webnovel

Pembalasan Yang Sepadan

Ardan berusaha keras memikirkan cara apalagi untuk menghukum Sekar, tapi bentuk hukumannya tidak terlalu keras dan membahayakan bayinya. Rasa ingin tahu Sekar mengusik ketenangannya dan ia tidak akan membiarkan Sekar duduk dengan tenang setelah menganggu tidurnya.

Sebuah ide tiba-tiba melintas di benak Ardan, "Bersihkan kamar ini sampai bersih, tanpa noda, dan wangi. Saya memberi toleransi dengan tidak memberi kamu pekerjaan berat, tapi kamu tipe manusia tidak tahu berterima kasih dan sekarang kamu berani mengganggu ketenangan saya,"

"Hanya itu?" tantang Sekar dengan berani. Ardan mendelikkan matanya setelah mendengar tantangan Sekar dan rasanya ia ingin memberi Sekar pelajaran untuk tidak berani menantangnya seperti tadi, tapi ucapan dokter tentang kondisi Sekar yang lumayan lemah membuatnya membatalkan niatnya.

"Sekarang ada dua pilihan dan kamu wajib memilihnya. Pilihan pertama bersihkan kamar ini seperti yang saya perintahkan tadi dan pilihan kedua saya kurung di kamar gelap sampai besok pagi." Wajah Sekar langsung menegang mendengar ancaman Ardan. Ardan tersenyum penuh kemenangan, "Silakan pilih." Ardan melanjutkan ucapannya.

"Oke, kali ini Tuan menang dan lebih baik Tuan keluar. Kamar ini penuh debu dan polusi, jangan salahkah saya ya kalau hidung Tuan sakit," usir Sekar sambil mengambil sapu dan mulai menyapu lantai dan sapu itu terkena kaki Ardan.

"Syukur!" maki Sekar dalam hati saat Ardan mengaduh kesakitan sambil memegang kakinya.

"Kamu sengaja ya!" maki Ardan.

"Uppppssss sorry," Sekar membalas sama persis seperti saat Ardan sengaja membuat baju-baju yang dicucinya hanyut. Ardan menutup matanya dan hendak membalas tapi niatnya tidak jadi saat tiba-tiba Sekar memegang perutnya.

"Ada apa? Bayi itu berulah lagi?" tanya Ardan sedikit panik.

"Bukan urusan Tuan," jawab Sekar acuh. Sekar melanjutkan pekerjaannya dan tidak memberi tahu Ardan kalau barusan bayinya membuat gerakan walau hanya gerakan ringan.

"Saya tetap di sini dan memastikan kamu benar-benar bekerja dengan baik," Ardan lalu duduk di sofa yang ada di ujung kamar dan perlahan demi perlahan Ardan memejamkan mata. Saking kesalnya Sekar membuat gerakan seperti ingin memukul Ardan.

"Dasar manusia berhati kejam! Suatu saat Tuhan akan membalasnya lebih buruk daripada yang selama ini aku terima," rutuk Sekar dalam hati.

"Jangan pikir saya tidak tahu apa yang kamu lakukan," ujar Ardan dengan mata masih tertutup. Sekar memilih diam dan mulai mengumpulkan baju-baju dan sampah-sampah yang berserakan di lantai.

Nimas masih tidak percaya ibunya tega menyuruhnya menggoda Ardan. Penolakan tidak membuat ibunya berhenti merongrongnya. Hari ini mereka bertengkar lagi untuk masalah yang sama.

"Berhenti mengganggap anak-anak ibu sebagai pohon uang!" teriak Nimas. Kesabarannya sudah habis dan airmata akhirnya jatuh membasahi pipinya.

"Cobalah bersikap seperti Maudy. Apa pun keinginan ibu selalu dia penuhi," balas ibunya tanpa malu. Nimas semakin tertawa miris setelah mendengar ucapan ibunya.

"Aku berjanji di depan Mbak Maudy untuk menjaga rahasia masa lalunya tapi ibu membuatku sudah tidak tahan lagi!" Nimas mengacak rambutnya dan berteriak histeris. Bukannya berhenti merecoki Nimas, ibu Maudy semakin menekan Nimas untuk ikut dalam rencananya.

"Ibu tidak mau tahu, pokoknya kamu harus patuh dan berhenti bersikap sok suci. Toh Maudy sudah tidur dengan tenang di alamnya." Air mata Nimas semakin sulit ditahan. Entah dosa apa yang ia dan Maudy lakukan sampai sang ibu tega berkata sekejam itu demi memenuhi keinginannya.

Nimas menghapus airmatanya, "Tega ibu mengatakan itu tentang Mbak Maudy, kami ini anak-anak ibu!" suara Nimas semakin serak.

"Karena kalian anak-anak ibu makanya jangan pernah membangkang dan turuti semua keinginan ibu. Rayu Ardan dan buat dia menyukai kamu atau pergi dari rumah ini dan kembalikan semua fasilitas yang ibu berikan untuk kamu," ibu Maudy menjulurkan tangannya. Nimas memilih mengembalikan apa yang bukan miliknya dari pada mengikuti keinginan gila ibunya. Sampai kapan pun Nimas tidak mungkin menggoda milik Maudy.

"Aku lebih memilih hidup miskin tapi punya harga diri," setelah mengatakan Nimas langsung pergi dan berharap ibunya bisa berubah.

"Kamu akan kembali! Camkan itu anak nakal!" teriak ibu Maudy dengan kesal. Harapannya untuk mengeruk harta Ardan sirna setelah Nimas menolak rencananya, "Bagaimana ini, kalau Tuan Felix sampai tahu … semua harta ini … tidakkkkkk," Ibu Maudy menggelengkan kepalanya dan berencana tidak memberi tahu Tuan Felix tentang penolakan Nimas.

Nimas membalikkan badannya dan menatap rumah mewah yang tiga tahun ini ia tempati bersama Maudy, "Maafin aku Mbak. Aku tidak bisa melakukan hal serendah itu, walau demi ibu sekali pun." Nimas berjanji tidak akan pernah kembali sampai ibunya berubah.

Baru akan menghentikan taksi tiba-tiba sebuah mobil sedan berwarna hitam berhenti di depannya. Nimas langsung berlari karena takut mobil itu milik suruhan ibunya.

Tiiinnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn

Mobil itu berhenti persis di depan Nimas dan saat Nimas ingin putar balik, sang pengemudi keluar dari mobilnya. Pengemudi membuka kacamata hitamnya dan mengejar Nimas yang menghindari darinya.

"Hey, jangan lari!" teriak sang pengemudi yang ternyata Arjuna. Nimas berusaha melepaskan pegangan Arjuna yang cukup menyakitkan tangannya.

"Ngapain lo pegang-pegang tangan gue?" tanya Nimas dengan kesal. Emosinya sulit terkontrol sejak bertengkar dengan ibunya.

"Tuan ingin bertemu kamu. Kamu pikir saya sudi memegang tangan kamu?" sindir Arjuna balik dan memaksa Nimas masuk ke dalam mobilnya sebelum ada yang melihat keberadaannya di Jakarta. Sesuai pesan Ardan kepulangannya ke Jakarta tidak boleh ada yang tahu terutama oleh Tuan Felix dan Ibu Marinka.

"Mas Ardan?" Nimas mulai berhenti meronta dan membiarkan Arjuna membawanya entah ke mana. Melihat reaksi Nimas membuat Arjuna kesal, ia sengaja mengemudikan mobil ugal-ugalan agar Nimas tidak bisa duduk dengan tenang.

"Hey! Gue masih mau hidup!" maki Nimas.

"Berisik," balas Arjuna acuh. Seandainya Ardan tidak menyuruhnya untuk menjemput Nimas mungkin Arjuna tidak akan sudi semobil dengan wanita yang menurutnya bermuka alim tapi hati busuk sama seperti ibunya yang mata duitan.

Dua jam kemudian.

Fiuhhhhhh

Sekar membuang napas saat kamar yang tadinya kotor kini terlihat bersih dan mengkilat. Ardan masih tidur di kursinya dengan nyenyak bahkan Sekar mendengar suara ngoroknya. Sekar mendekati Ardan dan sangat ingin mencekik leher Ardan dengan tangannya tapi entah kenapa Sekar urung melakukannya.

"Saya tahu kamu sangat ingin membunuh saya," ujar Ardan sambil membuka matanya. Mata Ardan memerah dan langsung mencengkram tangan Sekar hingga Sekar terjatuh dan terduduk di pangkuan Ardan. Mereka saling menatap dan Sekar memilih membuang muka karena napasnya langsung tercekat melihat tatapan Ardan yang selalu mengintimidasinya. Sekar meronta dan berusaha bangun dari pangkuan Ardan walau akhirnya hanya menjadi pekerjaan sia-sia, tenaga Ardan tidak sebanding dengan tenaganya.

"Lepas!" pinta Sekar dengan kasar. Ardan sadar posisi mereka tidak normal dan ia pun melepaskan pegangannya tadi.

"Keluar!" teriak Ardan mengusir dan mendorong Sekar agar menjauh darinya.

"Tanpa Tuan usir pun saya akan keluar," Sekar mengambil peralatan kerjanya dan meninggalkan kamar Ardan dengan membanting pintu. Di depan pintu Sekar mendengus kesal dan membuat gerakan ingin memukul dengan sapu yang ada di tangannya.

"Kenapa di dunia ini ada manusia seperti dia!" maki Sekar walau tidak terlalu keras karena takut Ardan mendengarnya.

Bunyi kicauan burung dan sinar matahari pagi membangunkan tidur panjang yang pernah Ardan lakukan semenjak kematian Maudy. Mungkinkah mata ini baru bisa terpejam jika kamar dalam kondisi bersih dan rapi? Mungkin saja, selama ini Ardan selalu hidup dalam keteraturan dan lingkungan bersih, tapi semenjak Maudy meninggal semua itu seakan ikut menghilang.

"Sekar!" teriak Ardan saat melihat air di teko kosong. Kerongkongannya kering dan biasanya Arjuna selalu memastikan teko terisi penuh sebelum Ardan tidur.

"Iya," balas Sekar. Sekar keluar dari kamar mandi dan hampir saja terpeleset andai ia tidak langsung memegang gagang pintu, "Ya Tuhan," Sekar membuang napas dan bersyukur ia tidak sampai jatuh.

"SEKARRRRRRR!"

"Iya Tuan, sebentar … astaga kapan manusia satu itu bisa memiliki kata sabar di hidupnya. Dia pikir aku punya sayap dan bisa terbang. Aku yakin bayiku stress mendengar suaranya yang menyebalkan itu," Sekar mengelus perutnya pelan.

"SEKARRRRRR,"

"Iya Tuan," Sekar buru-buru menuju kamar Ardan.

Ardan membuka selimut dan berdiri sambil membuka jendela di dalam kamar. Suasana pegunungan di belakang villa membuat pikirannya yang kusut sedikit demi sedikit mulai lurus kembali.

"Ya ampun, apa saja kerjanya sampai aku harus teriak tiga kali." Omel Ardan.

Tok tok tok

"Masuk, sejak tadi saya panggil …." Ardan berhenti mengomel saat melihat Sekar masuk dengan kondisi rambut berantakan dan daster yang dipakainya basah terkena air cucian. Ardan membuang wajahnya dan berusaha menormalkan napasnya yang tiba-tiba hilang. Walau wajahnya sangat mirip dengan Maudy tapi dalam kondisi seperti tadilah Ardan bisa melihat Sekar dalam identitas sebenarnya.

"Tuan manggil saya? Tuan butuh apa?" tanya Sekar bertubi-tubi dan acuh sambil memainkan jarinya.

"Lihat saya," perintah Ardan dengan keras. Sekar mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Ardan dengan malas. Ardan lalu menunjuk teko yang kosong tadi dan tanpa banyak kata Sekar melewati Ardan dan mengambil teko yang kosong tadi dan berniat mengisinya dengan air baru.

"Andai aku punya obat pencahar …"

"Jangan sampai kamu memasukkan racun atau obat pencahar ke dalam teko itu atau terima konsekuensinya," ancam Ardan agar Sekar tidak berani meracuni atau memasukkan obat ke dalam teko itu.

"Saya tidak akan memasukkan racun atau obat pencahar … cukup ludah saja," balas Sekar singkat sebelum keluar dari kamar ini. Ardan mencoba menahan emosi yang sengaja Sekar lontarkan melalui ucapan bernada sindiran.

Kehamilannya mengubah semua jalan cerita ini, Ardan tidak bisa bertindak kejam atau menyiksa Sekar selama anak itu berada di rahimnya. Anak itu lebih penting dari apa pun. Ardan butuh anak itu sebagai penerus keluarga Mahesa. Anak itu kelak akan menjadi anaknya dan wanita itu boleh pergi setelah bayi itu lahir.

"Seharusnya aku membenci anak itu. Ayahnya membunuh Maudy dan bayiku tapi entah kenapa aku merasa ada ikatan benang antara aku dan bayi itu. Untuk itu aku memutuskan mengambil anak itu sebagai hukuman atas perbuatan ayahnya. Pembalasan yang sepadan bukan? Kehilangan Maudy dan calon anakku dibayar dengan anaknya. Aku akan melupakan dendam di antara kami asal bayi itu menjadi milikku dan wanita itu bisa bebas pergi ke mana pun yang dia inginkan," ujar Ardan dalam hati.

次の章へ