Hinata terbangun pada pagi hari ini dengan pikiran yang rileks karena hari ini tidak ada jadwal syuting, jadi Hinata tidak perlu buru-buru bangun dari ranjang untuk segera ke lokasi. Jadi, Hinata memilih untuk kembali bergelung di dalam selimutnya.
'Suki desu.'
Kalimat yang diucapkan dengan sangat lembut dan tenang itu kembali menghantui pikiran Hinata dan membuat pipinya bersemu.
Semalam, setelah mengucapkan itu, Sasuke bilang dia mendadak merasa pusing dan langsung mengegas mobilnya. Jadi kesimpulannya, sesi latihan semalam benar-benar tidak jadi dilakukan dan berubah menjadi kacau.
Drrrt!!
Ponsel Hinata yang tersimpan dengan aman di atas meja kayu kecil di samping ranjang bergetar menandakan ada panggilan masuk. Dengan malas, Hinata mengulurkan tangan dan mengecek identitas penelepon yang tercetak di atas layar.
Jiraya-sama.
Membaca nama itu, Hinata dengan cepat duduk dengan tegak di ranjang dan mengeser menu ke pilihan 'angkat'.
"Ohayou, Nata-chan!" Sapa Jiraya riang, yang dibalas dengan deheman yang singkat. "Apa yang aku katakan kemarin soal syuting? Aku sangat minta maaf, tapi aku sudah merevisi naskahnya dan kuganti dengan yang baru.
"Kau tahu, kemarin Sakura datang ke tempatku sambil menumpahkan berember-ember air mata dan mengatakan kalau kau sangat amatir dalam hal 'itu' dan bilang kalau dengan adanya adegan itu, kau akan menghancurkan filmnya secara keseluruhan. Jadi kupikir mungkin itu adalah saran yang bagus untuk tidak menggunakan naskah itu."
Mereka tidak jadi menggunakan naskah mesum luar biasa itu? Hinata nyaris bersorak dan melompat-lompat seperti monyet di atas ranjangnya, tapi entah bagaimana ia berhasil mengontrol emosinya dan berucap dengan tenang, "Terima kasih padamu dan Sakura-chan karena mengerti diriku."
"Tapi adegan ciuman di naskah itu tetap akan dilakukan," kata Jiraya dengan pelan, nyaris terdengar seperti meminta maaf.
"Tak apa," sahut Hinata dengan tenang sambil menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan mengayunkan kakinya ke lantai keramik di bawah tempat tidurnya, lalu mencari-cari sandal rumah satinnya yang lembut, tapi Hinata hanya menemukan sebelah dan langsung memutuskan untuk bertelanjang kaki saja ke jendela untuk membuka tirai putih bersih yang dikanji.
Ini sudah pukul delapan pagi, dan karena kamar Hinata dengan tepat mengarah ke matahari, saat membuka tirai, hal pertama yang menyapa Hinata adalah cahaya matahari yang sedikit terlalu silau.
Karena tidak ada tanggapan apa pun selamat nyaris satu menit, Hinata mendengus pelan dan bertanya, "Jadi sekarang bagaimana?"
"Notifikasi yang tiba-tiba ini tidak mengganggumu untuk melaksanakan aktivitas yang penting, kan?"
Ini mengganggu rencanaku untuk bermalas-malasan untuk tidur seharian! Pekik Hinata di dalam hati. "Tak apa."
"Jadi, tidak masalah kan, kalau aku memintamu untuk datang ke lokasi syuting yang kemarin dengan cepat, katakanlah paling lambat tiga puluh menit lagi? Kru dan pemeran lain sudah datang."
Tiga puluh menit untuk ke lokasi syuting yang terletak di Kanagawa? Apa sutradara ini gila?! Salah sendiri mengapa dia harus mengubah naskahnya segala, tapi itu sebenarnya menyenangkan Hinata karena Jiraya yang sudah seperti ayah kedua bagi Hinata melakukan ini demi dirinya. Jadi mengingat alasan itu, Hinata tidak bisa tidak membiarkan hatinya merasa hangat, kemudian dia menyahut dengan ringan, "Aku akan berusaha."
Mendengar itu, dari seberang telepon, wajah Jiraya yang khawatir langsung terang dalam senyuman cerah, "Aku sangat menyayangimu, Nata-chan!"
"Aku juga menyayangimu, Jiraya-sama."
Dengan kalimat itu, mereka berdua mengakhiri telepon.
Sambil melangkah kembali ke ranjang untuk menyimpan teleponnya di atas meja, Hinata sedikit mengeluh karena notifikasi dari Jiraya, tapi dia tetap dengan cepat melangkah ke toilet dan mulai bersiap-siap.
Lima belas menit kemudian, setelah berjuang mati-matian untuk mandi dan berpakaian dengan cepat, Hinata sudah duduk manis di belakang kemudi mobil sport Ferrari hitam metalik, lengkap dengan blus biru muda kasual dan celana hitam panjang berbahan denim. Untungnya, Hinata adalah tipe gadis yang tidak pernah mau repot dengan make-up, jadi dia bisa siap dengan lebih cepat.
"Fyuh, dari Tokyo ke Kanagawa hanya lima belas menit? Aku benar-benar butuh menjadi hantu sekarang..."
***
Entah bagaimana, dengan keadaan jalanan yang sedikit macet karena sudah mulai masuk jam kerja, Hinata dapat tiba di lokasi syuting di Kanagawa dalam waktu dua puluh menit. Tampaknya, itu menyenangkan Jiraya karena pria itu berdiri di gerbang apartemen yang digunakan sebagai lokasi syuting dengan tersenyum lebar.
Apartemen ini sudah ramai. Para kru sudah siap dan pemeran lain sedang ditangani oleh penata rias.
Hinata yang baru keluar dari mobil sport-nya, dengan cepat didorong oleh Sakura untuk masuk ke ruang tata rias, sambil berteriak, "Ayo cepatlah, kau ada di adegan pertama."
Singkat cerita, Jiraya memang benar-benar memotong adegan 'itu' dari naskah dan hanya menyisakan adegan kiss yang biasa. Penulis naskah memang tidak terlalu vulgar dalam menuliskannya, akan tetapi akting Sasuke-lah yang menjadi protagonis utama laki-laki yang membuat adegan itu terasa berlalu dengan sangat cepat bagi Hinata [1].
Besok pagi adalah hari terakhir syuting. Itu adalah adegan di mana Sasuke akhirnya melamar Hinata setelah mereka berciuman di bawah cahaya mentari pagi, dengan kicau burung, dan cuaca yang cerah di sebuah taman yang romantis--benar-benar sebuah adegan drama tivi darah anjing [2]. Untungnya, besok pagi adalah salah satu hari di antara banyak hari dalam musim semi tempat sakura bisa berguguran di setiap taman, dan para kru sudah melakukan penyesuaian dengan beberapa adegan. Hal terakhir yang perlu mereka lakukan saat ini hanyalah berdoa pada Tuhan agar adegan besok bisa berjalan sesuai rencana.
Karena adegan terakhir besok ini akan dilaksanakan pagi-pagi sekali, Jiraya memutuskan bahwa para kru dan pemain film harus tetap tinggal di Kanagawa. Kebetulan, dia punya apartemen dengan banyak tempat tidur di distrik ini, dan jika ranjangnya tidak mencukupi, mereka bisa menggelar tikar di balkon kamar yang luas dan tidur di sana seperti saat sedang piknik.
Entah bagaimana, Hinata yang tidur satu ranjang dengan Sakura dan dua orang pemain wanita lainnya, harus membolak-balikkan badannya sampai pagi dan tidak bisa menemukan satu pun posisi yang nyaman untuk tidur. Entahlah, memikirkan bahwa dia harus menghadapai adegan di mana Sasuke akan melamarnya membuat Hinata menjadi gugup. Bagaimanapun, Sasuke adalah aktor yang sangat profesional dan penuh penjiwaan dan karena itu, Hinata agak sedikit terlalu sering terbawa suasana saat berakting dengannya. Saking menakjubkannya aktor Uchiha ini, sebelum menyelesaikan film ini, dia sudah menandatangani dua kontrak kerja untuk dua film dari perusahaan yang berbeda.
Yah, seperti itulah... Karena besok adalah adegan puncaknya, Hinata menjadi sangat khawatir sampai ia tidak bisa tidur sampai pagi.
Ditambah lagi dengan pengakuan cinta dari Sasuke semalam, itu membuat hubungan mereka berdua yang hanya merupakan partner kerja menjadi semakin kikuk.
Nampaknya, Jiraya yang sudah mandi dan berpakaian rapi dengan blazer merah tanpa lengan menyadari kondisi hati Hinata yang buruk, jadi dia dengan lembut bertanya pada Hinata saat gadis itu didandani oleh penata rias dengan make-up yang natural di ruangan yang sepi manusia, "Ada apa? Kantong matamu hitam, kau tidak tidur yah, semalam, Nata-chan terkasihku?"
Karena Hinata sedang dipakaikan pelembab bibir warna pastel, jadi dia tidak bisa menyahut dengan kata-kata dan hanya menggelengkan kepalanya dengan pelan.
"Kau memikirkan sesuatu? Takut tidak bisa bertemu Sasuke lagi setelah film ini selesai?" Tebak Jiraya sambil terkekeh dan membetulkan posisi duduknya yang kurang ajar di atas meja rias.
Penata rias itu, yang ternyata bernama K. Yuhi sudah selesai mendandani Hinata jadi dia pergi ke pemeran lain dan mulai mendandani mereka dengan cuek.
Karena pertanyaan Jiraya yang sangat impulsif, mata lavender pucat Hinata membelalak kaget dan dia dia nyaris menyorakkan: "Ya!!". Syukurnya, Hinata dapat menekan hasrat kuatnya untuk menyuarakan itu dengan kencang dan mengalihkan pandangan ke cermin untuk merapikan tatanan rambutnya yang sedikit mencuat.
"Tidak," ujarnya berbohong.
Jiraya terkekeh dengan murni tulus di sampingnya dan menyentuh bahu Hinata dengan lembut, "Sayangku, aku pernah mengalami masa muda dan jatuh cinta. Aku lihat tatapan penuh harap itu di matamu saat kau melihatnya. Tatapan mata itu mengungkapkan segalanya, lho."
Jatuh cinta? Apa Jiraya pikir aku akan jatuh cinta pada Sasuke? Dan apa-apaan maksudnya dengan bilang kalau tatapanku mengungkapkan segalanya?
Karena membenci pemikiran itu, Hinata menepis telapak tangan Jiraya di atas bahunya dengan kasar dan berdiri dengan tiba-tiba sampai kaki kursi yang terbuat dari kayu berdecit protes saat menggeser lantai dengan keras. "Kita harus bergegas. Sunrise akan muncul sebentar lagi," kata Hinata.
Jiraya hanya bisa melongo saat gadis itu berlalu keluar dari tenda rias dan melangkah menuju taman dengan anggun, kemudian seolah tersadar dari tidur yang panjang, pria itu terkekeh dan bangkit dari meja dan menyusul Hinata ke taman.
Mereka melakukan adegan syuting terakhir di Senkeien Garden, sebuah taman yang banyak dipenuhi mawar dan sakura, terletak di Prefektur Kanagawa di sebelah barat kota Tokyo yang merupakan kota pelabuhan utama di Jepang. Jiraya memilih taman ini dari semua taman yang romantis di Jepang karena sebagian besar adegan terakhir dari film ini direkam di sini, jadi produser bisa menghemat sedikit biaya transportasi, tidak ada alasan lain lebih dari itu.
"Oke," teriak Jiraya dengan bantuan pengeras suara. Para pemain sudah stand by di tempat mereka masing-masing. "1, 2, 3, action!!"
"Aku mencintaimu, Otsutsuki-sama," kata Sasuke dengan suara bariton yang lembut sambil berjongkok dengan satu lutut menyanggah tubuhnya di atas tanah yang dibalut rerumputan yang masih basah karena embun pagi. "Menikahkan denganku."
Seperti kebanyakan drama, ketika protagonis pria mengatakan hal seperti itu, mereka akan mengeluarkan cincin yang sengaja disembunyikan dari saku celananya dan protagonis wanita akan bersemu merah dan mengatakan, "Aku bersedia," dan yah itulah yang dikatakan Hinata dalam film itu sambil tersenyum dengan pipi bersemu yang alami.
Yah, True Love adalah sebuah film online dengan pembayaran bagi penonton yang ditanggung di muka yang sungguh-sungguh seperti sebuah sinetron dengan alur cerita yang sangat klise. Hinata heran bagaimana bisa film tidak mutu begini punya penonton yang sangat banyak? Tapi ah, semua film yang diproduksi Skytsu Era Raya selalu mendulang kesuksesan bahkan kalaupun ceritanya tidak memuaskan sama sekali.
Sesuai rencana, dengan berakhirnya adegan itu dengan bagus sempurna pada tengah hari, kontrak kerja untuk True Love berakhir dan para pemain serta kru telah menjadi orang yang bebas dari kungkungan. Tapi, untuk merayakan kesuksesan mereka, Jiraya merencanakan untuk mengadakan pesta perayaan di sebuah pub beberapa malam lagi.
Karena kondisi taman dan cuaca yang sesuai secara sempurna, itu membuat perasaan Hinata menjadi jauh lebih baik dan dia memutuskan mungkin dia akan menyewa sebuah kamar di hotel di dekat sana dan menghabiskan banyak hari setelah syuting di sini. Toh, Hinata tidak terikat dengan kontrak manapun lagi. Dia bahkan berencana untuk liburan pascasyuting ke Rocky.
Sambil duduk di salah satu bangku panjang yang tersedia, sedikit lebih terlindung dari panas matahari dengan banyak semak dan pepohonan dan bunga yang berguguran, membuat suasana menjadi sangat romantis.
Tanpa sadar, sambil menghela napas dengan rileks, Hinata menyimpan tengkuknya di pegangan kursi dan kelopak matanya nyaris menutup saat dia dengan lembut menyesap aroma sakura yang berembus samar-samar.
Tiba-tiba, dari suasana ujung taman yang sepi, Hinata mendengar suara pistol yang meletus dan langsung menegakkan punggungnya dengan waspada, mata besarnya memicing dan mencoba untuk mendengar suara yang lain.
Sepi. Sunyi.
Senkeien Garden benar-benar sepi; beberapa pengunjung sudah pulang karena cuaca agak sedikit lebih terik, lalu kru dan pemain lain yang sebelumnya berkeliaran sudah tidak ada. Lalu, benarkah bahwa itu memang suara pistol?
Hinata bangkit dari duduknya dan berjalan dengan mengendap-endap menuju asal suara.
Ini adalah ujung taman, tempatnya gelap dan sepi dan jarang dikunjungi karena tidak ada properti taman yang ada di sini. Malah, bisa dibilang, tempat ini kotor seperti tempat sampah. Tapi, berkebalikan dengan itu, Hinata yang masih mengendap-endap di balik semak yang tumbuh liar mendengar sebuah suara serak-basah yang terdengar akrab.
"Sasuke!"
Sambil berteriak, Hinata menerjang maju melewati semak dan itu tepat untuk melihat siluet dua orang pria tengah berlari dengan kencang ke gerbang belakang dan bayangan Sasuke yang entah bagaimana tengah terkapar dengan menyedihkan di atas tanah. Hinata dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa dua pria tadi telah melakukan entah apa itu pada Sasuke.
Hinata dengan cepat menjatuhkan dirinya di depan Sasuke yang masih sadar dan meringis. Pipinya yang seharusnya putih sedikit lebam dan penuh oleh jejak debu, rambutnya juga kotor, dan ada darah segar yang merembes melewati kain celana Sasuke yang berwarna kelabu.
"Astaga, demi Tuhan, apa yang mereka lakukan?!" Pekik Hinata dengan nyaring dan langsung menarik lengan Sasuke agar berdiri, tapi karena bobot tubuh mereka yang tidak seimbang, Hinata dengan tidak cantik jatuh ke atas perut Sasuke dan membuat pria itu meringis karena nyeri.
Tidak menyerah, Hinata berulangkali kembali menarik lengan Sasuke, jatuh lagi, berdiri lagi, menarik lagi, dan jatuh lagi. Begitu terus sampai Sasuke tidak tahan untuk tidak tergelak, apalagi ada jejak air mata yang tersaput debu tipis karena terlalu sering terjatuh mencoreng bayangan kotor di wajahnya yang putih, benar-benar manis.
Sasuke suka saat merasakan tubuh Hinata jatuh ke arahnya dan menginginkan lebih, tapi dia tidak suka membayangkan kalau Hinata akan menyakiti dirinya sendiri dengan terjatuh dan bersikap terlalu panik seperti ini, jadi Sasuke dengan sulit berkata, "Hime, panggil petugas keamanan. Begini tak seefisien tindakan itu."
Hinata menyahut, wajahnya masih kacau dalam kepanikan yang kentara, "Aku tidak bisa meninggalkanmu. Mereka bisa kembali."
"Tidak akan," balas Sasuke, berusaha dengan menyakitkan untuk duduk.
"Mereka 'tidak akan' kembali sekarang. Tapi bagaimana jika nanti setelah aku membawa petugas keamanan, aku sudah menemukanmu dikuliti hidup-hidup atau menemukan potongan-potongan tubuhmu yang telah dimutilasi? Aku bisa mati berdiri!"
Errr..., itu sama sekali bukan gagasan yang bagus. Tapi memikirkan bahwa Hinata mengkhawatirkan dirinya sampai seperti itu mau tak mau membuat sudut mulutnya tertarik ke atas membentuk senyuman miring. "Kau mungkin terlalu banyak membaca thriller, Hime. Tidak ada yang seperti itu. Mereka sepertinya hanya haters-ku. Itu sudah biasa."
Wajah Hinata langsung menekuk. "Bagaimana bisa itu biasa? Itu sudah kelewatan!"
"Huh," dengus Sasuke. "Daripada berdebat begini, lebih baik cepat bawa aku pulang. Aku butuh untuk segera ditangani."
Hinata mengerjap, seolah baru tersadar dari tidur yang panjang, kemudian mengangguk cepat lalu berlari dengan kikuk dan tersandung-sandung di tanah yang tidak rata untuk kembali ke tempat yang lebih cerah.
Singkatnya, mereka--kumpulan petugas keamanan yang sama sekali tidak bekerja dengan sigap dan tidak bisa diandalkan--datang dengan Hinata yang masih berwajah menyedihkan di belakangnya. Hinata menyuruh mereka membawa Sasuke ke dalam mobil sport Ferrari-nya yang terparkir dengan anggun di belakang dan menyuruh orang-orang itu meninggalkan mereka berdua.
Setelah mengencangkan sabuk pengaman di sekeliling tubuhnya, Hinata melajukan mobilnya meliuk-liuk di jalanan yang ramai karena sudah masuk jam makan siang kemudian berkata, berusaha untuk terdengar tenang walaupun suaranya sedikit bergetar di tenggorokan, "Kita ke rumah sakit."
"Aku tidak... tidak butuh ke tempat... menyedihkan itu. Sakit seperti ini tidak akan membuatku mati..," sahut Sasuke pelan sambil memperbaiki posisi duduknya, tapi saat dia menyadari ada yang tidak beres dengan aura di sekitarnya, dia dengan cepat mendongak hanya untuk melihat mata lavender Hinata yang seharusnya pucat malah menggelap karena kemarahan.
"KAU MEMANG TIDAK AKAN MATI, BODOH!! TAPI KAU AKAN KESAKITAN! TIDAK BISAKAH KAU DIAM?!"
Senyap. Sasuke tidak berani berkomentar apa-apa lagi setelah disembur begitu. Dia bahkan takut untuk meneguk lidahnya sendiri dan menahan napas selama beberapa detik.
Tuhanku, dari apa kau ciptakan gadis ini? Dia benar-benar kejam, melebihi Okaasan. Melebihi Bibi Kushina juga. Bagaimana aku bisa tahan menghadapinya kelak jika aku sampai jatuh cinta padanya?
Sejak SMA, Sasuke adalah teman sekelas Naruto, jadi mereka sering bersama. Lagipula, mereka berdua memang cocok satu sama lain; Naruto sepanas tungku api, sementara Sasuke sedingin lemari es, jadi sifat mereka saling melengkapi. Hubungan kemitraan keluarga mereka berdua juga baik, jadi Sasuke sering berkunjung ke rumah keluarga Uzumaki dan kadang-kadang menginap. Akan tetapi, beberapa musim semi setelah kelulusan, Sasuke dan Naruto semakin jarang bertemu dikarenakan kesibukan mereka sebagai artis dan model dan hubungan kemitraan mereka akhir-akhir ini menjadi agak sedikit genting karena persaingan dalam pekerjaan. Malah, bisa dibilang, Naruto meninggalkan Jepang karena tidak mendapatkan peran Sasuke Sarutoby dalam True Love yang mereka berdua sama-sama incar. Itu membuat Sasuke sedikit bertanya-tanya apakah hubungan pertemanan mereka akan tetap menjadi sama.
Tapi lebih diketahui lagi, Sasuke masih sering mendatangi mansion--rumah besar--Uzumaki di Wakayama, bahkan setelah Naruto pindah. Karena hal itulah, Sasuke sering berinteraksi dengan tousan dan kaasan Naruto dan bisa mengetahui seberapa tingginya kekejaman Bibi Kushina yang seperti setan.
Memikirkan itu lagi di benaknya, Sasuke tidak tahan untuk tidak bergidik ngeri.
Untungnya, tepat saat Sasuke merasa sangat butuh oksigen karena masih tidak cukup berani bernapas dengan leluasa, Hinata menepikan mobilnya dan memasuki lobi rumah sakit Universitas Kanagawa yang luas kemudian meminta tolong kepada salah satu satpam yang berjaga di pintu depan untuk mengambilkan kursi roda.
"Aku ingin kau menemaniku, Hime," ucap Sasuke dengan merajuk.
Satpam yang membawa mereka langsung memerah mendengar ucapan Sasuke yang terdengar kekanakan. Dia agak sedikit syok untuk mengetahui kalau Sasuke yang merupakan artis profesional ternyata bisa bersikap seperti itu. Hinata yang menyadari tatapan satpam itu pada mereka berdua langsung merasa butuh untuk segera bersembunyi ke dalam selimut sekarang!
"Pe--pergi bersama sat--satpam. Aku akan pergi ke parkiran..."
Sasuke memajukan mulutnya saat Hinata dengan kejam meninggalkannya bersama satpam yang sama sekali tidak keren di belakangnya ini yang masih menatapnya dengan syok. Sasuke sangat kesal, bagaimana bisa Hinata langsung menyerahkan dirinya pada seorang satpam? Padahal Sasuke sudah berkhayal dia dan Hinata akan berada di lorong berdua *abaikan para pengunjung lain* dengan tangan mungil Hinata mendorong kursi roda yang dinaiki Sasuke menuju ruang periksa. Aah, itu sungguh romantis.
Tapi apa-apaan ini? Dia malah dilepas pada seorang satpam yang masih tetap menatapnya? Dia tahu di tampan, tapi sayangnya Sasuke bukanlah penyuka sesama jenis...
"Ada apa kau masih lihat-lihat? Mau kubunuh?"
Satpam itu dengan cepat menggeleng, padahal dalam hatinya dia bisa terbahak kapan saja. Oh ayolah, bunuh aku sekarang. Kau bahkan tidak bisa menyangga dirimu sendiri untuk berdiri, mau sok-sokan membunuhku? Silakan saja, Artis Sombong!
Yah, bersyukurlah kau, satpam karena Sasuke sama sekali tidak bisa membaca pikiranmu. Seandainya dia bisa dengar, dia benar-benar akan menyumpal mulutmu dengan telunjuknya!
Catatan:
1) Waktu berlalu dengan cepat, adalah semacam ungkapan yang digunakan untuk menyatakan bahwa sesuatu terasa sangat menyenangkan sampai-sampai waktu tidak bisa dijadikan batasan.
2) 'Drama tivi darah anjing', adalah salah satu pepatah China untuk menyatakan kalau suatu kejadian sangat klise, terlalu penuh drama, dan berlebihan. (Sumber: WagahaiNeko dalam terjemahan Indonesia Chinese BL: Runaway Guide, seri novel ABO Cadets)
###
Err,,,, bab ini sama sekali nggak memuaskan buat Gao, nggak tahu gimana buat readers tercinta. Gao nggak bisa dapet feel di bab ini, mungkin karena dipaksakan soalnya harus diam-diam nulis dan itu baru bisa dapet setelah orang rumah pada tidur semua, tapi Gao juga ngantuk jadi sering ketiduran trus nggak ada ide yang nyantol.
Maafkan Gao yahh, silakan cerita ini dikritik semau kalian, mau marah-marah, mau ngamuk... Gao juga menerima kritik super pedas (kalo ada).
Terima kasih banyak mau baca dan vote, juga yang koment. Kalianlah para readers yang paling Gao cintai.