Bintang jatuh menimbulkan kekacauan. Singgasana takdir kehilangan pemiliknya. Orang-orang tak beragama yang berjalan dalam cahaya dan kegelapan akan memulai debut mereka.” Di dunia sihir ini, pengetahuan adalah kekuatan. Xiafeng, seorang mahasiswa biasa, tiba-tiba berreinkarnasi ke dunia lain. Jiwanya masuk ke dalam tubuh Lucien, pemuda 15 tahun yang hidup di Eropa abad pertengahan. Dunia itu benar-benar berbeda dengan dunia Xiafeng. Di sana, sihir dan kekuatan Ilahi benar-benar ada. Di hari pertama Xiafeng menjalani hidup sebagai Lucien, dia menyaksikan seorang penyihir dibakar hidup-hidup.
Gumpalan kabut hitam membuat tenggorokan dan paru-paru Xiafeng terbakar, membuatnya sulit bernapas dan mendesis seperti pengembus api usang yang rusak.
"Apa ada orang di sini? Aku tidak mau ... mati ..."
"Xiafeng, bangun ... jangan tidur ..."
…
Setelah kobaran api merah yang besar itu tiba-tiba mati, diikuti dengan kegelapan pekat. Seperti seseorang yang tenggelam, Xiafeng berusaha keras untuk meraih apapun yang bisa menyelamatkannya dari kegelapan.
Pada saat itu, bagaikan matahari terbit, sebuah cahaya merah muncul di depannya.
Dalam cahaya itu, Xiafeng merasa kekuatannya sedikit pulih, sehingga dia berusaha mati-matian mendekat ke cahaya. Setelah melangkah maju, Xiafeng melihat cahaya itu menjadi semakin terang. Cahaya yang mulanya berwarna merah membara berubah menjadi putih murni. Kegelapan itu benar-benar diselimuti oleh cahaya dan lenyap dalam sekejap.
"Ah ..." Xiafeng tiba-tiba terduduk dan bernapas dengan terengah-engah. Dalam mimpinya, asap dari api mengerikan itu telah membuatnya kehilangan semua kekuatan untuk melawan. Sehingga dia tak dapat berbuat apapun selain berbaring tak berdaya di tanah dan menunggu api untuk melahapnya. Seperti mengalami tindihan saat tidur, dia tahu dia sedang bermimpi buruk, tapi dia tak mampu bangun dari mimpi itu.
Mimpi itu tampak terlalu nyata sehingga Xiafeng butuh waktu cukup lama untuk menenangkan diri. Setelah jantungnya yang berdegup kencang kembali tenang, dia akhirnya ingat kalau tadi dia sedang mengerjakan esai sepanjang malam di perpustakan sekolah. "Pantas saja aku bermimpi buruk, aku terlalu banyak menghabiskan waktuku di sini akhir-akhir ini," pikir Xiafeng dalam hati sambil merutuki dirinya sendiri
Ketika dia hendak bersiap untuk berkemas dan kembali ke asramanya, Xiafeng tertegun karena melihat keadaan sekitar yang aneh dan jauh berbeda dari dugaannya. Seperti dapat pukulan di kepala, dia terkejut dan pikirannya menjadi kosong.
Semua meja kayu yang bagus hilang. Tak ada lagi tumpukan buku referensi, manuskrip kertas, dan laptop. Satu-satunya yang tersisa hanyalah selimut hitam tua dengan benang terlepas di sana-sini, menutupi dirinya.
Bukannya duduk di kursi perpustakaan, dia saat ini malah duduk di tempat tidur kayu yang sempit.
"Aku di mana?!"
Dalam situasi seperti ini, bahkan orang seperti Xiafeng, yang relatif pendiam dan lamban, bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Bahkan jika dia telah terperangkap dalam api dan dilarikan ke rumah sakit, tempat ini tidak sedikit pun menyerupai rumah sakit! Tidak sama sekali!
Detak jantungnya berdebar kencang karena terkejut. Dia melihat sekeliling dan mencoba berdiri. Namun saat dia meletakkan kakinya di tanah, rasa pusing dan lemah menjalar ke seluruh tubuh Xiafeng, membuatnya hampir jatuh ke tanah.
Xiafeng segera mengulurkan tangan dan meraih pegangan tempat tidur untuk mempertahankan keseimbangannya. Wajahnya pucat dan jantungnya berdetak begitu cepat. Dia sudah menyadari keadaan sekitar setelah memandang sepintas barusan.
Ini adalah gubuk kecil. Di tempat ini, ada tempat tidur kayu, meja kayu yang bisa runtuh setiap saat, dua bangku yang kelihatan lumayan, dan peti kayu dengan lubang di dalamnya. Di seberang pintu kayu yang terlihat bobrok, tergantung sebuah kuali dengan tungku tua di bawahnya. Apinya telah padam cukup lama. Hanya tersisa tanah yang dingin di bawahnya.
Semua ini terasa janggal baginya. Xiafeng tidak tahu di mana dia sedang berada. Rasa lemah dan pusing juga begitu mengganggunya.
"Di mana tempat ini?! Aku merasa seperti baru sembuh dari penyakit parah ... seperti pneumonia yang pernah kualami waktu SMA."
...
Banyak hal terlintas dalam pikirannya, tapi Xiafeng belum pernah berada di situasi yang begitu aneh seperti ini sebelumnya. Perasaan panik berkecamuk di dalam kepalanya.
Satu-satunya yang dia syukuri saat ini yaitu tak ada hal buruk atau hal tak mengenakkan yang terjadi. Xiafeng menarik napas dalam-dalam dan menenangkan diri. Kemudian, teriakan keras terdengar dari luar gubuk.
"Bakar si penyihir! Katedral Aderon akan membakar seorang penyihir!"
"Semuanya!"
"Bakar penyihir sialan itu hingga jadi abu!"
Kerumunan yang ada di luar itu terdengar sedang berbicara dengan logat-logat yang aneh. Xiafeng teralih dari rasa paniknya dan merasa penasaran. Dia berpikir dalam hati, "Penyihir? Ini dunia apa, sih?"
Sebagai orang dewasa, Xiafeng tentu bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi di sana. Tapi acara berpikirnya terhenti oleh suara dobrakan mendadak yang berasal dari pintu. Seorang bocah berusia 12 atau 13 tahun bergegas masuk.
"Lucien!" Bocah berambut coklat, yang mengenakan pakaian linen sampai ke lutut, itu berdiri di samping ranjang sembari berseru kaget. "Kau sudah bangun! Syukurlah!"
Setelah melihat gaya pakaian anak laki-laki yang sangat berbeda itu, Xiafeng mengangguk tanpa sadar. Pikiran tak masuk akal muncul di benaknya yang kacau. "Lucien ... Penyihir ... Katedral ... Terbakar ... Apa aku sedang ada di dunia yang berbeda? Atau di dimensi lain? Sepertinya ... Aku sedang berada di 'Abad Pertengahan' Eropa sekarang, pada masa ketika perburuan penyihir masih jadi hal yang lazim ..."
Sesuatu yang ada kemungkinan jadi buruk, akan jadi buruk. Hukum Murphy mengingatkan Xiafeng dengan cara yang kejam. Warna rambut dan baju anak itu membuktikan tebakannya. Xiafeng bisa mengerti dan bicara dalam bahasa yang tak dikenal ini, padahal dia bukanlah seorang ahli bahasa. Dia bahkan tidak mengerti jenis bahasa apa yang mereka pakai.
Bocah kecil, dengan beberapa noda hitam berdebu di wajahnya, tak terkejut sama sekali ketika dia melihat perilaku aneh Xiafeng. "Ibu tak percaya padaku. Dia selalu menangis selama tengah malam, dan matanya bengkak karena air mata, dia terus bergumam, 'Evan kecilku yang malang', seperti kau sudah mati dan dikubur di pemakaman."
"Ayah tak tahu harus berbuat apa, jadi dia meminta si brengsek bernama Simon itu untuk membawa pesan ke rumah Tuan Venn supaya meminta kakakku kembali.. Sekarang dia sudah jadi Pengawal Kesatria. Tentu saja, relawan dokter itu tak akan berani mengakui harga tak masuk akal yang dipasangnya di depan pengawal kesatria!" Bocah itu merasa sangat bangga dan berbicara dengan sedikit menaikkan dagunya.
"Tapi lihat, aku benar! Aku tahu kau akan baik-baik saja! Aku tahu itu!" Dia berbicara dan kemudian meraih lengan Xiafeng. "Ayo! Mereka akan membakar penyihir jahat itu. Dia itu si penyihir yang juga membuatmu masuk penjara dan diinterogasi sepanjang malam oleh penjaga gereja!"
Xiafeng ingin berpikir lebih jauh tentang situasinya saat ini, jadi dia sama sekali tidak tertarik untuk pergi keluar. Selain itu, mereka akan membakar seseorang hingga mati. Itu adalah suatu hal yang sama sekali tidak bisa diterima oleh Xiafeng yang baik hati—paling tidak, dia percaya dia baik hati. Tapi hal terakhir yang disebutkan anak itu mengejutkannya, "Penyihir itu ada hubungannya denganku?"
Oleh karena itu, Xiafeng berubah pikiran. Karena tangannya ditarik oleh bocah itu, dia jadi terhuyung keluar ruangan dan mengikuti bocah tersebut menuju katedral.
Xiafeng melihat orang-orang di jalan. Udara terasa hangat di luar. Kebanyakan pria mengenakan pakaian linen berlengan sempit, celana dengan warna yang sama, dan sepatu tanpa hak. Sementara itu, para wanita mengenakan gaun panjang yang tampak monoton dan dipotong tak rapi dengan saku besar. Gaun itu terlihat begitu sederhana dan tua.
Sebagian besar orang di sana memiliki rambut dan mata cokelat, sedangkan beberapa orang dengan garis wajah yang sempurna memiliki rambut merah atau hitam dengan mata hijau atau biru.
"Ini benar-benar Abad Pertengahan?" Xiafeng baru menyadari kalau dia sedang mengenakan pakaian yang sama.
Segera setelah mereka keluar dari perkampungan yang dipenuhi gubuk-gubuk pendek dan kumuh, mereka melihat katedral yang tidak begitu besar tetapi megah dengan suasana sendu. Katedral itu memiliki langit-langit yang melengkung tinggi. Di langit-langit yang paling besar, ada salib putih besar yang tergantung. Jendela-jendela di bawahnya terlihat begitu sempit dan kecil.
Sudah ada banyak orang yang berkumpul di sana. Sambil mengikuti langkah bocah kecil itu, Xiafeng tergencet di antara kerumunan dan terus mendorong ke depan. Ini tentu membuat beberapa orang jadi kesal dan membuat orang-orang tersebut menatap mereka berdua dengan marah. Tetapi orang-orang itu tahu kalau sebagai orang dewasa, mereka tidak bisa berlaku tak pantas di alun-alun Aderon.
Tak lama, Xiafeng bisa melihat ke depan. Mereka berada tepat di depan kerumunan sekarang.
Di tengah alun-alun, seorang wanita cantik berwajah pucat berumur sekitar 20 tahunan yang memakai jubah hitam sedang diikat ke kayu salib. Orang-orang ini sedang melemparinya dengan batu dan potongan kayu sambil berteriak, berkata kotor, dan meludah.
"Masuklah ke neraka! Penyihir terkutuk!"
"Kau ingin semua orang di Aderon mati!?"
"Tracy yang malang! Dia meninggal beberapa bulan yang lalu ... Pasti karena kau! Kau jahat!"
...
Wanita berjubah hitam itu dipukuli beberapa kali, tetapi dia hanya mengatupkan bibirnya yang pucat dan tipis dengan erat, tanpa mengeluarkan erangan. Dia memandang kerumunan dan berdiri di sana seperti patung,
Di depan kerumunan, terdapat seorang pria paruh baya yang mengenakan jubah putih longgar berbordir emas, dengan baret putih di kepala dan salib putih di tangannya. Dia tetap diam sepanjang waktu, tampak serius dan hormat. Beberapa pria dan wanita sedang berdiri di belakangnya. Mereka semua memakai jubah putih rapi yang sama. Wajah mereka tampak segar dan kemerahan, terlihat sangat berbeda dengan orang-orang miskin nan kotor di alun-alun.
Di belakang para orang berjubah putih, barisan penjaga lapis baja yang kuat sedang berdiri dengan memakai chainmail1.
Sang pria paruh baya itu melihat arloji sakunya dan melangkah maju. Dia mengangkat lencana bulat di tangannya.
Dalam sekejap mata, orang-orang yang merasa geram dan marah, yang sedari tadi sedang berdebat, langsung menutup mulut mereka rapat-rapat dan terdiam.
Xiafeng sampai bisa mendengar suara angin yang berembus menerjang pakaian mereka.
Dia sangat takjub. Bahkan di masyarakat modern, sikap patuh dan respons cepat seperti ini membutuhkan setidaknya beberapa bulan pelatihan. Otoritas atau kekuatan macam apa yang bisa membuat semua orang miskin itu begitu patuh seperti tentara?
Sang pria paruh baya sedang memegang lencana dan berbicara dengan suara lirih tetapi bergema di seluruh penjuru alun-alun, "Kau pendosa yang malang. Kau ditipu oleh iblis dan menjadi tamak akan kekuasaan. Baik tubuh dan jiwamu telah rusak. Hanya cahaya suci yang bisa menyucikanmu. Itu adalah hukuman sekaligus belas kasihan Tuhan. "
"Bakar saja dia! Bakar saja dia!" Teriakan mereka mulai menyatu dan semakin keras.
Pemandangan orang-orang fanatik yang berteriak kencang disaat bersamaan membuat Xiafeng merinding. Jika mereka tahu dia datang dari dunia yang berbeda, Lucien, atau lebih tepatnya, Xiafeng, yang tubuhnya telah dirasuki oleh 'iblis', akan menjadi orang selanjutnya yang berada di tiang gantungan itu.
"Sebelum cahaya suci menyinarimu." Pria itu berujar dengan penuh belas kasih, "Akui dosamu! Rasa penyesalan yang tulus dapat menyelamatkan jiwamu. Kemudian jiwamu akan naik ke surga di tempat Tuhan tinggal."
Si wanita berjubah hitam tiba-tiba mulai tertawa melengking seperti orang gila dan suaranya amat keras. "Apa yang aku inginkan yaitu kebenaran sihir, bukan sosok Tuhan! Bakar aku! Aku akan menyaksikan surgamu dihancurkan dan katedralmu runtuh dalam kobaran api!"
"Gila!"
"Sungguh keji!"
"Dia mengutuk uskup! Bunuh mereka semua! Para penyihir terkutuk ini memang pengikut para iblis!"
"Bakar dia sampai jadi abu!"
Uskup tetap diam, tetapi para orang miskin berteriak dengan histeris.
Ini adalah pertama kalinya bagi Xiafeng melihat kekacauan menakutkan semacam ini. "Terlalu berbahaya di sini." Dia merasa sangat terkejut.
Meskipun dia kasihan pada wanita itu, tetapi Xiafeng tidak berani melakukan tindakan apapun, atau orang-orang gila ini akan mengeksekusinya dengan jumlah batu yang amat banyak. Xiafeng juga merasa bingung saat dia menyadari kalau tidak ada kayu di bawah wanita itu.
"Bagaimana mereka akan membakarnya tanpa tumpukan kayu bakar?"
Uskup mulai berdoa, suaranya keras dan dingin, "Kau, sang pendosa. Pergilah ke neraka bersama dengan cahaya suci!"
Salib di tangannya tiba-tiba mengeluarkan cahaya yang amat kuat. Cahaya itu begitu menyilaukan, sehingga semua yang bisa dilihat Xiafeng hanyalah cahaya suci putih.
Sang uskup terlihat seperti memegang matahari kecil, tampak berwibawa, murni, nan agung. Semua orang menundukkan kepala dan mulai berdoa, termasuk si bocah kecil.
Sinar-sinar berkumpul dan berhasil melesat ke langit biru. Ketika sinar itu mencapai langit-langit katedral, cahaya memantul kembali dan jatuh dengan lugas di tiang gantungan.
Api merah yang ganas berkobar bahkan lebih tinggi dari tinggi seorang manusia, lalu api tersebut melahap wanita itu.
Dia tertawa dan mengutuk dengan tanpa ampun.
"Dalam nyala api, aku akan menyaksikan surgamu yang megah itu dihancurkan."
"Dalam nyala api, aku akan melihat rumah Tuhanmu yang luar biasa itu runtuh."
"Dalam nyala api, aku akan menyaksikan kalian semua membusuk selamanya!"
...
Teriakan dan kutukannya yang mengerikan masih bergema di telinga orang-orang sampai penyihir itu terbakar menjadi abu.
Namun, Xiafeng benar-benar terpana sejak awal ketika salib itu memancarkan cahaya yang menyilaukan.
"Ini bukan Eropa abad pertengahan ..."
"Ini adalah dunia di mana sihir benar-benar ada!"
"Namaku ... Lucien ..."