dan dagunya.
"Ini hanya mimpi," Yana mencoba memukul pipinya dan Yana merasa sakit. Yana sekali lagi melirik Galih dan menyentuh pipi Galih dengan tangannya. Galih menggeliat pelan dan semakin memeluk Yana.
"Pagi Ayana … aku jetlag dan sangat mengantuk. Lamaran dan pembahasan tentang pernikahan kita lanjutkan siang nanti," ujar Galih masih dengan mata tertutup. Yana terdiam dan semakin yakin kalau ini bukan mimpi. Galih akhirnya pulang dan hal pertama yang Galih lakukan adalah memutuskan sesuatu tanpa persetujuannya.
Galih tetaplah Galih yang selalu memaksakan kehendaknya tapi kali ini Yana tidak akan membuang kesempatan untuk bahagia. Kali ini Yana akan bersikap egois untuk melindungi cintanya. Yana kembali berbaring di samping Galih dan membenamkan kepalanya di dada bidang Galih.
"I love you," bisik Yana pelan.