Bak mendapatkan angin surga, Nike sangat bahagia mendengar keputusan itu. Tanggung jawab yang awalnya berada ditangannya kini kembali lagi ke pemiliknya.
"Saya akan melakukan yang terbaik tuan."
Nike menatap Dona penuh kemenangan. Dia telah membuktikan dirinya lebih unggul di kediaman. Embel-embel cinta pertama yang tersemat pada Dona, tidak sedikitpun membuat Nike takut padanya. Apalagi dengan jelas sekarang tuan Arjun Saputra telah memperlihatkan siapa pemenang di hatinya.
Tentu Dona sedikit cemas dengan posisinya saat ini. Rencana yang ia pikir berhasil ternyata gagal karena ulah Nike.
----
Dona tengah berjalan untuk kembali ke paviliunnya. Berjalan terseok-seok dengan kedua tongkat jalan yang menopang tubuhnya. Ingin menangis tapi malu. Ingin marah tapi entah pada siapa. Yang jelas suasana Dona tengah tidak baik-baik saja sekarang.
"Memang benar ya, orang yang mencuri itu tidak layak. Serangga liar bermimpi menjadi kupu-kupu. Mustahil." kata Nike menyindir di belakang Dona.
"Tentu saja, serangga liar meski secantik apapun tetap saja serangga liar. Rasa iri di hatinya justru membuatnya jatuh dan mati." Bella menimpali.
Dona menghentikan langkahnya karena kesal dengan omongan mereka berdua di belakangnya. Berbalik menatap tajam Nike dan Bella yang juga berhenti.
"Apakah kalian senang sekarang?" tanya Dona kesal.
"Kami? Tentu saja." jawab Bella.
"Kalau begitu apa bedanya aku dan kalian? Sama-sama tidak bisa menyaingi Dinda kan?"
"Dona sayang, dengarkan mbak Nike ya? Untuk urusan cinta, sebenarnya aku tidak begitu mengharapkannya. Tapi untuk kekuasaan, tentu aku akan merebutnya kembali darimu." kata Nike dengan senyum sinis nya.
"Kalian hanya bisa berlindung di bawah ketiak Dinda. Tanpa Dinda kalian tidak berani bersaing denganku."
"Siapa bilang? Kami hanya malas bersaing dengan orang yang bahkan levelnya lebih rendah di banding kami." pungkas Nike kemudian beranjak pergi meninggalkan Dona yang masih sangat kesal itu.
-----
"Aaaarghh Daniar cepat, ini rasanya gatal sekali." Dinda berteriak.
"Iya tunggu sebentar, tahan dulu ini akan ku olesi salep untuk meredakan gatalmu."
Gegas Daniar segera mengoleskan salep di bagian tubuh Dinda yang gatal. Daniar yang sedari tadi menemaninya saja sampai tidak tega dengan ketidak berdayaan nyonya kecilnya itu.
"Apa sebaiknya kita ke dokter saja."
"Dokter apa?"
"Dokter kulit Dinda."
"Aaaarghh anj* awas saja kamu Dona, aku akan membalasmu lebih dari ini."
Tuan Arjun datang dengan membawa sup hangat untuk Dinda yang masih berbaring dan terus menggaruk-garuk tubuhnya itu.
"Makanlah ini dulu sayang. Agar perutmu terisi."
"Bagaimana aku berani makan itu? Aku takut itu di campur udang oleh koki. Seluruh tubuhku terasa sangat gatal sekarang. Mungkin begini ya rasanya jika mau mati." gumam Dinda.
"Jangan ngelantur begitu ngomongnya. Aku tidak suka Dinda sayang."
"Heu heu heu heu, aku baru kembali. Kenapa mereka sudah jahat padaku."
Tuan Arjun Saputra menggenggam tangan Dinda untuk menghiburnya "Jangan menangis sayang, aku janji kalau kamu sembuh akan membawamu jalan-jalan keluar."
Dinda yang tadinya berbaring langsung duduk karena terkejut mendengar penawaran suaminya itu.
"Benarkah? Janji?" Dinda antusias.
"Ya. Kalau kamu sembuh."
"Baiklah, kalau begitu kemarikan supnya."
"Dinda sangat antusias ketika di beri janji manis oleh tuan Arjun Saputra. Dalam sekejap saja, semangkuk sup hangat itu sudah berpindah tempat ke perutnya.
"Aaaarghh awas kau Dinda, aku akan membalasmu nanti."
Dona mengobrak-abrik seisi meja riasnya. Dia begitu kalap meluapkan semua amarahnya pada barang-barang pribadi miliknya.
Nafasnya memburu, dadanya terasa sesak. Dona yang belum sepenuhnya pulih itu merasakan gejala jika penyakit lamanya kambuh.
"Denok.. Denok!!" teriak Dona.
Gegas Denok yang sedari tadi tidak berani masuk segera berlari ke arah Dona yang kini tampak pucat dengan keringat yang mengucur deras.
"Nyonya kenapa? Kenapa pucat sekali? Jangan-jangan penyakit nyonya kambuh."
Denok segera memapah Dona. Membantunya berbaring di tempat tidur, lalu memberinya obat rutin yang harus Dona konsumsi setiap hari.
"Apakah nyonya mau Denok panggilkan dokter?" tanya Denok.
"Tidak perlu, nanti juga baikan. Aku hanya kelelahan saja."
"Nyonya yakin?"
"Ya, kamu boleh pergi sekarang. Ingat, kali ini aku tidak ingin di ganggu oleh siapapun."
"Baik nyonya."
Denok segera undur diri dan menutup pintu dengan rapat. Pergi ke dapur untuk membuatkan Dona makanan.
"Tuan.." panggil Denok ketika melihat tuan Arjun.
"Ada apa?" tanya tuan Arjun.
"Maaf tuan, saya hanya ingin memberitahu kalau nyonya Dona penyakitnya kambuh."
"Apakah itu parah?"
"Ya tuan, nyonya sampai pucat kesakitan."
"Baik, kalau begitu nanti aku akan mengirimkan dokter ketempatnya." kata tuan Arjun Saputra sedikit acuh.
"Tapi tuan, nyonya sepertinya ingin di temani tuan."
"Aku sedang banyak pekerjaan. Lain kali saja aku akan menemaninya."
"Tapi.."
Belum sempat Denok melanjutkan perkataannya, seorang pengawal dengan cepat membungkam mulutnya.
"Sudahlah jangan memaksa tuan. Urus saja nyonya mu itu sendiri. Mungkin ini karma untuknya sekarang karena melukai nyonya Dinda."
"Kamu berani menyela ku?"
"Memangnya kenapa kalau berani? Kamu ini abdi dalem seperti ku kan? Bukan nyonya di rumah ini. Kenapa kamu nyolot sekali."
Denok tentu kesal mendengar celotehan pengawal itu. Pergi dengan kesal sembari mengoceh mengumpati pengawal itu.
----
Tok.. Tok.. Tok.. Tok..
Dinda memandangi Daniar ketika mendengar pintu kamar yang di ketuk seseorang.
"Apa dia kembali?"
"Sepertinya itu bukan tuan Arjun. Apa aku harus membukanya?" tanya Daniar.
"Jangan dulu, kita perlu menunggu dia memperkenalkan dirinya pada kita. Takut yang ada orang jahat bagaimana?"
Mereka berdua kini sibuk memasang telinga mereka, entah-entah itu orang yang ingin melukai Dinda. Jadi tentu mereka harus waspada bukan?
"Dinda buka pintunya."
"Itu mbak Nurul. Cepat buka pintunya Daniar." perintah Dinda pada Daniar.
Daniar membuka pintu, dan benar adanya. Itu Nurul yang berkunjung ke paviliun Dinda sekarang.
"Mbak?" Dinda memeluk Nurul yang datang khusus untuknya.
"Bagaimana kabarmu? Katanya kamu.." Nurul sepertinya enggan untuk mengungkit kesedihan Nurul.
"Aku tidak apa mbak, sudah ikhlas juga. Mungkin belum rezekinya."
"Syukurlah. Kamu sudah dewasa sekarang." Nurul merapihkan rambut Dinda yang berantakan.
"Mbak sekarang bekerja dimana? Kenapa pakaian mbak Nurul berbeda?"
"Hmmmm, mbak bekerja untuk sebagai abdi dalem ajudan dingin itu."
"Maksudnya Rendi?"
"Ya siapa lagi. Pria tanpa ekspresi itu terus-terusan menyiksaku. Lihat ini, tanganku sampai lecet."
"Dia pasti jahat ya mbak?"
"Aku di suruh melayaninya tanpa henti. Dia seperti bayi besar yang apa-apa harus di layani. Menyebalkan."
"Mana lihat mbak. Ya ampun keterlaluan, tangan cantik ini kenapa jadi begini? Mbak tenang saja, aku akan membalaskan perbuatannya jika aku bertemu dengannya."
"Baiklah, mohon bantuannya ya nyonya."
"Apa sih mbak, emm tapi bukannya Rendi tidak tinggal di kediaman ini ya mbak."
"Ya, dia punya rumah sendiri yang tidak jauh dari kediaman ini."
"Awas nanti cinlok loh. Di lihat-lihat Rendi tampan juga sih."
Pletak.. Nurul memukul kening Dinda gemas.
"Bicara apa kamu ini anak kecil."
"Hehehehe maaf maaf.. Tapi kalau mbak mau sih ya enggak apa-apa sih."
"Dinda!! Kesel deh. Aku pulang sajalah."