Malam semakin larut saat mereka menyelesaikan acara penyambutan sang pangeran yang baru berusia hampir dua bulan itu. Meri beristirahat di kamar setelah selesai mengganti pakaian dengan piyama yang dulu tertinggal saat mereka masih tinggal di paris.
Sudah satu jam ia duduk bersandar pada kepala ranjang dengan ponsel di tangannya. Setelah menimbang, ia akhirnya menghubungi ponsel andre untuk melakukan video call. Rasa rindunya kepada junior seakan menggunung hanya dengan mendengar suaranya tak akan bisa membayar sedikitpun rasa di hatinya.
Demi kepuasan hatinya dan melampiaskan kerinduannya dengan tekad bulat tak tergoyah ia menghubungi andre.
"kau menelfon junior?" tanya ilham menebak karena melihat keraguan di wajahnya.
Sebagai suami dan ayah yang selalu bersama junior selama dua bulan ini, ia tahu bahwa puteranya itu tidak diperkenankan oleh ibunya untuk memegang ponsel genggam. Bukan karena ia terlalu keras dalam mendidik tapi sebagai seorang ahli medis di bidang saraf, meri tentu tahu betapa buruk dampak radiasi ponsel pada saraf anak kecil yang sistem imunitasnya belum selengkap orang dewasa.
Pada intinya, semua yang ia lakukan adalah untuk menjaga putera kesayangannya agar terhindar dari segala hal yang akan merugikan. Walau bagaimanapun mencegah lebih baik daripada mengobati.
"Mmm. Aku ingin melihat wajahnya sebelum tidur" jawab meri sambil memasang cadarnya sebagai tindakan preventif jika andre yang muncul pertama kali di layar ponselnya.
Tak di duga, ilham meraih ponsel yang berada di pangkuan istrinya dan menatapnya seakan menunggu orang yang akan muncul di sana. Itu bukan cemburu, ia hanya tidak ingin melihat istrinya begitu kerepotan hanya untuk melihat puteranya.
"ada apa?" tanya andre saat melihat ilham yang muncul di layar.
Perasaannya begitu senang saat melihat meri ingin melakukan panggilan video namun kebahagiaannya seketika sirna dengan wajah pria yang muncul di layar. Berkat kekecewaannya, ia bahkan sulit untuk mengatur mimik wajah maupun nada suaranya untuk menyembunyikan bagaimana perasaannya saat ini.
"kau terlihat kecewa" ejek ilham.
Meri yang duduk dengan tenang di sisi suaminya tidak menanggapi apapun dan tidak merasa ia perlu mengeluarkan energi untuk berkomentar. Malam ini niat awalnya hanya untuk melihat wajah putranya jadi apapun yang dikatakn orang lain di balik telfon sama sekali tidak penting baginya.
Tak bisa menyembunyikan kekesalannya, andre hanya menatapnya dengan pandangan yang rumit.
"katakan ada apa? Ini sudah pukul sepuluh" ujar andre kehilangan kesabarannya.
"meri saat ini merindukan junior. Dia ingin melihatnya walau sebentar. Berikan padanya" ilham begitu dominan hingga terkesan saat ini ia sedang berhadapan dengan seorang bawahan.
Andre bukan tidak menyadari bagaimana kakaknya memerintahnya dengan nada yang sama sekali jauh dari kata memohon.
"meri ingin melihat junior lalu mengapa kau tidak memberikan telfonnya kepada meri terlebih dahulu" andre tak ingin menyerah.
"dia ingin melihat junior bukan meelihatmu jadi kau harus tahu maksud ucapanku dan bukankah kau seharusnya sudah tahu batasanmu kepada kakak iparmu"
"kau mengatakan itu seakan dulu kau tidak melakukan hal sama kepada rumah tanggaku" sindir andre.
Andre tidak pernah merasa sikapnya adalah contoh terpuji dan harus dijadikan panutan tapi ia juga tidak merasa bahwa ilham lebih baik darinya. Kesalahannya hanya terlambat mengetahui kehamilan meri.
Jika waktu itu ia mengetahuinya, bahkan jika ia tidak mencintai meri sebesar saat ini ia masih akan bertahan untuk anaknya. Tapi takdirlah yang membuat ia menjauh dari kebahagiaannya.
"andre, apakah junior sudah tidur?" tanya meri mencegah perang kata yang lebih besar lagi.
Mendengar suara meri, andre seketika melunak. Walau wajah wanita itu tidak muncul ia merasa cukup senang mendengar suaranya.
"belum, dia baru akan tidur. Tunggu, dia akan segera keluar dari kamar mandi"
Tak berselang lama wajah junior muncul menggantikan wajah andre. Dengan wajah berseri-seri dan beberapa helai rambut bagian depan yang tampak basah, junior menyapa ibu dan dadinya dengan senyum serta lesung pipi terpatri di wajahnya.
"ibu, dadi. Aku baru selesai menggosok gigi dan akan segera tidur" ujar junior.
"Hmm, tidurlah. Jangan lupa untuk membaca doa" meri mengingatkan junior.
Sebenarnya ia masih ingin berbicara dan menatap wajah lembut putra keayangannya, tapi menahan anaknya untuk tidak tidur bukanlah hal baik. Setidaknya malam ini ia sudah melihat wajah malaikat kecilnya itu.
"Mmm. Aku merindukan ibu"
"ibu juga. Selamat malam sayang"
Meri menutup panggilan video itu setelah memastikan junior benar-benar tidur. Walau hanya melihatnya sebentar, ia masih merasa itu sangat bekerja untuk mengatasi perasaan gundahnya.
Pasangan itu berbaring berpelukan dengan meri yang meringkuk bagai anak kucing yang sedang menyusu ada induknya. Ilham tak keberatan sama sekali. Posisi mereka saat ini mencerminkan bahwa meri sepenuhnya percaya kepada ilham untuk melindunginya.
Setelah melihat meri terlelap, ilham bangkit ke ruang kerjanya. Beberapa pekerjaan menunggunya karena sudah sekian lama ia tidak kembali ke paris setelah menemukan meri di izmir.
Dia masih sibuk dengan pekerjaannya hingga menjelang subuh. Meri terbangun dan tidak menemukan ilham di sampingnya.
"apa kau begadang semalaman?" meri memeluk suaminya dari arah belakang setelah melihat lampu belajar masih menyala dengan ilham di hadapannya.
"Mmm, ada beberapa pekerjaan yang tertunda"
"apa sekarang suamiku tidak memiliki asisten hingga semua pekerjaan harus ia lakukan sendiri?" meri menatap sakit hati dengan kantung mata di wajah suaminya.
Selama di izmir dan di Indonesia, mereka selalu memiliki waktu tidur yang cukup. Hanya dalam waktu dua hari di paris dan suaminya sudah harus begadang.
"tidak semua pekerjaan bisa di wakilkan. Bukankah terlalu memforsir tenaga asisten adalah bentuk pelanggaran"
"terserah padamu saja. Apa kau menginginkan sesuatu? Aku akan membuatkannya" meri menawarkan dengan keramahan hatinya.
Sebuah senyum misterius kembali tergambar di wajah ilham. Meri yang melihat senyum itu sekilas dan menghilang merasa dia sudah salah mengatakan hal itu.
"kamu"
Meri "..." suaminya benar-benar tahu memanfaatkan peluang.
Tapi saat itu sudah mulai fajar dan meri tak ingin ketinggalan ibadahnya. Tak memberikan penolakan secara verbal, ia hanya menunjuk jam dinding di sisi yang lain dan suaminya sudah bisa memahami maksudnya.
Dia tidak lebih cerdas dari suaminya tapi ia setidaknya tahu bagaimana menangani suaminya dari pengalaman.
Ilham segera bangkit dan memapah istrinya dengan gaya bridel style. Itu sangat romantis namun meri masih merasa ilham ingin menganiayanya saat ini.
"ilham, ini sudah hampir pagi"
"justru itu, kita harus bergegas" goda ilham masih dengan meri di tangannya.
"kau ini kita akan ke.. ting..galan" meri terbata karena saat ini ilham melewati kamar mereka.
Dia terlalu banyak berpikir dan mengira ilham akan menerkamnya. Faktanya, suaminya itu membawanya ke sebuah ruangan yang memang di desain ulang sebagai tempat beribadah.
Rona merah mulai muncul di wajah meri yang putih. Dia merasa akan pingsan karena malu berpikir buruk kepada suaminya. Ternyata, dialah yang berpikir mesum saat ini.
Melihat meri yang salah tingkah, ilham tak berhenti menggodanya. "ketinggalan apa?" kata ilham dengan senyum jahil di bibirnya.
"kau, apa kau sedang menggodaku?"
Ilham hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Seperti biasa, ia tidak akan mengucapkan suatu kebohongan dan hanya akan mengalihkannya sebisa mungkin. Memiliki suami jenius benar-benar memerlukan pengamatan yang baik.
Dengan hati-hati, ilham menurunkan meri tepat di depan kran air wudhu. Tak ada sepatah katapun yang keluar hanya pandangan menusuk yang dilemparkan oleh meri dan di balas senyum manis dan tatapan yang mampu mencairkan es kutub.
Mereka melakukan kewajiban mereka dengan berjamaah dan kemudian bubar begitu saja. Meri berjalan ke kamarnya untuk mandi dan mengganti pakaiannya. Dia sudah berada di dapur saat ilham mencarinya.
"nyonya, tuan mencarimu" kata salah seorang asisten rumah tangga di istana megah itu.
"katakan aku sedang memasak" jawab meri masih mengiris sayuran tanpa berbalik sedikitpun.
Terdengar suara kesunyian yang kemudian di ikuti suara pekikan.
AAAAA (suara teriakan)
"kau mengejutkanku" meri mengoceh karena kini suaminya itu sudah membawanya keluar dari dapur tanpa menginjak lantai.
"aku hanya tidak ingin istriku mengganggu koki yang bekerja" kata ilham santai.
"mengganggu?" alis cantik miliknya kini terlihat seperti jalanan terjal yang siap menjatuhkan siapa saja yang berani melaluinya.
"menurutmu?" ilham balik bertanya.
"sepertinya aku harus menjadi gemuk agar kau tidak bisa lagi mengangkatku" celoteh meri.
"kalau begitu lakukan yang kau mau. Makan banyak, istirahat di rumah, tidur yang cukup"
"kau akan muntah saat melihatku segemuk sapi" kata ilham dengan nada melecehkan.
"tidak, aku akan menyukainya. Bukankah saat wanita berubah gemuk, bokong dan payudara juga akan membesar. Itu akan semakin terlihat seksi dan menggoda dengan postur tubuhmu yang tinggi"
Ilham mengatakan itu tanpa memperdulikan siapa saja yang mendengarnya. Meri melirik sekitarnya dan ada beberapa asisten rumah tangga mereka yang juga ikut mendengar hal itu.
Dari wajah mereka yang seperti mengulum senyum, meri sudah bisa tahu mereka mendengar apa yang di katakan sang tuan rumah yang mesum ini.
"apa kau tidak bisa berbicara pelan sedikit" meri berbisik dengan nada yang kesal.
"kenapa? Mereka juga manusia yang memiliki telinga. Itu baik jika mereka mendengarnya dengan begitu mereka akan mendukung rencanamu yang ingin segemuk sapi"
"kau..." meri sangat kesal hingga berbalik menjauhi suaminya. "aku akan sebesar dugong" kata meri sebelum hilang dari pandangan ilham.
Mendengar hal itu, bukan hanya tersenyum ilham bahkan tertawa. Semua yang melihat dan mendengar hal itu terkejut. Ini pertama kalinya mereka melihat langsung tawa sang tuan es itu.
Bibi grace yang melihatnya hampir meneteskan air matanya karena terlalu bahagia. Sudah satu dekade ia menyaksikan kepiluan di wajah dan suara pria malang itu, dan ini seperti mimpi namun melihat bagaimana ia tertawa lepas, itu sangat menggembirakan.