"Aku mau..."
Apa yang kupikir kan? Apa aku sudah gila?
Tapi aku harus mengulurnya. Aku harus memikirkan cara untuk kabur.
"... Tapi tolong beri aku waktu." kataku pelan. "Aku butuh waktu untuk melupakan Aryo dan menerimamu."
Apakah benar tindakanku?
"Berapa lama?" sentaknya. "Aku sudah cukup bersabar denganmu. Aku tidak ingin diperdaya olehmu lagi!" geramnya di telingaku. "Kalian keluar!" perintahnya kepada kedua pria itu.
Kedua laki-laki itu segera menyingkir dari tubuh Dhayu. Setelah membenahi pakaian mereka sendiri, mereka melangkah keluar dengan ragu-ragu.
Aku benar-benar muak dengan apa yang sudah mereka lakukan pada Dhayu.
'Aku mengingatnya.' ucapku dalam hati. Aku mulai ketakutan saat kulihat Dhayu sama sekali tidak bergerak.
'Apakah Dhayu sudah mati?'
Kedua pria itu sekali lagi melihat dengan ragu-ragu pada tubuh Dhayu yang tergeletak begitu saja di lantai. Bajunya sudah tidak beraturan. Kakinya masih terbuka.
"Daniel lepaskan aku." ucapku kepadanya. "Aku mohon. Aku harus menolong Dhayu."
Daniel melonggarkan cengkeramannya di lenganku. Aku segera menghambur kearah tubuh Dhayu tergeletak.
"Dhayu..." panggilku.
Matanya terbuka. Dadanya bergerak naik-turun, menandakan bahwa dia masih hidup. Tatapannya kosong. Dan dia tidak bergerak sama sekali.
Aku menangis melihatnya.
Aku tutupi tubuhnya yang hampir terbuka seluruhnya dengan kain selimut yang kutarik dari atas ranjang.
Daniel hanya memandangiku.
Aku berusaha mengangkat tubuh Dhayu.
Saat hendak kuangkat, dia menolaknya. Disingkirkannya tanganku yang hendak mengangkatnya.
"Dhayu?"
Dia singkirkan tanganku yang mencoba untuk menyentuhnya.
Aku menangis untuknya. Aku tahu dia sangat terluka. Dan aku sekali lagi menyebabkan dia terluka. Dia pasti sangat membenciku.
Dengan susah payah dia mulai berdiri. Dia berjalan tertatih-tatih. Dia terus menolak bantuanku.
Aku terduduk di lantai. Aku benar-benar merasa begitu buruk. Rasanya setiap orang yang dekat denganku telah menyingkir.
Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku menangis.
Daniel menarik dan menghempaskan tubuhku keatas ranjang. Aku terkejut dan ketakutan.
"Daniel!" seruku
Daniel tidak menghiraukan teriakanku. Aku berusaha memberontak. Saat sebelah tanganku berhasil lolos, segera kulayangkan tinjuku tepat dimukanya.
Aku cukup terkejut dengan tindakanku. Daniel tampak sangat murka kepadaku. Didorongnya tubuhku hingga kepala ranjang yang terbuat dari besi. Ditariknya pundakku dan dihempaskan lagi dengan sangat keras. Sesuatu yang keras membentur kepalaku. Dan seketika duniaku menjadi gelap.
Udara pagi terasa segar menerpa wajahku. Aku merasa sudah tidur sangat lama. Cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela korden yang terayun lembut diterpa angin pagi mengenai mataku. Aku seperti baru saja mengalami mimpi buruk yang sangat buruk. Aku sangat berharap kali ini aku benar-benar terbangun dari mimpi burukku.
Kali ini bahkan aku memanggil nama Tuhan, sebelum kubuka mataku.
Kelambu putih dari renda halus menutupi kepala ranjang.
Ya Tuhan! Ini benar-benar bukan mimpi.
Kugigit bibirku dan kembali kupejamkan mataku. Kapan aku kembali? Kapan aku terbangun dari mimpi buruk ini?
Kutarik nafas panjang sebelum akhirnya kubuka mataku. Aku melihat kesekelilingku. Situasinya masih sama. Rasa kecewa yang kian menguar dari dadaku, membuatku merasa sesak.
Aku melihat Dhayu duduk terkantuk di sebuah kursi kecil disamping ranjang. Matanya terpejam. Aku mengamati wajah mungilnya.
Kuangkat tanganku untuk menyentuhnya. Tapi kemudian kuurungkan kembali.
Mungkin dia terlalu lelah. Aku tidak tahu berapa lama dia duduk seperti itu menjagaku.
Sekali lagi kuhela nafasku.
Aku harus memikirkan bagaimana bisa lepas dari ini semua. Aku ingin kembali ke duniaku. Aku sudah lelah dengan situasi ini. Aku ingin pulang.
"Noni." panggilnya tiba-tiba.
Aku tersenyum kepadanya. Aku lega dia masih bersedia menemuiku. Aku masih dapat mengingat dengan jelas bagaimana dia telah menderita karenaku. Hanya aku tidak dapat mengingat apa yang terjadi kepadaku.
"Dhayu..."
Aku benar-benar ingin memeluknya. Tubuh mungil itu sudah sangat menderita karenaku.
"Noni... Noni.."
Tangannya segera sigap membantuku saat aku berusaha untuk bangun.
Tapi aku segera mengurungkannya. Ada rasa sakit luar biasa di kepalaku. Seakan sesuatu telah menghantamku.
Aku mengaduh pelan. Dhayu membantuku kembali rebah.
Kita kembali terdiam untuk beberapa waktu. Dhayu hanya memandangiku. Sebelum akhirnya dia membuka mulutnya.
"Noni, Raden..." kata-katanya menggantung di udara.
Hanya satu kata yang kukenal setelah sebutan 'Raden'. Aryo, ya.. Aryo.
"Lanjutkan!" perintahku.
Seketika rasa sakitku menguap hilang. Dadaku terasa lebih sesak.
Perasaan merindu meluap di dadaku. Kutekan dadaku dengan telapak tanganku, seakan dadaku tidak akan sanggup menahan luapan rasa itu.
Aku tak pernah merasakan rasa ini dengan pria manapun dalam hidupku. Semua pacar-pacarku saat sekolah maupun saat aku kuliah, lalu begitu saja.
"Dia menitipkan ini.."
Dhayu menyerahkan sebentuk kertas yang terlipat.
Surat? Apa betul itu surat dari Aryo?
Tanganku gemetar menerima kertas itu. Aku seakan itu adalah jabat tangannya yang akan merengkuhku.
Itu hanyalah sepucuk surat. Tapi cukup mampu mengobati rinduku kepadanya.
Aku tidak peduli bagaimana cara dia menyusupkannya. Tapi yang jelas ada orangnya didalam rumah ini.
Aku membukanya. Ada tulisan Jawa pada kepala suratnya. Aku pernah mempelajarinya. Tapi aku belum terlalu menguasainya.
Kueja pelan-pelan huruf Jawa pada kepala surat itu.
'Ingkang dados gegayuhaning ati.'
Air mataku menetes.
Kata-katanya sederhana tapi aku mampu merasakan apa yang dia rasakan. Dia sakit sebagaimana aku juga merindunya.
Berikutnya dia menulisnya dalam bahasaku.
'Istriku tercinta..'
Tulisan itu mulai buram, karena mataku tertutup air mata. Aku menangis sejadi-jadinya bahkan sebelum kubaca seluruh suratnya.
'Maafkan aku yang tak mampu melindungimu. Aku harus memikirkan bangsaku, rakyatku dan negeriku. Jika aku bersikeras, maka perpecahan tidak akan terhindarkan. Aku tidak pernah mengharapkan segala titel yang saat ini harus kusandang. Tapi aku juga tidak dapat melepasnya begitu saja. Maafkan aku yang tidak dapat egois untuk berkeras menyelamatkanmu. Tapi aku tidak akan menyerah.
Istriku, wanita terindah yang akan selalu menjadi ratu dalam hatiku, aku mohon terus kuatkan dirimu. Percayalah, bahwa suatu hari aku akan datang dan membawamu pergi.
Aku tidak mengharapkan apapun. Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku masih akan terus berjuang untukmu.'
Aryo akan menjemputku. Aku yakin dia akan datang untukku.
Kupeluk Dhayu dengan bahagia dalam tangisanku.
Dhayu menepuk punggungku.
"Noni..."
Aku melepaskannya dan segera menghapus air mataku.
Aku akan membalas surat ini. Tapi bagaimana surat ini bisa sampai sini? Lalu bagaimana aku bisa membalasnya?
"Katakan kepadaku, bagaimana surat ini bisa masuk!"
"Kemarin lalu, sebelum dua jahanam itu mengambilku dari kamarku, seorang abdi mendatangiku. Aku tidak mengenalnya. Dia hanya berkata bahwa jika Noni ingin membalasnya. Aku bisa menaruhnya didalam botol susu kosong." katanya "Untunglah aku tidak menaruh surat ini di tubuhku waktu itu."
Aku menjadi begitu bersemangat. Aku akan menulisnya.
"Dhayu, dimana Daniel?" tanyaku kepadanya. "Apakah dia sudah pergi ke kantor dagang?"
"Noni bahkan sudah dua hari tidak sadarkan diri." Dhayu menjelaskan.
Aku terkejut. Selama itukah aku tidak sadarkan diri?
"Noni, dokter sudah memberitahu Tuan Daniel, bahwa Noni hamil."
Astaga! Bagaimana reaksi Daniel? Apa dia berencana membunuh anak ini?
"Lalu?" tanyaku berusaha tenang.
Tanganku menjadi dingin.
"Tuan Daniel hanya diam saja."
Dhayu menunggu reaksiku.
"Noni yakin soal anak ini?" tanyanya kemudian.
"Apa maksudmu?" tanyaku bingung, sekaligus kesal "Apa kau pikir aku tidak sungguh-sungguh mempertahankan anak ini?"
Kupikir Dhayu akan selalu mendukungku. Tapi kenapa kali ini dia justru mempertanyakan kesungguhanku soal anak ini.
"Noni..."
"Aku akan tetap mempertahannya, walaupun Daniel mengancamku."
Dhayu hanya terdiam melihatku. Aku tidak taahu apa yang dipikirkannya, tetapi aku melihat ada kegetiran diwajahnya..
Dua hari setelah aku terbangun. Aku tidak melihat Daniel. Aku bersyukur jika dia tidak kembali selamanya. Walaupun aku menyandang status sebagai Mevrouw di rumah ini, tetapi aku lebih mirip seorang tahanan ketimbang seorang nyonya. Dua orang prajurit, bukan untuk mengawalku, tapi cenderung untuk mengawasiku dan membatasi gerakku. Setiap yang kulakukan dilaporkan pada tuannya.
Kuelus perutku yang mulai sedikit menggembung. Ada sesosok makhluk yang menjadi lambang sebuah cinta.
Hari ini aku berhasil mendapatkan kesempatan untuk menulis sebuah surat untuk kekasihku.
Kekasihku.. Yang tetap menjadi terkasih
Aku akan tetap menanti. Kunanti hingga waktuku tiba.
Kan ada kejutan istimewa untukmu, yang akan membuatmu tersenyum bahagia. Tunggulah sampai kita kembali bersama.
Aku berharap surat itu dapat menjadi penyemangat untuknya. Aku tidak ingin menceritakan keburukan yang kualami. Aku tidak ingin Aryo mengkhawatirkanku.
Kututup mataku dengan rasa lega.
Aku membayangkan lengan itu merengkuh tubuhku, membalut hatiku dengan bahagia. Bibirnya yang indah selalu membuatku haus. Matanya yang hitam, dalam dan tajam seakan mampu menembus hatiku membawa jiwaku melayang. Aku belum pernah merasakan indahnya rasa sebagaimana rasaku kepada Aryo. Aku meradang merindunya.
Aku tahu diapun merasakan rasa yang sama. Karena dia dan aku telah menyatu.
"Apa yang kau lakukan disini?!"
Suara itu menyentakkanku. Dia membuatku terkejut.
"Kau?"