"Aku sudah berusaha menyingkirkannya. Aku tidak tahu siapa yang melakukannya.. Memang ada yang kucurigai. Tapi aku tidak ingin berburuk sangka kepada siapapun"
Aryo menunduk. Dan tampak seperti seseorang yang bersalah.
"Apa maksudmu?"
Tiba-tiba dia memelukku.
"Aku pikir.. Aku sudah sering membahayakan hidupmu, Margaret. Maafkan aku. Aku sebagai seorang suami....harusnya melindungimu... Bukan selalu membawamu dalam masalah dan bahaya." ucapnya terputus-putus.
"Aryo?" panggilku saat pelukannya terasa semakin erat. "Apa maksudmu? Bahaya apa? Kenapa?"
Aku menarik tubuhku dari pelukannya.
"Aku mohon, jelaskan padaku. Ada apa?"
Matanya yang bening menatapku ragu-ragu.
Wajah tampannya tampak lelah.
"Margaret.. Kita... Hubungan kita cukup sulit, bukan?"
Aku sudah tahu itu. Dan aku sudah memilihnya. Aku tidak menyesalinya. Bahkan saat aku harus kehilangan Dhayu dan papa, aku masih tetap memilihnya.
"Aryo, aku rasa hal itu bukan sesuatu yang perlu kita bicarakan lagi. Aku memilih jalanku. Aku tidak menyesalinya. Bahkan jika aku harus mengulang lagi kisah ini..." Aku menatap nanar matanya, ".. Aku akan tetap memilihmu."
"Terimakasih, Margaret. Seandainya ada jalan untuk kita bisa bertemu lagi, aku pun akan memilih jalan yang sama."
Kedua tangannya yang hangat menangkup wajahku. Dan kemudian dengan lembut meraup bibirku.
Rasa sedih menguar dari ciumannya. Kutahan air mataku agar tidak menetes. Aku tidak ingin menambah kesedihannya.
"Maafkan aku."
Direngkuhnya kembali tubuhku dalam pelukannya.
Apa yang harus kumaafkan? Situasi kita yang membuat semua menjadi sangat rumit. Apakah ini salahnya? Tentu saja bukan.
Aryo menjelaskan kepadaku tentang teluh yang ditujukan kepadaku. Aryo menduga bahwa semua itu karena hubunganku dengannya. Aryo mencurigai orang-orang tertentu. Bahkan ibunya, salah satu pamannya dan istrinya menjadi orang-orang yang dicurigai telah mengirimkan teluh kepadaku.
"Aku masih ingat, Mashita pernah berkata... Aa.. Itu bukan sesuatu yang pantas. Sudahlah... Mungkin dia hanya emosi saat itu."
Aryo hanya mencurigai, tanpa berani memastikan. Dia sudah berusaha menyingkirkannya dengan semampunya.
Sebelumnya aku tidak pernah mempercayai hal-hal klenik seperti ini. Aku pernah mendengar orang-orang berbicara tentang voodo dan sihir tapi itu bukan duniaku. Aku tumbuh bersama hal-hal yang logis. Tapi mengingat keberadaanku disini pun sudah jauh dari kata logis, maka semua hal bisa saja terjadi.
Aku jadi teringat beberapa waktu lalu aku seperti melihat sesosok makhluk aneh, yang kupikir adalah mimpi. Sosok itu bertubuh pendek dan kekar, cenderung gemuk. Seluruh tubuhnya berwarna hijau, mengingatkanku pada tokoh Hulk. Matanya berwarna merah menatapku marah. Seakan dia akan mengambil sesuatu dariku. Dia berusaha menyentuh perutku, tapi tidak berhasil. Karenanya dia tampak marah. Entah itu apa, atau aku benar-benar mulai berhalusinasi. Yang jelas aku merasa baik-baik saja. Jadi aku tidak perlu menceritakannya kepada Aryo. Aku tidak ingin menambah kegundahannya.
Aku menatapnya sambil tersenyum. Dia pun membalasnya dengan senyuman indahnya.
"Aku dulu sering bertanya-tanya kenapa didekatmu terasa berbeda. Kamu nyata sekaligus tidak nyata. Kamu hidup dan tubuhmu bahkan dapat kurasakan. Tapi aku juga merasakan hawa kematian yang kuat disekitarmu. Seakan kamu adalah sosok.. Ah... Entahlah." ujarnya.
Aku pun berkali-kali berpikir bahwa aku sedang berhalusinasi atau bermimpi. Tapi mimpi ini terlalu panjang. Aku tidak tahu kapan aku terbangun.
Aryo bercerita banyak hal tentang teluh. Dia juga sempat heran bahwa aku tidak terpengaruh dengan hal-hal itu. Bahwa menurutnya seseorang bisa saja sudah mati jika mengalami apa yang kualami.
Tapi hari ini Aryo tampak lega. Ada yang berubah di auraku. Baginya aku sudah tampak lebih baik. Dia juga bertanya-tanya, bagaimana aku mampu mengatasi teluh yang masuk ke tubuhku. Tentu saja aku sama sekali tidak paham hal itu. Hingga akhirnya dia berkesimpulan, mungkin karena sosokku sendiri sudah cukup unik, karenanya teluh tidak terlalu berdampak kepadaku. Tapi dia khawatir dengan nyawa lain yang ada dalam tubuhku.
Hari berikutnya, kami kembali mendatangi Nyi Rompah. Hari ini wanita itu tidak lagi diikat. Rambutnya masih awut-awutan. Dia duduk diatas tikar di ruangan itu. Dengan berat dia berusaha berdiri menyambut kedatangan kami.
Aryo membuka percakapan dengannya dengan bahasa yang tidak kupahami.
"Jika kau masih bicara tentang hal yang tidak masuk akal, aku akan benar-benar membunuhmu!" bentak Aryo tiba-tiba.
Pelayan itu segera menterjemahkan kata-kata Aryo. Sepertinya dia mengatakan hal buruk tentang anak kami.
Wanita itu menyeringai ke arahku. Dia tampak tidak peduli dengan ancaman Aryo.
"Aku mungkin punya jalan untuk kalian berdua." ujarnya kemudian.
Jalan?!
Wajah Aryo tampak berubah, melihat aku tampak senang. Wajahnya penuh kekhawatiran.
Perasaan lega sekaligus putus asa menyelimuti hatiku. Akupun yakin dia juga demikian.
Jika jalan itu berarti aku kembali ke duniaku, bukankah artinya aku harus berpisah dengan Aryo. Dan Aryo juga tahu aku sangat menginginkan hal itu. Tatapannya seakan berkata, 'Jangan tinggalkan aku.'
"Katakan! Bagaimana caranya?" perintahku.
"Ini belum tentu berhasil. Tapi aku ingin mencobanya." sahut Nyi Rompah dengan diakhiri kekehannya yang mengerikan.
Aku merasa merinding berdekatan dengan wanita tua itu. Sudut bibirnya yang sebelumnya terluka karena tamparan Aryo, kini tampak membengkak. Dan itu semakin membuat wajahnya lebih mengerikan. Aku berpikir bahwa jika dia berperan di film horor, mungkin dia tidak membutuhkan make up.
"Tapi salah satu dari kalian harus berkorban." lanjutnya.
"Berkorban seperti apa?" tuntutku
"Mungkin dengan nyawa..."
"Tidak!" potongku. "Aku tidak akan mengorbankan siapapun demi diriku."
Aku menatap marah kepada wanita tua itu saat dia menertawakanku.
"Saat raga itu sudah mencapai waktunya, dan kau masih terjebak disana, kau bisa hancur." katanya.
Ada kengerian muncul di wajah Aryo.
"Katakan apa yang harus kulakukan untuk menyelamatkan dia?!" tanya Aryo dengan nada keras.
Wanita tua itu tertawa semakin keras.
"Bagus... Bagus... Aku sudah lama ingin mencobanya." Dia kembali terkekeh. Dia menghela nafas dengan berat, sebelum berkata, "Dengarkan aku baik-baik."