Wajah Dhayu malam itu tampak lebih pucat.
"Apakah kamu sakit?" tanyaku padanya.
"Tidak." jawabnya.
Aku terkejut dengan cara menjawabku. Dia membentakku. Tidak pernah sebelumnya Dhayu berkata seperti seperti itu kepadaku.
"Dhayu?" ucapku lirih.
Ada rasa kecewa dan sakit menyeruak dihatiku. Aku pasti sudah sangat menyakitinya. Aku menjebaknya dalam situasi yang sangat merugikannya.
"Dhayu maafkan aku."
Aku memandangnya. Mencari-cari matanya dibawah cahaya lilin yang redup. Dia menghindari tatapanku. Dia memalingkan wajahnya.
"Apakah kau membenciku karena apa yang sudah terjadi kepadamu?"
Aku menunggunya menjawabku. Tidak ada jawaban apapun darinya. Dia tetap diam. Dia tutup mulutnya rapat-rapat. Aku menghadapkan tubuh mungil itu tetap menghadapku. Kurengkuh dan kupeluk tubuh kecil itu dengan erat.
"Hanya engkau sahabatku, Dhayu." bisikku ditelinganya. "Hanya kamu temanku...Aku mohon, jangan diam. Makilah aku jika bisa membuatmu lega. Pukul aku jika itu mampu membuatmu puas. Aku tidak bisa melihatmu seperti ini. Dhayu..."
Tubuh mungil itu mulai berguncang pelan. Dia menangis. Dia terisak menahan tangisnya.
"Menangislah, temanku. Menangislah..."
Suara tangisnya mulai pecah. Aku menepuk-nepuk punggungnya.
"Lepaskan semuanya, Dhayu."
Hingga beberapa saat kami berpelukan dalam tangis. Tangisnya mulai berkurang, dan pada akhirnya berhenti.
"Noni.." pangilnya pelan
"Ya.." jawabku.
"Noni, bukanlah noni yang pertama kali datang ke Batavia. Aku tahu itu."
Aku menelan ludahku. Dan pelan-pelan melepaskan pelukannya. Aku melihat wajahnya. Wajah Dhayu tampak datar. Tidak ada emosi apapun disana.
"Apa maksudmu?"
"Sebelum Noni masuk kedalam sungai, Noni tidak seperti Noni saat ini. Dulu Noni sangat menjengkelkan, sekaligus polos, benar-benar seperti seorang gadis kecil. Tapi setelah noni terbangun, sikap noni berubah menjadi sangat dewasa. Noni dulu gadis yang suka bermain-main. Banyak maunya dan sangat manja. Noni suka sekali menyuruhku melakukan hal-hal yang tidak biasa, hingga hari itu noni tercebur kedalam sungai."
Aku memandangi wajahnya. Menunggunya menjelaskan semuanya.
"Noni, saat Den Aryo mengangkat noni dari air, noni sudah berhenti bernafas. Noni sudah terlalu lama didalam air." sambungnya, "Saya masih ingat tubuh noni sudah kaku. Tuan Meniir begitu panik saat itu. Dia tetap mendatangi setiap dokter untuk memeriksa noni. Seorang dokter menyatakan bahwa noni seperti sudah meninggal, tapi dia terlalu takut mengatakannya ke Tuan Meniir. Saat itu dokter kepercayan Tuan Meniir sedang berada diluar Batavia. Hingga Nyai Sinah menawarkan bantuannya. Dia datang bersama seseorang dukun Jawa."
Matanya menerawang seakan sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Saya masih ingat dia seorang wanita renta dengan bahasa yang sulit saya pahami. Dia meminta banyak hal kepada Tuan Meniir. Mulai bunga-bungaan, ayam berwarna hitam dan banyak hal lagi. Awalnya tubuh Noni akan dibawa ke tempatnya. Tapi Tuan Meniir menolak. Tuan memaksanya untuk melakukan itu semua didalam rumah itu. Wanita itu meminta semua orang untuk meninggalkannya." dia menarik nafas panjang. "Nyai sangat khawatir dengan Tuan yang tampak panik. Tuan awalnya menolak untuk meninggalkan Noni bersama wanita dukun itu. Tapi akhirnya setelah Nyai Sinah membujuknya, dia bersedia. Saya berjaga didepan pintu. Hampir menggumam bahwa ada yang salah dengan jiwa Noni. Katanya noni akan hidup kembali dengan memakai jiwa lain." jelasnya lagi. "Noni terbangun sehari setelah dukun itu datang. Karena telah berhasil menyelamatkan Noni, Nyai Sinah menjadi sangat istimewa bagi Tuan Meniir. Meniir membuat kedudukannya seperti seorang istri Belanda, bukan sebagai inlander. Dulu Meniir punya beberapa wanita. Tapi saat ini Nyai Sinah yang mengatur semuanya. Dan menurutku, dukun itu sungguh menakutkan." Dhayu tampak begidik ngeri. "Noni, jadi noni tidak hilang ingatan. Siapakah noni ini?"
Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskannya. Jika dukun itu mampu mengirimku kemari, berarti dia juga mampu mengembalikanku. Aku bimbang apakah aku bisa meninggalkan jasadku saat ini. Margaret van Jurrien telah meninggal. Jika aku meninggalkan jasad ini, maka jasad ini akan mati. Ah, tiba-tiba kepalaku sangat sakit memikirkan itu semua.
"Aku dari dulu selalu penasaran siapa Noni sebenarnya." katanya lagi.
"Aku... Aku tidak tahu bagaimana menjelaskan ya kepadamu."
Aku benar-benar bingung dengan penjelasan Dhayu. Aku sama sekali tidak menyangka ada hal seperti ini. Aku sudah menyeberang waktu. Aku tidak paham. Sungguh tidak dapat memahami ini semua.
Dukun itu! Ya, dukun itu pasti bisa menjelaskan kepadaku.
"Bawa aku menemui dukun itu!" perintahku kepada Dhayu.
"Saya tidak tahu, Noni." ujarnya sambil menggelengkan kepala. "Nyai Sinah yang membawanya ke rumah waktu itu. Mungkin dia mengenalnya."
"Kalau begitu, bawa aku menemui Nyai... Siapapun itu."
"Dia tidak suka berdekatan dengan Noni, menurutnya Noni bukan manusia."
Aku tertegun. Lalu aku apa?
"Ceritakan kepadaku, apa yang terjadi saat itu!"
Dhayu mengedip-kedipkan matanya menatapku penuh keraguan.
"Saya juga tidak paham, Noni. Tugas saya hanya menunggui Noni hingga Noni tersadar."
"Ya. Lalu?" desakku.
"Waktu itu, Dukun itu meminta Tuan untuk mengambilkan sesuatu, milik Noni. Tuan mengambil sebuah buku kecil dari peti yang Noni bawa dari Belanda." ujarnya sambil mengalihkan pandangannya ke arah jendela. "Dukun itu.. em.. saya pikir dukun... semacam memanggil roh..." Tangan Dhayu gemetar.
"Tuan Meniir menunggui diluar kamar hingga Nyai memintanya untuk beristirahat di ruangan lain. Nenek dukun itu tiba-tiba keluar kamar dan mencari Nyai. Tapi karena Nyai tidak ada, maka dia memintaku untuk ikut bersamanya kedalam kamar." Dhayu diam sejenak, "Awalnya saya menolak... Saya takut. Tapi nenek dukun itu tidak memberikan saya kesempatan untuk menolak. Dia menyeret saya masuk begitu saja." Dhayu memeragakan dengan gerakan tangan. "Nenek dukun itu sangat menakutkan. Saya berpikir bahwa waktu itu dia akan mengambil nyawa saya sebagai ganti menghidupkan Noni."
Aku melihat mata Dhayu yang tampak bersemangat menceritakan kejadian hari itu. Aku memandangnya dengan tersenyum.
"Kau bilang ngeri.. Tapi kenapa kamu tampak bersemangat, sekarang?" tanyaku kepadanya.
"Eemmm... Saya pikir itu adalah hal yang menarik. Setelah saya yakin bahwa dia tidak akan menukar nyawaku ataupun mengorbankan Dhayu, Dhayu tidak lagi ketakutan. Nenek dukun itu tiba-tiba panik dan berkata ada yang salah... Dia mengatakan itu berulang-ulang. Lalu dia menepuk-nepuk kepala Noni. Saya kaget dan ingin mencegahnya, tapi dia terus menepuk dahi Noni. Begini.. " Dhayu menggerakkan tangannya kearah dahinya sendiri.
"Lalu?"
"Nyai masuk membawa pesanan nenek dukun itu. Bunga dan wewangian ditaruh diwadah yang terbuat dari kuningan. Nyai tiba-tiba ditarik mendekat oleh nenek itu. Mereka membicarakan sesuatu dengan berbisik. Saya tidak dapat mendengarnya. Wajah Nyai tampak serius sekali. Dan kemudian tampak ketakutan." Dhayu menarik nafas panjang, "Setelah itu.... Ah saya lupa, diatas nampan itu juga ada telur, tiba-tiba telur itu pecah dn mengejutkan kita. Nenek itu menggelengkan kepala dan mengatakan sesuatu kepada Nyai. Lalu dia pergi meninggalkan kita dikamar itu. Nyai segera mengikutinya keluar setelahnya. Saya ditinggal sendiri bersama Noni. Tak lama Nyai masuk lagi dan membawa nampan itu keluar. Dia bahkan seakan takut berdekatan dengan tubuh Noni."
"Kenapa?"
"Entahlah dia hanya menggumam, semoga dia memaafkan kita."
"Apa maksudnya?"
"Entahlah.. Saya tidak tahu. Setelah hampir setengah hari, Noni terbangun. Tuan Meniir sangat senang sekali. Kelihatannya dia memberi hadiah yang banyak sekali kepada Nyai."
"Apa artinya aku terjebak disini?" tanyaku bingung. "Apa aku bisa kembali?"
Ada perasaan kacau dihatiku. Bagaimana aku pergi tanpa Aryo? Lalu bagaimana dengan bayiku? Jika van Jurrien telah meninggal, maka artinya, jika jasad ini aku tinggal maka akan mati. Lalu bagaimana ini? Aku ingin pulang, tapi aku terjebak dalam situasi yang rumit.