webnovel

BAB 16 RUMAH

"Kau?!" ada nada penuh amarah didalam suaranya. Dadanya naik turun menahan emosinya.

Aku tidak mengerti, kesalahan apa yang telah aku lakukan.

"Kau!" tunjuknya pada seorang pemuda bertubuh gempal. "Susul Kanjeng Den Mas, katakan bahwa wanitanya ada disini."

Dia kembali memandangku. Dipicingkan matanya. Mulutnya memberengut. Dia membenciku.

"Kau wanita bodoh!" serunya padaku. "Wanita beradab tidak akan meninggalkan rumah untuk pria lain! Berhari-hari bersama pria lain. Kau benar-benar tidak tahu malu! Kau sudah membuat anakku seperti orang kehilangan akal. Aku menyesal memberikan restuku. Kau.... "

Wanita itu dapat berbahasa Belanda dengan baik. Dia adalah ibu Aryo. Dia membenciku. Kata-katanya begitu menusuk hatiku.

Bagaimana dia bisa berkata seperti itu, sedang dia tidak tahu situasinya. Aku menggigit bibirku untuk menahan tangisku yang akan pecah.

Dia berbalik dan meninggalkanku.

"Mbok, urus dia! Taruh dibelakang kamar Mashitah." perintahnya kepada seorang wanita yang paruh baya didekatnya

"Injih, Ndara*." jawab wanita itu sambil memberikan hormat. (*Iya, Nyonya)

Kamar itu cukup bersih, walaupun sangat kecil, dibanding kamar-kamarku sebelumnya. Kamar itu menghadap ke halaman belakang dan areal persawahan. Aku menyukainya.

Jadi inikah kamarku, sebagai istri Aryo.

Sejenak aku lega. Aku melupakan kata-kata pedas yang dilontarkan ibu mertuaku.

Ya.. ya, aku kini mempunyai mertua. Bagaimana aku harus menghadapinya? Kelihatannya dia tidak menyukaiku.

Aku menunggu Aryo dengan cemas sekaligus bahagia. Aku tidak tahu apakah dia juga tahu kejadian sebenarnya, ataukah dia akan sama seperti ibunya. Aku harus menjelaskannya. Dia harus tahu yang sebenarnya. Aku tidak ingin kita salah paham.

Dan aku sudah sangat merindukannya. Badanku menggigil memikirkannya.

Aku ingin terus menunggunya, tetapi badanku terasa sangat letih. Kepalaku tiba-tiba begitu pening. Akhirnya aku jatuh tertidur.

Aku terbangun saat matahari sudah sangat tinggi. Saat kubuka mataku, kulihat wajah tampan yang selalu kurindukan duduk dihadapanku. Memandangku dengan cemas.

"Aryo.. "

"Syukurlah..."

Sekali lagi kita berbicara secara bersamaan.

Aku tersenyum memandangnya. Hatiku sangat bahagia.

"Syukurlah kau terbangun, hampir saja aku mencari tabib, jika kau tidak kunjung bangun."

Aku menggelengkan kepalaku.

"Aku baik-baik saja, sayang." ujarku dengan air mata berlinang di pipiku. Air mata itu terus berjatuhan tanpa dapat kucegah.

Wajah Aryo berubah panik.

"Ada apa?"

Aku berusaha duduk. Kupeluk tubuh lehernya dan menangis didadanya.

"Aku takut.... Aku takut tidak dapat melihatmu lagi." jawabku sambil tersedu-sedu.

Seumur hidupku, baru kali ini aku merasa begitu cengeng. Aku biasanya bukanlah orang yang sentimentil maupun mudah emosional.

Aryo mengelus punggungku.

"Sudahlah, kau sudah disini bersamaku. Kau tidak perlu lagi khawatir. " katanya, "Aku akan berusaha menjagamu dengan lebih baik."

Dilepaskannya tubuhku. Dia memandangi wajahku dengan tatapan penuh luka. Dan mengusap air mataku.

"Aku tidak mampu melihat air matamu. Tolong jangan lagi menangis. Itu melukaiku." katanya.

Tatapannya begitu lembut.

Wajah kami begitu dekat. Bibir itu sedikit terbuka dan tampak sangat seksi. Sesaat aku melupakan semuanya. Kurengkuh lehernya untuk mendekatkan wajah kami.

Dia segera mendaratkan ciumannya dibibirku. Bukan ciuman ringan. Dilumatnya bibirku. Lidahnya bermain lebih dalam. Tangannya mulai beralih dari punggungku ke dadaku.

Aku menggerang.

Ah sialan! umpatku dalam hati. Kami bahkan belum berbicara dengan benar.

"Tunggu." ujarnya dengan terengah-engah sembari melepaskan bibirku.

Dia berjalan menuju pintu dan menutupnya, lalu kearah jendela. Semua tertutup sekarang.

Apa yang ingin dilakukannya?

Dia dengan cepat melepaskan baju atasku. Aku masih memakai kebaya. Pakaian ini tidak serumit pakaian-pakaian milik gadis van Jurrien.

Aryo dengan mudah melepaskan semuanya. Kain kecil, tebal, semacam selendang, yang dililitkan rapat di pinggangkupun tidak membuatnya kesulitan untuk melepasnya dengan cepat, begitu juga dengan jarik, kain panjang yang melilit pinggang hingga kakiku. Jarik ini membuatku sangat kesulitan untuk berjalan dengan benar.

Aku berdiri polos didepan suamiku.

"Ya Allah, Margaret, kau adalah ciptaan Tuhan yang terindah bagiku."

Jika teman-teman kampusku yang mengatakan hal ini, mungkin aku akan meleparkan sepatu ke mukanya. Karena ini adalah gombalan yang paling gombal.

Tapi ini Aryo yang mengatakannya. Dia tidak sama dengan pria yang lain. Aku yakin dia tidak pernah mengatakan kalimat itu ke wanita manapun. Aku benar-benar tersanjung dibuatnya.

Aku tersipu. Wajahku pasti memerah saat ini. Dia tersenyum. Dengan bibirnya didorongnya aku menuju ranjang. Dia mendorongku dengan lembut. Sentuhannya memberikan sensasi nikmat yang luar biasa.

Berkali-kali kupanggil namanya saat kita bercinta. Kita bercinta dengan segenap rindu kita, rasa yang seakan tak berkesudahan.

Dia tertidur dengan memelukku. Dengkuran halusnya membuatku nyaman. Aku benar-benar mencintai lelaki ini. Kupandangi wajahnya yang terukir indah seakan aku tidak pernah puas. Seakan aku khawatir tidak bisa memandangnya lagi.

Tiba-tiba muncul ketakutan yang luar biasa di dadaku. Aku takut berpisah dengannya.

Bagaimana saat waktuku disini berakhir?

Baru kali ini, aku berkeinginan untuk tidak pernah kembali ke duniaku.

Tidak ada yang lebih kuinginkan selain bersama Aryo.

Kupeluk erat tubuhnya. Tubuh kami seakan menyatu dibawah selimut.

Aryo terbangun karena pelukanku. Aku menyusupkan kepalaku ke dadanya

"Ada apa, Margie?" tanyanya.

Aku tidak menjawabnya, tapi semakin kueratkan pelukanku.

"Aku takut. Aku takut kehilanganmu."

"Sssttt... ssshhh... jangan bicara macam-macam. Tidak satupun dari kita menginginkan hal itu." ujarnya.

Malam itu Aryo membawaku menemui seluruh penghuni rumah itu. Memperkenalkanku kepada mereka. Dua orang istrinya Nastiti dan Mashitah. Mereka gadis muda yang mungkin seumuran dengan gadis van Jurrien ini. Mashitah adalah istri kedua, tapi dia tampak lebih dewasa. Nastiti orang yang cukup ramah dan tipikal orang yang simpel. Mashitah gadis yang cantik dan tidak sederhana. Dia tampak sangat ramah, tapi sesaat kemudian bisa tampak menakutkan.

Aku putuskan, aku tidak ingin terlalu dekat dengannya. Lalu adik-adik Aryo, ada lima orang, tiga diantaranya adalah laki-laki. Diantara mereka, Aryo benar-benar paling tampan diantara saudara-saudaranya. Seorang adik perempuannya sudah menikah dengan putra residen di Jepara.

Dan baru kutahu kemudian, bahwa kelima saudaranya bukanlah dari ibu yang sama. Hanya Aryo putra ibundanya.

Malam itu dia tidak membawaku menemui ibundanya. Kemungkinan dia tahu bahwa ibundanya tidak menyukaiku.

Aryo mengajakku ke sebuah kamar yang luas. Kamar itu tertata dengan baik. Ada pintu dengan dua daun pintu yang mengarah ke taman samping yang sangat indah.

"Mulai sekarang ini kamarmu." katanya sambil menarik tubuhku ke pelukannya.

"Kamar siapa ini?"

"Kamarku... kamar kita." jawabnya sambil tersenyum.

"Apa ini tidak apa-apa?" tanyaku ragu-ragu. "Bagaimana dengan istri-istrimu yang lain?"

"Kenapa dengan mereka?" tanyanya tidak mengerti. Tangannya memainkan rambutku yang terlepas dari sanggul.

"Mereka punya kamar sendiri."

"Apa kau tidak ingin berbagi kamar denganku?" tanyanya, "Kau ingin kembali ke kamar pelayan?"

Tentu saja tidak. Aku senang sekali bisa bersamanya. Aku hanya merasa tidak pantas aku menguasai pria ini sendiri, sedang dia memiliki istri-istri yang lain.

Aku menggeliat dalam pelukannya dan menggelengkan kepalaku dengan manja.

Pandangannya meredup. Mulutnya berdesis.

"Kenapa kau sungguh menggoda? Terbuat dari apa kau sebenarnya, Margaret?"

Sebelum kusadari, dia sudah membimbingku diatas ranjang. Jemarinya sudah menyusup kebawah pakaianku. Sentuhannya membuatku hilang akal.

"Aryo... tunggu... ah.. tuu... "

Bibirnya menjelajah tubuhku.

Aku ingin mengajaknya bicara tentang apa yang terjadi kepadaku. Tapi saat tubuh kami bersentuhan seakan otak kami menjadi tumpul. Tidak ada yang lebih kami inginkan selain memadukan rasa yang menuntut untuk dipuaskan.

"Aryo.. ah... kau gila... aassshh"

Aku bahkan tidak ingat berapa kali kita bercinta hari itu. Mungkin empat kali, mungkin sudah lima kali.

Staminanya kuat sekali. Tidak percuma latihan kanuragan yang selalu dilakukannya. Aku masih ingat bagaimana dia dengan mudah mencapai kamarku, memanjat dinding yang tinggi, bahkan membantuku kabur.

Dia lelakiku. Aku mengaguminya setulus hatiku.

"Apa kau lelah?" tanyanya suatu kali.

Aku menggeleng dalam pelukannya. Sudah hampir dua minggu aku tinggal di rumah itu. Sikap mertuaku masih belum berubah. Aku ingin menjelaskan kejadian sebelumnya, tapi bahkan dia tidak pernah memberiku kesempatan untuk itu. Dia terus meminta Aryo untuk bersikap adil terhadap istri-istrinya yang lain. Dan dia selalu mengatakannya dengan lebih lantang dihadapanku. Seakan aku adalah wanita penggoda yang membuat Aryo kehilangan akal. Seakan itu semau adalah kesalahanku. Aku hanya bisa menggigit bibirku menahan marahku. Apalagi jika dia sudah mulai berbicara tentang etika. Semua yang kulakukan adalah kesalahan. Aku terlalu lambat dalam belajar. Begitulah yang selalu diakatan kepadaku.

Dia bahkan tidak berusaha bersikap baik kepadaku dihadapan Aryo. Ibu mertuaku selalu menampilkan apa yang diinginkannya.

"Kenapa wajahmu semakin pucat?" tanyanya khawatir.

Tentu saja aku lelah! seruku dalam hati. Logikanya, setiap hari kita bercinta, bahkan seringkali lebih dari sekali dalam sehari.

Ya, tentu saja aku lelah.

"Tidak, aku tidak apa-apa." jawabku.

Akhir-akhir ini aku sering merasa pusing. Tapi aku tidak ingin dia khawatir. Aku masih bisa mengatasinya. Mungkin aku hanya butuh tidur saja.

"Kau yakin?" tanyanya.

Aku menganggukkan kepalaku.

"Apakah aku boleh... "

"Tidak." jawabku menyelanya. Aku tahu apa yang diinginkannya.

"Apa kau yakin?" tanyanya lagi dengan penuh harap.

Aku mengangguk.

"Baiklah. Aku hanya akan tidur disampingmu."

Dia meringkuk agak jauh dariku. Aku jadi iba melihatnya.

"Ayolah.. sini, peluk aku. Aku tidak mau kedinginan." kataku kepadanya seraya menarik tangannya.

"Aku disini saja."

Yaa... ranjang itu cukup lebar, mungkin bisa untuk tidur berlima.

"Ayolah... " ajakku

"Aku khawatir khilaf jika bersentuhan denganmu di ranjang."

"Aah... sudahlah. Kalau khilaf, maka lakukan saja." kataku menyerah.

Senyum kemenangan segera muncul diwajahnya. Tentu saja itu membuatku kesal.

Dia selalu punya cara membuatku menyerah.

次の章へ