"Papa!" teriakku.
"Masuklah kedalam!" bentak Papa kepadaku. Dengan keras kepala aku menolaknya. Hingga terakhir dua orang pengawal diminta untuk membawaku pergi.
Aku meronta, tapi kedua orang itu terlalu kuat untukku. Aku hanya bisa menyerah. Aku tidak tahu apa yang terjadi.
Tapi malam itu semua barangku sudah ditata rapi.
"Ada apa ini?" tanyaku kepada Dhayu.
"Meneer mengatakan kepada saya bahwa besok kita kembali ke Batavia."
"Apa?!"
Dengan langkah marah aku menemui Papa.
"Papa!" aku memanggilnya. "Aku akan kembali jika aku ingin kembali!" kataku dengan keras.
"Kau benar-benar anak bandel!" umpatnya, "Aku tidak akan menunggu lebih lama lagi. Kau segera pulang ke Batavia dan menikah!"
"Aku tidak mau!" teriakku.
Orang tua ini benar-benar sudah gila. Bagaimana dia bisa memaksaku menikah dengan orang yang bahkan tidak kusukai.
Tuan de Bollan selalu tampak begitu sopan dan baik. Tapi entah kenapa aku selalu merasa sikapnya tidak pernah tulus. Bagiku dia terlalu bertopeng. Dan itu sangat menakutkan.
Aku terlalu marah untuk mengatakan hal lain. Aku memilih pergi. Orang tua ini benar-benar tidak bisa diajak bicara. Jika aku tidak inginkan, maka tidak ada yang bisa memaksaku.
Aku tidak tahu bagaimana menghubungi Aryo. Andaikan ini dua ratus tahun kemudian.
Aku duduk di kamarku dengan perasaan marah. Dhayu bahkan tidak berani mendekatiku.
"Dhayu aku akan kembali ke Batavia jika sudah saatnya aku kembali. Tapi tidak sekarang."
Dhayu hanya mengangguk.
Aku meminta dia untuk mengeluarkan kembali barang-barangku yang sudah di-packing nya.
Lalu aku melihat buku itu. Buku dengan sampul yang mirip dengan buku yang kutemukan di nakas tua itu. Aku mengambilnya. Buku itu masih baru. Buku milik gadis van Jurrien. Masih baru dua halaman yang terisi. Tulisannya sangat mirip dengan tulisanku. Tanganku menjadi dingin. Tiba-tiba aku merinding. Ada perasaan ngeri melihat buku itu dan isinya. Buku yang kutemukan sangat tua, sehingga beberapa halaman sudah tidak terbaca. Tapi buki ini benar-benar masih baru. Aku terduduk. Aku buka kembali buku itu.
"Dhayu!" panggilku.
"Ya, noni?"
"Ini milik siapa?" tanyaku sambil menunjukkan buku itu.
"Itu milik Noni. Noni membawanya dari negeri Noni."
Kepalaku mendadak terasa pusing. Aku terduduk.
Buku ini membuatku benar-benar yakin bahwa aku adalah Margaret Rutger bukan van Jurrien. Apa kaitannya?
Aku tidak keluar untuk makan malam. Papa mengirim seseorang untuk membawakan makananku. Aku menolaknya dan mengusir pelayan itu. Aku bertindak seperti anak manja yang kemauannya ditolak oleh ayahnya.
Aku tertawa melihat state-ku. Aku tidak pernah sekekanak-kanakan ini. Aku menunduk bermain jari-jariku saat Papa memasuki kamarku. Mempunyai orang tua yang memperhatikan kita, terasa menyenangkan.
"Margaret.. " panggilnya. Tidak ada lagi nada marah. Tidak ada lagi bentakan. "Papa minta maaf sudah begitu keras. Makanlah, aku mohon."
Aku merasa cukup iba dengan pria ini. Jika analisisku benar, bahkan pria ini masih kakek buyutku. Jadi dia bukan orang lain. Aku anaknya ataupun cucu buyutnya tetap saja tidak merubah kenyataan bahwa darah yang mengalir di tubuhku adalah darinya.
Pria ini cukup menyedihkan. Dia jauh dari keluarga dan satu-satunya anak gadisnya entah dimana, karena sekarang akulah yang disini.
Dia membawakan sup di tangannya sambil berjongkok di depanku. Pandangannya suram.
Beruntung sekali gadis van Jurrien ini. Dia memiliki orang-orang yang mencintainya.
Tiba-tiba aku menitikkan air mata. Aku iri dengan keberuntungannya. Sebelum kecelakaan orang tuaku bukanlah seseorang yang selalu merawatku. Mereka mempunyai karir. Mereka pekerja-pekerja yang hebat, tapi tidak pernah menjadi orang tua yang hebat.
Mereka tidak pernah membawakan sup untukku saat aku mogok makan. Bahkan mereka tidak peduli apakah aku sudah makan dengan baik atau belum.
Aku mengambil mangkuk itu dari tangannya. Wajahnya nampak lega. Dia menarik sebuah kursi dan duduk tepat didepanku.
"Makanlah." ujarnya sambil menggosok lenganku untuk menenangkanku. "Kamu sangat kurus. Kamu tidak boleh seperti ini lagi."
Wajahnya penuh kekhawatiran.
Aku tidak menjawabnya. Aku masih menangisi hidupku.
"Papa, aku tidak mencintai Tuan de Bollan." kataku kemudian.
"Kau akan mencintainya, aku yakin." katanya sambil tersenyum.
Aku menggelengkan kepalaku.
"Dia pria yang baik." tambahnya. "Aku akan merasa lega jika aku meninggalkanmu bersamanya."
Aku hanya diam. Merasa dilema. Aku tidak ingin menyakiti pria tua yang sudah memperlakukanku dengan baik. Tapi aku mencintai Aryo... hanya dia. Aku tidak pernah berpikir bahwa aku bisa merasakan perasaan semacam ini dalam hidupku. Hubunganku dengan para pria hanyalah untuk kesenangan, bukan sesuatu yang melekat kuat didalam hati. Bahkan aku mulai khawatir bahwa aku tidak lagi peduli dan berupaya agar aku bisa kembali ke duniaku. Perpisahan dengannya selama beberapa hari sudah membuatku meradang. Bagaimana jika itu selamanya? Sanggupkah aku?
Beberapa hari Papa tidak lagi perlu mengusirku pulang. Tapi dia tetap berupaya memulangkanku ke Batavia.
Tuan de Bollan berusaha untuk terus mendekatiku. Dan hal itu membuatku semakin muak dengannya.
Seperti pagi biasa, aku berlarian di halaman belakang dengan sejumlah orang mengawasiku. Dan selanjutnya aku akan bersembunyi di balik semak untuk beristirahat. Aku tidak suka istirahat dengan banyak mata menatapku. Kusandarkan punggungku di sebuah batang pohon besar.
Mataku terpejam, tapi aku dapat merasakan ada langkah-langkah mendekatiku.
Aku membuka mataku. Dan aku melihatnya. Ada rasa senang yang luar biasa yang memenuhi dadaku. Hingga rasanya aku ingin memangis. Dia masih tampan seperti biasanya. Kulitnya yang kecoklatan membuatnya tampak semakin mempesona. Rambutnya dibiarkan tanpa penutup kepala yang biasa dipakainya. Aura seorang pria yang hanya ada dalam mimpiku.
"Setiap hari, aku melihatmu dari kejauhan." katanya dengan suara tercekat. "Hari ini aku merasa itu sangat berat."
Aku mengerjapkan mataku, masih tidak percaya dengan penglihatanku.
Dia berjongkok didepanku. Tangannya membelai rambutku yang kubiarkan lepas.
"Andai saja kau tidak seindah ini. Andaikan hatiku tidak begitu saja jatuh dan terjerat begitu dalam." kata-katanya terasa suram. Direngkuhnya tubuhku dalam pelukannya.
"Aryo.. " akhirnya aku dapat meloloskan suara dari tenggorokanku. "ik mis je..." suaraku lirih, bahkan hampir-hampir telingaku sendiri tidak dapat mendengarnya.
"Margaret... " suaranya gemetar. "Margaret, aku tidak.... "
"ssttt.... " jariku menutupi bibirnya. Lalu kulumat bibir tipis yang selalu kurindukan itu. Dia terkejut sesaat, tapi kemudian kita hanyut dalam ciuman panjang itu. Kita berhenti saat nafas kita terenggah-enggah.
"Ya Allah... Margaret larilah denganku."