"Margaret! Apa kau sudah tidur?"
Aku saling berpandangan dengan Aryo. Itu suara Papa
"Kau bersembunyilah!" perintahku dengan suara pelan kepada Aryo.
Aku menahan pintu dengan tubuhku. Dan kemudian membukanya pelahan.
"Papa?" tanyaku sambil mengucek mataku dan berpura-pura menguap. "Ada apa Papa?"
Rambutku benar-benar kusut, seakan aku sudah tertidur lama, padahal itu karena ulah Aryo.
Papa masuk kedalam kamarku dan menyalakan beberapa kandelier yang ada di kamarku.
"Ada apa, Papa?"
Papa memandangiku dengan tatapan aneh.
"Tutuplah pintunya." perintahnya kepadaku.
Aku menurut.
Papa duduk di salah satu kursi didekat jendela yang setengah terbuka. Dan sebelum duduk dia membukanya lebar-lebar.
"Sepertinya kebiasaanmu di Batavia tetap kaubawa hingga disini."
"Aku tidak tahan udara panas di Hindia Timur, Papa." jawabku sekenanya.
"Emm.." Papa mengangguk-angguk.
"Apa Papa ingin minum sesuatu?" tanyaku saat melihatnya mengetuk-ketuk meja tidak sabar.
"Apa kau akan keluar kamar seperti itu?" tanyanya balik.
Aku melihatnya bingung.
"Apa maksud Papa?" tanyaku bingung.
Dia menunjuk ke leherku.
Aku masih belum paham dengan maksudnya.
Dia memejamkan matanya. Mengetuk-ketuk meja lebih keras. Tanda bahwa dia menahan dirinya.
"Kamu lihat di kaca!" perintahnya
Astaga! Aryo sialan! Dia meninggalkan kissmark di leherku. Bisa-bisanya dia lakukan itu. Biasanya akulah yang sering melakukannya ditubuhnya. Aryo sebelumnya tidak pernah melakukannya. Dan dengan warna kulitku, tanda seperti itu akan sangat terlihat jelas.
"Dimana dia?"
Aku menelan ludahku. Menunduk di depan Papa seperti seorang anak kecil yang ketahuan bolos sekolah.
"Dimana dia?!" tanyanya lagi dengan nada menuntut.
Bukan cuma udara yang terasa gerah... Pelipisku berkeringat, membayangkan Daniel mengarahkan ujung senapannya ke Aryo.
Aahh... Aku tidak mau membayangkannya.
Tapi aku juga tidak tahu dimana Aryo berada, apakah masih di kamar ini ataukah sudah pergi.
Dia begitu cepat datang dan pergi seperti hantu.
"Aku..."
Kenapa aku gugup sekali
"Ik weet het niet" jawabku kemudian. (*aku tidak tahu)
"Sampai kapan kau akan terus seperti ini? Papa sungguh mengkhawatirkan keselamatanmu." katanya dengan nada suram
"Ja Papa. Ik weet." sahutku dengan perasaan bersalah.
Papa kelihatan semakin tua. Bahkan tampak lebih tua daripada usianya.
Aku sendiri tidak terlalu mengenal Papaku sendiri. Tapi pria ini benar-benar seorang yang Papa yang menyayangi anaknya dan ingin yang terbaik untuk anaknya.
"Daniel sudah begitu baik kepadamu."
Dia menghela nafas saat aku bersimpuh dikakinya. Menaruh kepalaku dipangkuannya.
"Papa, perasaan tidak bisa dipaksakan." Aku berhenti sejenak melihat reaksinya.
Papa membelai rambutku dengan lembut.
"Papa sangat mencintai ibumu. Dia juga seorang wanita yang sangat cantik dari Leiden... Sepertimu... Harusnya kau bisa hidup dengan nyaman di Holland."
Papa menangkupkan tangannya di kepalaku.
"Aku tak seharusnya menurutimu saat kau meminta untuk menyusulku kemari."
Kepalanya ditengadahkan menahan tangisnya yang hampir pecah.
"Papa..." ucapku lirih
"Aku sudah meminta Natalia untuk datang kemari." katanya kemudian
Siapa itu, batinku?
Sial! Aku belum pernah mendengar Papa menyebutnya selama ini.
"Iya, Papa..." sahutku.
"Kau dulu sangat dekat dengan Natalia. Semoga kau senang dia akan datang kemari."
Dia menghela nafas sebelum kemudian berteriak nyaring.
"Keluarlah! Aku tahu kau masih disini!" seru Papa.
Aryo melompat dengan sigap dari balik jendela.
"Goedenavond heer." sapa Aryo dengan penuh hormat.
"Duduklah!" perintah Papa sambil menunjuk sebuah kursi disebelahnya.
"Bedankt meneer.." ucapnya sambil duduk.
"Apa kau tahu seberapa bahayanya perbuatanmu bagi Margaret." hardiknya kepada Aryo.
"Ik kende mijnheer. Saya hanya tidak mampu berpisah dari Margaret. Dan saya rasa begitu juga dengan Margaret."
Aryo memandang kearahku.
"Apa kau benar-benar serius dengan ucapanmu?"
Komen dan review benar-benar menyemangati saya untuk terus menulis. Thanks readers.