Leon duduk sendiri di sudut bar. Banyak orang berlalu lalang di hadapannya, beberapa menyapanya namun hanya ditanggapi dingin oleh Leon. Basa-basi bukanlah spesialisasinya. Terlebih malam ini, ia benar-benar tidak ingin diganggu. Sesuatu sudah mengusik pikirannya sejak terakhir kali ia makan malam bersama dengan keluarganya.
Leon menghela napas panjang dan kembali menuangkan minuman ke dalam gelasnya.
"Kesepian di tengah keramaian." Karina berdecak pelan sambil menatap Leon yang duduk sendirian di sudut bar.
Leon menengadah dan menatap Karina. "Masalah buat lu?"
Karina mengangkat bahunya. "Enjoy your loneliness." Ia pun mengeyolor pergi dan bergabung bersama dengan teman-temannya.
Leon tertawa pelan begitu Karina pergi meninggalkannya. Ekor matanya kemudian menangkap Karina yang kini tengah tertawa bersama dengan teman-temannya. "My words come back to me, in bad ways."
Ia geleng-geleng kepala lalu kembali meneguk minumannya. Ia hendak kembali menuangkan minumannya, namun tidak ada setetespun cairan yang keluar dari botolnya. Ia menghela napas melihat botol minumannya sudah kosong. "Time to go." Leon pun pergi meninggalkan bar tersebut.
-----
Leon mengendarai mobilnya sambil berputar mengelilingi kota New York. Memandangi kota tempat tinggalnya yang seolah tidak pernah tertidur. Segala keriuhan kota New York sudah ia rasakan sejak ia dan ibunya pindah ketika ia berumur sepuluh tahun. Pada awalnya mereka menetap di Queens. Kehidupannya berubah ketika sang Ibu berhubungan dengan seorang pebisnis asal Korea Selatan yang sudah menetap lama di New York. Hidupnya semakin berubah ketika ibunya menikah dengan pria tersebut. Mereka akhirnya meninggalkan Queens dan menetap di Manhattan.
Pria itu tidak mempermasalahkan ibunya yang memiliki seorang putra dari pernikahan sebelumnya. Ia bahkan sangat menyukai Leon karena kepintarannya dan menyayanginya seperti anak kandungnya sendiri. Dari pernikahan keduanya, Leon memiliki seorang adik perempuan yang saat ini masih duduk di sekolah menengah atas.
Sejak pernikahan ibunya, Leon tidak perlu takut kekurangan sesuatu apapun, seluruh kebutuhannya selalu dipenuhi. Ia selalu mendapatkan yang terbaik. Mulai dari pakaian, makanan, gadget, sampai pendidikan ia selalu mendapat kualitas nomor satu. Namun dibalik apa yang diterimanya, ia memendam rasa bersalah pada dirinya yang lain. Pertanyaan yang selalu muncul di benak Leon 'Apa dia baik-baik saja?'. Di saat ia memakan daging berkualitas nomor satu dengan harga yang mungkin bisa membeli satu rumah di Indonesia, ia selalu berpikir 'Dia lagi makan apa sekarang?'.
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu kerap menghantuinya.
Namun, lambat laun pertanyaan itu perlahan menghilang, karena banyak hal yang harus ia kerjakan. Ayah tirinya memasang standar yang tinggi untuknya karena ia ingin Leon yang nanti menjadi penerusnya. Leon menerimanya karena ini adalah harga yang harus ia bayarkan dari semua kemewahan yang ia terima. Ia harus menjadi seorang putra yang membanggakan bagi ayah tirinya.
Tiba-tiba Leon menghentikan mobilnya. Ia kemudian keluar dari mobilnya dan memilih untuk berjalan kaki. Sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku mantelnya yang tebal, Leon menyusuri sungai Hudson pada dini hari. Ia menghampiri pagar pembatas dan bersandar sambil menatap air sungai yang hitam berkilau akibat cahaya lampu di sekitarnya.
Leon tertawa pelan. "So, this is lonely."
Ia berdiri diam dan memandangi aliran air yang mengalir dibawahnya. "I miss you now. My other half. Hope we can see each other again, soon."
Belakangan ini ia merasakan ada sebuah ruang hampa di dalam hatinya yang bahkan tidak bisa diisi oleh siapapun.
-----
Aslan tertawa-tawa mendengarkan ocehan Juleha bersama dengan dua kawan cabe-cabeannya yang mengaku sebagai penggemar beratnya.
"Abang kapan tanding lagi?" tanya Juleha. "Ngga sabar tau, Bang. Mau liat Abang tanding lagi."
"Barusan bukannya lu abis liat gue tanding sama Ucok," jawab Aslan.
"Beda auranya, Bang. Kalo pas tanding di tempatnya Bang Ole, Abang keliatan lebih gahar gitu. Lebih macho." Juleha membuat gerakan untuk memamerkan otot yang ada di tangannya.
"Lu keluar malem-malem emang ngga dicariin Emak lu?"
Juleha mengibaskan tangannya. "Emak, sih, jam segitu udah molor. Abis dia molor, gue bisa langsung ngacir sama dua cabe ini." Ia melirik pada dua sobat cabenya sambil memainkan alisnya.
"Eh, lu juga cabe ya," sahut temannya yang tidak terima disebut cabe oleh Juleha.
Aslan berdecak pelan. "Besok malem gue ada di tempatnya Bang Ole."
"Wih, mantap." Juleha melakukan tos dengan kedua temannya.
"Jangan pada ikut taruhan lu," ujar Aslan.
"Kaga, Bang. Gue sih beneran cuma nonton sama teriak-teriak doang," sahut Juleha cepat.
"Awas, lu. Kalo sampe gue liat lu pasang taruhan, gue laporin ke Emak lu." Aslan memperingatkan Juleha.
Juleha mengangguk kepalanya. Ia tiba-tiba menoleh pada pada dua sobatnya. "Masih mau disini apa gimana?"
"Jajan, yuk. Tiba-tiba pengen cilok," sahut salah satu rekan Juleha.
"Cilok yang pedes, ya," timpal Juleha.
Kedua sobatnya mengangguk.
"Ya udah, ayo." Juleha bangkit berdiri dan membersihkan bagian belakang celana jeans pendeknya. Kedua rekannya ikut berdiri. Juleha kemudian menoleh pada Aslan yang masih duduk di lantai. "Kita caw dulu, Bang."
Aslan mengangguk. "Hati-hati lu, jangan sampe ketemu Polisi."
"Ketemu Polisi tinggal dikedipin aja, Bang," canda Juleha sembari mengedipkan matanya pada Aslan. "Yuk, Bang. Jangan lupa dimakan makanannya." Ia pun akhirnya melambaikan tangan sambil berjalan ke arah pintu sasana tempat Aslan berlatih.
Aslan balas melambaikan tangan sambil tersenyum. Bang John masuk berbarengan dengan Juleha dan dua sobatnya yang keluar dari dalam sasana.
"Ngapain itu cabe pada kesini lagi?" tanya Bang John seraya menghampiri Aslan.
"Nih, dibawain makanan lagi." Aslan menunjuk pada rantang bersusun empat yang dibawakan Juleha.
"Ada apa lagi kali ini?" Bang John kembali bertanya.
Aslan mengangkat bahunya. "Yang penting gratis," ujarnya. Ia sudah tidak sabar untuk membuka rantang kiriman Juleha.
Bang John duduk di depan Aslan yang sedang membuka rantang kiriman dari Juleha. Seketika aroma sambal goreng kentang dan gurihnya opor ayam menguar di udara. Keduanya langsung bergumam senang. Dan detik berikutnya mereka sudah menikmati makanan yang ada di dalam rantang tersebut.
-----
"Beruntungnya jadi Juleha, tiap hari bisa makan masakan emaknya. Mana emaknya jago masak," ujar Aslan sembari merapikan bekas makannya.
Bang John langsung menoleh pada Aslan.
"Kenapa, Bang?" tanya Aslan yang menyadari tatapan tidak biasa dari Bang John.
Bang John menggeleng. "Iya emaknya Juleha jago masak. Masakannya enak semua, tapi anaknya lebih suka makan cilok pinggir jalan."
Aslan tertawa pelan mendengar ucapan Bang John. "Kadang gue iri sama orang-orang yang masih bisa ngerasain masakan ibunya."
"Termasuk Juleha?"
Aslan mengangguk. "Gua hampir lupa gimana rasa masakan Nyokap gue."
Bang John menyadari ada nada getir dalam ucapan Aslan.
"Omongan gue ngga usah dipikirin gitu, Bang," sela Aslan sambil tertawa pelan. "Daripada mikirin omongan gue mending latihan lagi, Bang. Besok gue harus menang," lanjutnya sambil mengerling pada Bang John.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..
Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^