Ardan tertawa miris saat mengingat bagaimana dulu ia memperlakukan Sekar dengan sangat buruk. Menyiksa, menghina, dan memperlakukan Sekar secara tidak manusiawi saja sudah membuat Sekar sulit memaafkannya. Ardan pikir kesalahannya hanya itu tapi nyatanya masih ada satu kesalahan yang tidak akan pernah dimaafkan Sekar, memerkosa dan meninggalkan Sekar tanpa tanggung jawab.
Tinnnnnnn
Ardan mengacuhkan klakson yang sengaja dibunyikan Arjuna agar Ardan berhenti mengemudikan mobilnya yang melaju kencang. Ardan tertawa miris dan melepaskan tangannya dari stir dan membiarkan mobil melaju semakin oleng ke kiri dan ke kanan.
"Ya Tuhan!" Arjuna panik melihat mobil Ardan mulai kehilangan kontrol dan suasana semakin kacau saat sebuah truck dari arah berlawanan memberi lampu sen agar mobil Ardan menepi.
"TUAN!" teriak Arjuna tapi Ardan mengacuhkan teriakan Arjuna dan menutup matanya. Selama ini Ardan tidak takut dengan apapun walau ia berbuat salah sekalipun tapi hari ini Ardan muak dengan dirinya sendiri dan pengaruh minuman membuat Ardan memutuskan melakukan hal gila seperti tadi.
Tinnnnnnnnnnnnn
"I love you," saat rasa putus asa itu datang, Ardan teringat kata-kata yang kemarin diucapkan Sekar. Ungkapan hati yang tulus diucapkan Sekar untuknya. Ardan akhirnya sadar mati tidak akan menyelesaikan masalah. Mati hanya akan membuat Sekar dan orang yang menyayanginya semakin menderita. Ardan membuka matanya dan langsung memegang stir mobil dan agar tidak bertabrakan dengan truck yang melaju cukup kencang.
Ardan berhenti di badan jalan dan memukul stir mobil dengan kesal. Hampir saja ia melakukan hal bodoh, seharusnya ia berjuang demi Sekar bukannya menyerah seperti tadi.
"Tuan!" panggil Arjuna sambil mengetuk kaca mobil berulang kali.
Ardan menoleh dan melihat wajah panik Arjuna yang memintanya untuk membuka jendela mobil.
"Tuan!"
"Pergi! Tinggalkan saya sendiri!" balas Ardan dengan suara serak.
"Tuan jangan pernah melakukan hal yang akan Tuan sesali dikemudian hari. Semua bisa dibicarakan, Tuan cukup menjelaskan ke Nyonya kalau Tuan saat itu sedang mabuk. Tuan tidak sadar kalau perbuatan Tuan itu salah, saya yakin Nyonya pasti mengerti dan mau memaafkan Tuan," sambung Arjuna.
"Saya tahu tapi saat ini saya butuh waktu dan tolong tinggalkan saya sendirian. Lebih baik kamu pulang dan tolong jaga Nyonya selama saya tidak ada," ujar Ardan lagi. Arjuna melihat Ardan mulai tenang dan yakin Ardan tidak akan melakukan hal gila yang akan disesali nanti.
"Baiklah, saya harap Tuan bisa pulang dan membujuk Nyonya agar memaafkan Tuan," Arjuna meninggalkan Ardan dan kembali ke mobilnya. Ardan lalu membuang napas dan melihat penampilannya melalui kaca spion.
Tampangnya sangat kacau dan menyedihkan, Ardan lalu melepaskan kimono handuk dan menggantinya dengan kaos yang terletak di bangku belakang. Ardan lalu membuka laci dan meletakkan barang-barang pribadinya di dalamnya. Cukup lama Ardan memikirkan langkah apa yang akan ia ambil saat ini dan ia memutuskan menenangkan diri sebelum mengambil langkah selanjutnya agar rumah tanggannya tidak hancur.
Arjuna melihat tumpukan piring di depan pintu kamar Sekar. Sejak kepulangannya sampai detik ini Sekar tidak kunjung keluar untuk mengambil makanan yang disiapkan Nimas.
"Aku takut Mbak Sekar menyakiti dirinya sendiri," ujar Nimas sambil memegang baki yang berisi makanan yang mulai dingin.
"Nyonya Sekar tidak akan menyakiti dirinya sendiri, dia masih shock dan mungkin belum tahu apa yang akan dia lakukan setelah tahu semua rahasia itu," balas Arjuna.
"Aku mengkhawatirkan Alleia sejak tadi dia menangis, mungkin anak itu merindukan ayahnya. Biasanya jam segini Mas Ardan selalu mengajaknya bermain," sambung Nimas dengan prihatin. Arjuna mengangguk dan melihat ponselnya dan sampai detik ini tidak ada kabar sama sekali dari Ardan.
"Kamu yakin Tuan akan kembali?" tanya Arjuna. Nimas mengangkat bahunya dan meletakkan baki itu di dapur. Selera makannya hilang sejak pertengkaran pagi tadi, ia sedikit merasa bersalah menyembunyikan semua rahasia dari Ardan dan Sekar.
Setengah jam kemudian,
Pintu kamar Sekar terbuka, Arjuna melihat Sekar keluar dengan tatapan kosong. Matanya masih sembab dan Sekar memilih duduk di meja makan tanpa banyak kata. Arjuna dan Nimas hanya bisa diam dan tidak berani membuka percakapan jika kondisi Sekar masih kacau seperti ini.
"Kamu lihat kondisi Alleia," ujar Arjuna sengaja berbisik. Nimas mengangguk lalu masuk ke dalam kamar Sekar. Barang-barang Ardan berserakan di lantai bahkan Nimas melihat cincin kawin yang biasa terpasang di jari Sekar kini tergeletak begitu saja di atas nakas.
Nimas mulai menyusun barang-barang Ardan dan berniat meletakkan barang itu ke dalam lemari.
"Buang barang-barang itu," ujar Sekar dengan suara serak.
"Tapi …"
"Buang!" ujar Sekar dengan nada tinggi. Arjuna memberi kode agar Nimas mengikuti semua perintah Sekar dan Nimas pun akhirnya menyimpan baju-baju serta barang Ardan di dalam kotak dan menyimpannya di kamarnya.
"Nyonya … Tuan,"
"Jangan bahas dia di depan saya," ujar Sekar memberi perintah. Arjuna pun menutup mulut dan membiarkan Sekar melanjutkan makannya.Walau sudah berusaha untuk tegar tapi Sekar tidak bisa menahan air matanya. Airmata satu persatu jatuh tanpa ia sadari walau langsung dihapus Sekar.
Seorang anak berusia tujuh tahun berlari masuk dan mengetuk pintu kepala panti dengan tergesa-gesa.
"Pak … Pak …" panggil anak itu. Tak lama pintu kamar terbuka dan seorang bapak berusia sekitar lima puluh tahun keluar dan memasang kacamatanya.
"Ada apa Yana?" tanya bapak tua itu. Anak bernama Yana lalu mengarahkan tangannya ke arah pintu masuk dan mencoba menormalkan napasnya.
"Anu … ada mayat Pak," ujar Yana ketakutan. Bapak tua itu terkejut dan keluar dari kamarnya untuk memastikan apakah benar ada mayat. Bapak tua itu membuka pintu dan melihat seorang laki-laki dewasa sedang tidur di teras panti asuhannya.
"Ya ampun Yana, itu bukan mayat sayang." Bapak tua itu mengacak rambut Yana dan setelah itu mendekati laki-laki yang tertidur pulas di depan panti asuhannya.
"Mas," panggil Bapak tua itu sambil menggoyangkan tangan laki-laki dewasa yang terlihat sangat lelah dan banyak pikiran. Tak lama laki-laki itu bangun dari tidurnya dan merasa tidak enak tidur di rumah orang lain tanpa seizin pemiliknya.
Laki-laki itu langsung berdiri, "Maaf saya lancang tidur di sini," ujar laki-laki itu yang ternyata Ardan. Setelah jalan seharian akhirnya ia berhenti tepat di depan panti asuhan, rasa lelah membuatnya memberanikan diri singgah untuk sekedar tidur.
"Oh tidak apa-apa Mas, saya hanya ingin mengajak Mas tidur di dalam."
"Tidak perlu Pak," tolak Ardan.
"Jangan takut, rumah ini selain panti asuhan tapi juga tempat penampungan warga yang butuh tempat tinggal. Di dalam ada beberapa kamar dan Mas bisa tidur sepuasnya, saya tidak akan memungut biaya sepeserpun," sambung bapak tua itu.
Ardan lalu berpikir kalau tawaran bapak tua itu cukup menggiurkan apalagi kondisinya tanpa uang sepeserpun. Ardan lalu mengangguk dan menerima tawaran untuk menginap di panti asuhan milik bapak tua itu.
"Yana, kamu tolong tunjukkan ruang raflesia ke om ini ya." Yana mengangguk dan menarik tangan Ardan untuk masuk bersamanya. Ardan tertawa dan mengacak rambut Yana, saat melewati ruang tengah menuju ruang raflesia tanpa sengaja Ardan melihat anak laki-laki berusia sekitar empat tahun sedang asyik menggambar.
"Siapa dia?" tanya Ardan ke Yana.
"Namanya Galih … Galih itu cucunya bapak tadi. Ganteng ya om tapi sayang bisu. Sejak dia datang sampai sekarang Galih tidak pernah ngomong sepatah katapun. Dia hanya menggambar dan tidak pernah mau didekati siapapun kecuali opanya," sambung Yana.
Mata Ardan tidak berhenti menatap Galih, "Kamu tunggu sebentar di sini," Ardan lalu mendekati Galih dan menyapanya dengan ramah.
"Hai," sapa Ardan seramah mungkin. Galih mengangkat wajahnya dan tatapan sendu yang dikeluarkan Galih membuat Ardan merasa melihat dirinya sewaktu kecil, "Hai nama kamu siapa?" tanya Ardan.
Galih tidak menjawab dan kembali menundukkan wajahnya. Ardan melihat buku gambar Galih penuh dengan coretan aneh. Ardan lalu mengambil buku itu dan melihat dari awal apa yang digambar Galih.
"Om, jangan diganggu nanti Galih nangis!" teriak Yana saat melihat Ardan mengambil buku gambar Galih.
"Om penasaran," Ardan membuka satu persatu buku gambar Galih. Ada gambar nenek sihir jahat sedang memukul anak kecil, begitupun lembar-lembar berikutnya. Ardan terkesima dan merasa kasihan melihat anak sekecil Galih bisa menggambar sedetail itu.
"Nama kamu siapa?" tanya Ardan basa basi.
Galih mengangkat wajahnya dan melihat Ardan dengan bola mata bulatnya, entah kenapa Ardan merasa bola mata Galih sama persis dengan bola mata Sekar. Ardan terdiam dan mulai merindukan Sekar padahal mereka baru berpisah beberapa jam.
"Om," panggil Yana lagi.
"Bi … Yan … Dla," jawab Galih terbata-bata. Yana dan Ardan sama-sama kaget mendengar jawaban Galih.
"Nama kamu Galih atau Biyandra?" tanya Ardan sekali lagi tapi Galih tidak menjawab dan mengacuhkan keberadaan Ardan.
"Dia ternyata nggak bisu ya om, wah kayaknya dia suka sama om."
Ardan mengacak rambut Galih dan meninggalkan anak itu untuk kembali mengikuti Yana. Ardan merasa ia bisa mendapat ketenangan jika tinggal sementara di panti asuhan ini sampai pikirannya bisa jernih.
Keesokan harinya,
Arjuna meletakkan kunci mobil, dompet, serta ponsel Ardan di samping Sekar. Arjuna sempat khawatir dan akhirnya memutuskan kembali ke tempat terakhir ia melihat Ardan dan Arjuna hanya menemukan mobil serta barang-barang pribadi Ardan.
"Tuan menghilang tanpa jejak dan dia meninggalkan barang-barangnya di dalam laci mobilnya," ujar Arjuna memberi tahu Sekar.
"Bukan urusan saya," balas Sekar singkat. Arjuna membuang napas dan ingin rasanya ia memberi tahu Sekar kalau Ardan kemarin mencoba mencelakakan dirinya sendiri.
"Tuan sangat terluka,"
"Luka dia tidak sebanding dengan luka batin saya," jawab Sekar.
"Saya tidak tahu seberapa besar luka Nyonya tapi satu hal yang pasti Tuan sama sekali tidak sadar dengan perbuatannya," bela Arjuna. Sekar menghentikan makannya dan melihat Arjuna dengan tatapan marah.
"Coba kamu berada di posisi saya," Sekar lalu berdiri dan malas melanjutkan makannya jika Arjuna masih membahas Ardan.
"Seharusnya Nyonya sadar kalau Nyonya pun punya kesalahan yang sama. Tuan salah karena melakukan perbuatan kejam tapi Nyonya juga salah dan Nyonya pun sama kejamnya dengan Tuan,"
"Maksud kamu?"
"Seharusnya Nyonya tidak menelantarkan anak Tuan," Arjuna mengutuk kebodohannya yang berani membahas Biyandra.