Diva dan teman-temannya, masing-masing memiliki masalah yang beragam. Mereka selalu memiliki cara yang unik untuk menyelesaikan masalah mereka. Dari kisah mereka kita bisa mengambil nilai-nilai kehidupan dan selalu bersyukur bahwa masing-masing manusia diciptakan begitu istimewa.
Yayi menyentuh lukisan buatannya yang masih tergantung di depan perpustakaan. Ada setitik rasa kecewa terselip dalam hatinya, karena namanya tak tertera disudut kanan bawah lukisan itu seperti lukisan orang-orang pada umumnya. Bu Nur guru seninya bilang karena lukisan ini mewakili sekolah jadi tidak usah diberi nama pengarangnya. Yang membuatnya lebih kecewa lagi seharusnya lukisan itu meraih juara I, tapi hanya karena bu Nur kurang tepat menjawab pertanyaan yang diajukan juri tentang makna dari lukisan yang bergambar pohon kering ditengah danau yang indah. Akhirnya lukisan itu hanya meraih juara II. Seharusnya bu Nur mengikuti saran kebanyakan siswa untuk mengajak Yayi saat lomba madding itu berlangsung, karena dari beberapa karya, memang lukisan Yayi yang paling terlihat artistik dan sangat indah.
Awalnya Yayi tak menyangka kalau lukisan itu akan sebegitu popular, meski ia menyadari kalau sebenarnya itu adalah karya terbaiknya. Malah ada kabar burung yang tak sengaja didengarnya kalau bu Nur menempelkan nama Aya sebagai pembuat lukisan itu saat lomba. Aya adalah anak perempuan bu Nur yang juga satu sekolah dengan Yayi.
Duk! seorang gadis berambut keriting, berwajah manis menabrak Yayi, hingga Yayi dan gadis itu sama-sama terjatuh.
"Oh maaf. Aku tak melihatmu." ucap gadis itu. Ternyata ia membawa setumpuk lembaran yang sangat banyak, dan lembaran-lembaran itu kini bertebaran tak karuan.
"Ah, kau pasti kewalahan membawa lembaran-lembaran ini sampai tak memperhatikanku." ucap Yayi sambil membantu gadis itu membereskan lembaran-lembaran itu.
Gadis itu merapikan kertas-kertas yang berserakan. Tiba-tiba ia berhenti dan memperhatikan Yayi dengan seksama. "Hey! aku tahu kau!" gadis itu tersenyum. Wajahnya tampak terkejut. "Kau Yayi yang lagi ngetren akhir-akhir ini kan? yang membuat lukisan ini?" kata gadis itu sambil menunjuk lukisan disebelahnya. "Yang harusnya menang juara satu tapi tidak jadi? Yang katanya orang-orang karyamu dibajak seorang guru dan…" gadis itu tak melanjutkan kata-katanya. Ia melihat wajah Yayi yang cemberut tampak tersinggung. "Maaf, aku tak bermaksud…, tapi aku benar-benar ngefans denganmu. Sudah lama aku ingin berbicara denganmu. Aku mengerti kau pasti kecewa."
"Apa? Mengerti?" tanya Yayi sedikit sinis. "Tak ada yang bisa mengerti perasaanku." Yayi beranjak meninggalkan gadis itu, setelah ia selesai merapikan lembaran-lembaran gadis itu.
"Kau salah." ucap gadis itu tiba-tiba. Entah mengapa Yayi menghentikan langkahnya. Ia merasa harus mendengarkan kata-kata gadis itu.
"Kau tak sendirian. Percayalah Tuhan tahu, dan akan mengganti semua sakit hatimu itu dengan kebahagiaan."
Yayi melengok pada gadis itu. Tatapan gadis itu terlihat sangat serius tapi begitu menyentuh. Entah mengapa Yayi merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan gadis itu, tapi gadis itu malah berbalik lalu berjalan menuju ruang latihan klub drama.
Rasa penasaran Yayi membawanya untuk mengikuti gadis itu. Ia berhenti diambang pintu ruang latihan yang terbuka. Yayi melihat bu Nur sedang melatih klub drama. Yayi merasa muak melihat wajahnya. Ia melihat gadis berambut keriting itu menyerahkan lembaran-lembaran yang dibawanya kepada bu Nur. Yayi mengacuhkan mereka lalu pergi ke ruangan seni untuk membereskan peralatan melukisnya dan pulang.
Di luar ruang seni, Yayi terkejut melihat gadis berambut keriting itu duduk di lantai sambil mengetik dengan laptopnya. Yayi memperhatikan sesuatu yang diketiknya dari belakang. Tampaknya gadis itu tidak menyadari keberadaan Yayi. Yayi membaca tenyata itu adalah sebuah naskah drama. Sepertinya gadis itu telah menyelesaikan sebuah naskah. Pada baris terakhir ia mengetikkan 'Pencipta naskah : Aya'
"HEY!" seru Yayi tanpa sengaja mengejutkan gadis berambut keriting itu dan dirinya sendiri karena suaranya terlalu keras. "Kenapa kau mengetik nama Aya?" tanya Yayi penuh rasa curiga, tapi bagi gadis itu Yayi seperti membentaknya.
"Eh. Kenapa? E…, ini memang naskah Aya. Aku hanya mengetikkan."
Yayi masih memperlihatkan wajah curiganya.
"Jelas-jelas kau tidak membawa kertas contekan atau apapun. Kau mengetiknya tanpa melihat apapun."
Gadis itu tampak bingung.
"Kau disuruh bu Nur membuat naskah dan mengatas namakan Aya?" tanya Yayi penuh curiga. Gadis itu hanya diam dan menunduk ketakutan.
"Jangan katakan ini pada siapapun." ucap gadis keriting itu perlahan.
"Memangnya kau siapa? bisa-bisanya mengaturku!" tanya Yayi dengan wajah dingin. Sebenarnya dalam hati ia benar-benar marah. Darah panas seperti melesat cepat ke kepalanya. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya. Yayi melangkah cepat keruang klub drama. Tiba-tiba Yayi mengambil naskah yang dibawa salah satu anak dan membaca baris akhir. Naskah itu belum selesai. Pada bagian ending drama masih kosong. Tentu saja, karena endingnya sedang diselesaikan gadis berambut keriting tadi.
"Ada yang bisa kubantu?" tanya bu Nur dengan senyum manis yang sama seperti saat ia meminta Yayi untuk melukis.
MEMUAKKAN! Dengan penuh emosi Yayi melempar lembaran naskah yang dipegangnya kearah bu Nur. Dengan cepat bu Nur menangkap naskah itu dan menatap Yayi dengan terkejut.
"Permainan menjijikkan!" ucap Yayi sambil melotot kearah bu Nur. Semua anak diruangan itu juga sangat terkejut. Yayi langsung melangkah meninggalkan ruangan itu.
Keesokan harinya Yayi memasuki gerbang sekolah dengan sorotan mata tajam dari semua siswa. Malah ada yang berbisik-bisik, bisa-bisa dia akan segera dikeluarkan dari sekolah ini. Yayi sangat terkejut mendengar kata-kata itu. Ia melotot ke arah anak itu. Mereka terkejut lalu melengos pura-pura tak melihatnya. Yayi tiba-tiba merasa ketakutan. Tak lama kemudian ia mendengar suara pengumuman sangat keras ditelinganya "SISWI YANG BERNAMA YAYI HARAP MENUJU RUANG KEPALA SEKOLAH."
Dengan menyembunyikan rasa takutnya Yayi langsung menuju ruang kepala sekolah. Disana bapak kepala sekolah telah menunggunya dengan tangan kanannya memegangi kepalanya. Ia sepertinya merasa pusing.
"Silahkan duduk." ucap bapak Kepala Sekolah. Yayi menuruti. "Aku tak tahu apa yang akan dikatakan oleh orang tuamu kalau tahu tentang kejadian di ruang latihan drama kemarin. Kelancangan seperti ini baru pertama kali terjadi di sekolah ini." bapak kepala sekolah menatap yayi dengan perasaan putus asa. Yayi sama sekali tak menunduk. Bahkan bahunya pun masih tegak. Ia seperti sama sekali tak merasa bersalah, walaupun mungkin saja ia akan benar-benar dikeluarkan dari sekolah. "Bapak sudah mendengar tentang prestasimu dibidang seni. Bapak juga menyesalkan tentang kejadian di lomba madding kemarin, tapi tidak seharusnya kau melampiaskan emosimu kepada guru. Segala hal itu sudah dipertimbangkan baik buruknya oleh pihak guru. Sekarang segalanya bapak serahkan pada keputusan bu Nur. Kau harus meminta maaf padanya. Pastikan ia mengatakan pada bapak kalau ia ingin kau tetap berada di sekolah ini. Silahkan meninggalkan ruangan ini." ucap pak Kepala Sekolah.
Ternyata pak kepala sekolah dan mungkin semua orang telah salah sangka. Padahal bukan cuma karena masalah lukisan itu, tapi karena mungkin banyak siswa lain yang juga dicurangi seperti Yayi, termasuk gadis berambut keriting itu.
Yayi meninggalkan ruang kepala sekolah dengan pikiran kacau. Diluar ruangan itu, Luca sahabatnya telah menunggunya diluar pintu masuk. Yayi menatapnya sesaat lalu berpaling.
"Aku tidak butuh bantuanmu!" ucap Yayi pada Luca.
"Heh?! Aku baru dengar dari teman-teman tentang kejadian itu. Aku setuju dengan sikapmu sih. Nenek peyot itu memang pantas dibegitukan. Tapi…"
"Tinggalkan aku sendiri!" ucap Yayi dengan tegas pada Luca.
"Hey! Sejak kapan kau berani mengaturku!?" bentak luca.
"Aku bilang tinggalkan aku sendiri!" Yayi membentak Luca. Aku lagi malas bercanda. Tak akan ada yang mengerti perasaanku! Ucap Yayi dalam hati.
"Cih! Terserah kau!" ucap Luca lalu pergi meninggalkan Yayi.
Yayi berlari menuju ruang kesenian. Disana telah ada seseorang yang menunggunya. Gadis berambut keriting. Ia langsung berdiri menyambut kedatangan Yayi sambil terseyum.
"Ada apa?" Tanya Yayi.
"Aku mau bilang terimakasih." ucap gadis itu. Ia mengundurkan kursi disebelahnya dan mempersilahkan Yayi duduk. Yayi pun menurutinya.
"Namaku ami." gadis keriting itu mengajak Yayi berjabat tangan, tapi Yayi mengacuhkannya. "Aku tak tahu kalau kau bisa membaca pikiran lewat raut muka. Itu hebat sekali. Aku tahu kau mengikutiku ke ruang drama kemarin. Kita berada di posisi yang sama. Aku sangat mengerti perasaanmu."
"Kau dan semua orang tak kan mengerti perasaanku!" teriak Yayi.
"Kau selalu merasa hidup seorang diri di dunia ini. Kau merasa tak ada orang yang bisa kau percaya. Kau merasa kaulah yang paling sengsara di dunia. Kau selau ingin dimengerti orang lain, tapi kau sendiri tak mau mengerti orang lain."
"Aku melakukannya untuk membelamu. Kenapa kau malah menjelek-jelekkan aku seperti itu? Aku hanya tak ingin kita dianggap lemah." ucap Yayi.
Gadis keriting itu mengangguk. "Aku tahu. Tapi aku melakukan untuk bu Nur dengan senang hati."
"Apa? Apa kau sudah gila?"
"Tulus Yayi…, sesuatu yang kulakukan tanpa mengharapkan imbalan dan balasan sekecil apapun. Bahkan kalaupun bu Nur tak pernah menghargai yang kulakukan, tak mengapa. Aku melakukannya karena aku senang melakukan kebaikan. Semakin banyak kebaikan dengan ketulusan yang kita tanam, akan semakin berlipat pula kebaikan dan ketulusan yang kita peroleh."
"Aku tak mengerti jalan pikiranmu. benar-benar tolol!" ucap Yayi bingung.
"Tak apa, tiap orang harus berbeda agar dunia ini tidak membosankan. Aku hanya berpesan satu hal, cobalah menghargai setiap kebaikan orang lain sekecil apapun." Ami beranjak meninggalkan Yayi. Yayi masih tak mengerti apa yang di ucapkan Ami. Ia melangkah keluar dan tanpa sengaja ia berpapasan dengan bu Nur.
"Saya minta maaf atas sikap saya kemarin bu." ucap Yayi dengan kepalanya masih tegak.
"Apa begitu caranya minta maaf? Kau memang harus banyak diajari sopan santun. Ngomong-ngomong kau pasti ingin aku berkata pada Pak Kepala sekolah kalau kau tak perlu dikeluarkan kan? Aku bersumpah tak akan melakukannya." ucap bu Nur sambil tersenyum, lalu pergi.
Yayi mengambil tasnya lalu pulang.
Luca menyorobot masuk ke kamar Yayi. Yayi masih berbaring ditempat tidur. Badannya sangat panas.
"Hey apa yang kau lakukan disini? Dasar pemalas! Ini kan waktunya sekolah?" Luca tak peduli dengan sakit Yayi. Ia menarik selimut dari tubuh Yayi.
"Jangan bodoh. Aku sudah dikeluarkan." Yayi menarik selimutnya dari tangan Luca, dan menelangkupkan kembali ditubuhnya.
"Mau tahu gosip terbaru?" tanya Luca mengajak Yayi bercanda. Yayi sama sekali tak tertarik. Ia memalingkan muka.
"Bu Nur di skors satu bulan. Juga kena surat peringatan tidak akan melakukan kecurangan terhadap siswa-siswa lagi."
Yayi langsung bersemangat. Ia memperhatikan Luca dengan seksama seolah berkata apa yang terjadi?
"Ceritanya, kemarin ada gadis keriting yang bercerita padaku, kalau ada orang gila yang menolongnya kemarin, dan orang gila itu akan dikeluarkan dari sekolah karena menolong banyak siswa yang bernasib sepertinya. Jadi aku cerita pada Papa. Dan orang gila itu masih boleh sekolah di sekolah Papa dengan syarat tidak akan mengulangi kegilaannya lagi. Kepala sekolah tidak akan berani menolak keputusan Papaku. Apa kau lupa kalau Papaku adalah pemilik yayasan sekolah!?" ucap Luca dengan sombong.
Yayi tersenyum lebar lalu memeluk Luca.
"Terima kasih luca." ucap Yayi. Luca tersentak.
"Hey ini bukan Yayi yang kukenal. Sejak kapan kau lebay begini?"
"Sejak kenal gadis keriting itu. Dia bilang aku harus menghargai kebaikan tiap orang sekecil apapun."
"HEY! Kebaikanku ini kan tidak kecil!?" Luca setengah berteriak. Lalu mereka sama-sama tertawa.