Daniar mengikuti Dinda kemanapun dia pergi. Berjalan-jalan keliling kediaman. Menikmati udara sore yang berangin.
Dinda menghentikan langkahnya tepat di depan paviliun Dona.
"Kenapa ada banyak penjaga di sana?" tunjuk Dinda.
"Kamu nggak tau?"
"Tau apa sih? Aku ketinggalan gosip lagi ya?"
Daniar menghela nafasnya, kemudian menepuk pundak Dinda.
"Wajar saja sih kalau tidak tau, kamu kan sibuk ekhem-ekhem sama tuan Arjun."
"Darimana kamu tau? Kamu dengar?"
"Biasa saja kali nyonya. Ya ngapain coba, kalian berdua lama banget di kamar. Terus keluar-keluar dengan baju yang berbeda. Rambut yang belum kering sempurna. Dan.." Daniar mengendus-endus bau tubuh Dinda.
"Ini bau sabun tuan Arjun kan. Yang artinya kamu sudah mandi di sana."
"Hehehehe tutup mulutmu itu. Takut ada yang dengar."
"Ya biarin saja mereka dengar."
Pletakkkk... Dinda menjitak kepala Daniar.
"Aww...." Daniar memekik.
"Jangan sembrono kau."
"Iya ampun. Sakit tau." Daniar mengusap-usap kepala bekas jitakan Dinda.
"Kamu belum jawab Daniar. Apa ada yang sudah terjadi dan aku tidak tau apa itu?" tanya Dinda.
"Ya, kabarnya tuan sudah menghukum nyonya Dona."
"Hah di hukum? Di hukum apa?"
"Ya kaya kamu sih katanya. Dua kali lipat lebih parah."
"Benarkah? Hahahaha."
Daniar segera membekap mulut Dinda karena menimbulkan perhatian.
"Kecilkanlah suaramu itu. Lihat mereka menatap kita."
Dinda menoleh ke arah para pengawal dan pelayan Dona yang memang tengah menatapnya.
"Apa kalian lihat-lihat tidak ada topeng monyet di sini." tegur Dinda.
"Ayo kita pergi saja dari sini."
"Eh eh tapi.."
Daniar menarik lengan Dinda. Tentu dia tidak ingin membiarkan nyonya kecilnya itu membuatnya membuat kerusuhan di tempat Dona.
"Kenapa sih?" Dinda meronta melepaskan jeratan Daniar.
"Sebaiknya kamu tidak berada di dekat sana. Nyonya besar kabarnya akan datang."
"Lalu apa hubungannya denganku."
"Gini ya cantik. Asalkan kamu tau, nyonya besar itu katanya sangat menyayangi nyonya Dona. Sejak dulu mereka saling menyayangi. Dari desas-desus yang ku dengar, nyonya besarlah yang memaksa tuan Arjun menikahinya."
"Oh begitu ya.... Pantas saja waktu itu Arjun bilang terpaksa."
"Ya jadi kita kembali saja ya."
"Tapi hukumannya Dona tidak ada kaitannya denganku kan Daniar."
"Duh.. Bukan itu masalahnya Dinda."
"Lalu apa?"
"Masalahnya pasti nyonya besar kemari datang bersama tuan David."
"Lah kok.... Lalu apa hubungannya denganku."
Daniar menepuk jidatnya kemudian mengelus dadanya "Ya allah sabarkanlah hambamu ini."
"Kenapa sih aneh kamu." Dinda kesal.
"Gini ya nyonya. Apa kamu lupa jika tuan David itu CINTA sama kamu? Apa kamu mau melihat tuan Arjun murka lagi karena kedekatanmu dengannya."
"Iya sih. Kamu benar. Aku harus mengunci diriku di kamar. David berbahaya. Jika dia mencariku, huru-hara besar akan terjadi ayo kita pulang."
Kali ini Dinda menarik lengan Daniar. Berjalan dengan cepat sebelum terlambat.
----
"Bagaimana dia?" tanya tuan Arjun pada Rendi.
"Nyonya Dona sepertinya mendapat luka yang cukup serius. Di tambah sakit bawaannya. Itu membuat kondisinya semakin serius."
"Kalau begitu perintahkan dokter untuk bekerja lebih keras lagi."
"Baik tuan."
"Aku tentu tidak ingin membiarkanmu mati Dona. Kamu yang licik dan pintar harus ku manfaatkan. Aku ingin meminjam tanganmu untuk menghancurkan pamanku." kata tuan Arjun di dalam hati.
"Tuan...."
"Ya ada apa?"
"Kenapa tuan diam. Apa karena nyonya besar?" tanya Rendi.
"Tidak, jika ibuku ingin datang ya sudah biarkan saja."
"Lalu jika beliau bertanya tentang nyonya Dona bagaimana tanggapan tuan?"
"Walaupun dia ibuku sangat menyayanginya. Dengan alasan yang ku miliki beliau juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ibuku itu tau betul watak Dona. Mengenalnya hampir satu dekade yang lalu, ibuku hanya khawatir karena ibu Dona adalah sahabat baiknya ibuku."
Rendi mengangguk mengerti. Sepertinya kekhawatirannya adalah hal yang tidak perlu lagi.
"Oh ya Rendi, bagaimana perkembangan papa mertuaku?" tanya tuan Arjun.
"Itu hal yang bagus tuan. Pak Ferdi menunjukkan jika dia ingin pulih. Kondisinya semakin hari semakin stabil. Walau belum sadar, tapi dokter Raihan optimistis. Pak Ferdi akan sadar dalam beberapa hari lagi.
"Bagus. Dinda pasti akan senang mendengar berita ini. Em ngomong-ngomong soal Dinda, apakah dia sudah pergi dari paviliun ku?"
"Ya tuan. Nyonya sudah pergi setelah mandi."
Tuan Arjun Saputra terkekeh hingga membuat Rendi bingung.
"Kenapa tuan tertawa sendiri?"
"Tidak apa. Nanti juga kalau kamu sudah menikah, kamu akan mengerti."
Rendi hanya mengerutkan keningnya ketika melihat tingkah aneh tuan Arjun Saputra yang tidak seperti biasanya. Jika itu menyangkut Dinda, Rendi merasa tuan Arjun Saputra sedikit gila karena cintanya itu.
----
"Cepatlah, kamu tau kan ibu sangat khawatir."
Walau masih begitu pagi, namun nyonya Clarissa sudah sampai di kediaman putra sulungnya. Melangkah dengan tergesa-gesa karena khawatir dengan kondisi Dona yang di kabarkan kritis.
"Buka pintunya." perintah nyonya Clarissa.
"Maaf nyonya besar. Tanpa seizin tuan Arjun, kami tidak di perbolehkan membiarkan seorangpun untuk masuk ke dalam." kata salah seorang pengawal.
"Cepat buka!!"
"Tapi nyonya."
"Sudah buka saja, kamu ingin membuat ibuku yang cantik ini marah hah..?" David menyela. Mengancam pengawal yang keras kepala itu.
Sesuai dugaan semua orang. David akan datang bersama nyonya Clarissa ke kediaman. Semenjak perselisihannya dengan tuan Arjun Saputra, dia sama sekali tidak pernah lagi berkunjung. Jika bukan karena paksaan dari ibunya, sudah tentu dia akan malas datang.
Terpaksa pengawal itu membukakan pintu paviliun Dona. Nyonya Clarissa dan putra keduanya masuk dengan begitu cemas.
"Aiyaaaa Dona putriku." nyonya Clarissa langsung memeluk Dona yang keadaannya masih lemah.
"Ibu." kata Dona lirih.
"Mana yang sakit sayang. Biar ibu lihat."
"Hiks.. Hiks.. Arjun jahat bu pada Dona. Lihatlah, semua ini adalah perbuatannya." walau masih lemah, namun sepertinya tidak ingin melewatkan kesempatan ini untuk mendapatkan dukungan ibu mertuanya.
"Tidak apa sayang. Nanti biar ibu yang akan menghukum berandalan itu."
David hanya terdiam di sudut ruangan. Duduk santai di kursi panjang di dekat jendela.
"Kakakku melakukan itu juga pasti karena kamu yang melakukan kesalahan bukan?" David menyela.
Dona menatap David, tatapan tidak suka itu memang sudah jadi hal biasa. Sebab Dona dan David memang tidak akur sejak dulu.
"Husssstttt kamu ini. Bukannya simpati malah berbicara sembarangan." tegur bu Clarissa.
"Halah kayak nggak tau Dona saja bu. Dia kan memang suka mencari masalah dari dulu."
"David.." bu Clarissa menatap tajam putranya itu. Beliau tentu tidak enak hati dengan Dona yang tengah merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
"Ini gara-gara Dinda bu. Karena dia, Arjun jadi jahat padaku."
"Dinda?"
"Iya, dia adalah istri paling kecil di sini."
"Haha, aku tau betul Dinda itu seperti apa. Dia tidak akan memulai jika tidak ada yang memulainya duluan. Di sini pasti kamu kan yang memprovokasi dia." Lagi-lagi David menyela.
"Kamu keluar dulu saja sana. Ganggu saja taunya." kata bu Clarissa kesal.
"Yang maksa kau datang ke sini siapa? Tadinya kan David memang nggak mau ikut kan?" sindir David.
Buughhhh.... Tuan Arjun Saputra memukul tengkuk David karena kesal dengan sikap tidak sopannya itu.
"Sopan lah pada yang lebih tua David." tegur tuan Arjun.