Sebagian besar dari kelompok Ditya tertawa mendengar perkataannya, termasuk Andi dan Putra. 'Makhluk macam apa yg memperkenalkan diri dengan nada yang terdengar lucu, wajah datar dan berasal dari kota nun jauh disana. Apa kota itu benar-benar tidak mempunyai nama?' batin Putra merasa perutnya tergelitik dengan ucapan Ditya.
"Tadi kamu bilang nama kamu Ditya ya..." tanya Andi sambil meredakan tawanya.
"Iya"
"Ditya, memangnya kota asal kamu nggak punya nama sampai-sampai kamu bilang kaya begitu?" Putra melontarkan pertanyaan tersebut sambil tersenyum yang membuat junior-junior perempuan di kelompok itu tersihir dengan senyumannya.
"Apakah penting darimana saya berasal? Toh pada akhirnya kita semua berada di kota yang sama dan bergabung menjadi satu." Ditya menjawab dengan acuh.
"Wah kamu anak baru tapi berani banget ya ngomong kaya gitu didepan senior," Andi bukannya terlihat marah tapi cenderung kagum dengan Ditya.
"Apakah saya melakukan kesalahan? Bukankah kita sama-sama makan nasi? Lalu kenapa saya harus takut dengan senior?" tanya Ditya bingung.
'Ini anak beneran polos atau bagaimana sih? Baru kali ini aku nemuin perempuan seperti dia. Jauh dari kata anggun dan feminim selayaknya seorang perempuan.' Putra diam-diam terus mengamati Ditya. Seakan-akan apapun yang ada pada dirinya merupakan sesuatu hal yang menarik untuk diperhatikan.
"Ya kamu bener sih. Lagipula kami ini tampan mana mungkin kamu atau yang lainnya takut sama kami." Putra menjawab dengan bangganya seolah-olah mereka adalah Makhluk Tuhan yang Paling Tampan yang ada di muka bumi ini.
Para mahasiswi tersenyum malu mendengar perkataannya sambil membenarkan apa yang baru saja Putra katakan. Tapi Ditya justru terdengar mendengus dan menatap Putra dengan tatapan mengejek.
'Apa dia nggak waras sampai-sampai dia sebegitu pede nya bilang kaya gitu. Bahkan driver ojek online yang tadi nganter aku lebih tampan dari dia.'
Mereka pun melanjutkan perkenalan dengan memainkan games sambung lirik lagu dan menghabiskan waktu dengan bersenang-senang hingga jam 12 siang. Setelah acara selesai mereka bubar ke rumah dan kontrakan mereka masing-masing.
Ditya dan teman-temannya kembali berkumpul dan pulang bersama. Di jalan pulang mereka juga berpapasan dengan anak musik lainnya. Semua membicarakan senior-senior yang hadir hari ini.
"Eh, tadi lihat kakak yang matanya sipit, kulitnya putih, kurus kaya orang China gak?" kata salah satu perempuan berkulit kuning Langsat, memakai behel dan kacamata.
"Oh kak Fauzi ya?" jawab temannya yang lebih pendek darinya.
"Iya. Manis banget ya dia. Udah punya pacar belum ya?"
"Dia mah biasa aja. Aku lebih tertarik sama kak Brian. Kharismanya luar biasa. Pendiam tapi auranya kuat banget." jawabnya.
"Menurut aku yang paling menonjol dan menarik diantara mereka itu adalah Kak Putra. Dia bukan cuma tampan, tapi juga ramah, easy-going. Dia juga tadi nolongin aku waktu aku kesulitan parkir motor." timpal perempuan yang berlesung pipit dan badannya agak berisi.
Ditya dan teman-temannya mau tidak mau mendengar semua percakapan mereka sampai akhirnya mereka ikut membahas hal yang sama.
"Dit, kalau menurut kamu siapa yang paling oke diantara senior kita tadi?" tanya Yuni penasaran.
"Belum ada. Semuanya masih terlihat sama Dimata aku."
"Really?? Dari sekian banyaknya kamu bilang belum ada yang oke? Mereka itu tampan loh, Dit. Ya ada sih yang biasa aja. Bahkan beberapa diantara mereka juga anak populer di kampus kita. Masa kamu bilang biasa aja?" Anisa terkejut mendengar pernyataan Ditya.
"Ayolah, gals. Bukankah setiap orang memiliki standar dan kriteria yang berbeda mengenai pria?"
"Ya. Dan kamu adalah orang yang memiliki standar dan penilaian yang paling aneh diantara kita." jawab Triani sambil memandang Ditya dengan takjub.
Ditya hanya tersenyum melihat wajah kesal teman-temannya. Dan mereka meneruskan perjalanan pulang sambil membahas apa yang mereka bahas dikelompok masing-masing.