webnovel

Lembayung di Angin Malam – bagian 2

編集者: Wave Literature

Malam pun tiba. Empat bersaudara dari asrama 1987 sedang berjalan di jalanan Institut Ernst yang gelap nan sepi. Mereka bercakap santai tentang apa yang terjadi selama dua bulan terakhir.

"Separah itu?" Reynolds yang terkesima menarik baju Linley. Melihat bekas luka sayatan di dada Linley, dia hanya bisa menahan napas. George yang ada di dekatnya juga terdiam. Hanya Yale yang bisa tertawa, "Haha, kalian ini tidak berpengalaman. Waktu aku kecil dulu, aku pernah melihat yang lebih parah dari ini."

"Boss Yale, kau serius?" Reynolds berkata dengan kagum.

Yale tersenyum angkuh. "Tentu saja aku serius. Aku melihat cukup banyak yang seperti itu. Misalnya, membunuh para tahanan dengan siksaan. Atau orang-orang bertarung melawan Magical Beasts dengan tangan kosong. Ketika mereka bertarung dengan tangan kosong melawan monster itu, mereka dikelilingi oleh banyak penonton. Sungguh pemandangan yang mengerikan."

Mendengar perkataan Yale, Linley mampu membayangkan kejadian itu.

"Rasanya berada di kampus ini lebih nyaman." Keluh George.

Linley pun mengangguk tanda setuju. Di malam itu, banyak pasangan yang sedang berjalan bersama di jalan, beberapa di antara mereka bergandengan tangan, yang lainnya duduk bersama di balik patung Magical Beast. Kehidupan di kampus ini sungguh menyenangkan.

"Baiklah. Boss Yale, bukankah malam ini kau akan pergi dengan pacarmu? Kenapa kau belum bersiap-siap?" Tiba-tiba Reynolds berkata.

Yale berkata dengan tidak senang. "Pacar? Saudaraku baru saja kembali dari Mountain Range of Magical Beast setelah menghadapi berbagai situasi yang mengancam jiwanya. Lalu aku mau menghabiskan waktu dengan pacarku? Reynolds, kau harus mengingat hal ini: saudara itu seperti tangan dan kaki, sedangkan pacar hanya seperti pakaianmu. Mereka itu untuk bersenang-senang saja."

Wajah Reynold segera menunjukkan ekspresi jijik.

"Linley!" Terdengar suara mengejutkan dari jauh.

Linley dan yang lainnya menoleh dan melihat soerang wanita muda yang tinggi, langsing, cantik, berambut keemasan, sedang berlari ke arah mereka dengan gembira. Setelah mendekat, dia berseru dengan kaget "Linley, kau sudah kembali dari Mountain Range of Magical Beasts? Bagus sekali. Kau telah menghilang selama 2 bulan penuh kali ini. Aku sungguh khawatir. Apa kau terluka?"

"Delia, aku baik-baik saja." Linley menjawab sambil tertawa.

Delia juga merupakan seseorang yang dikenalnya saat baru masuk sekolah. Mereka sangat dekat. Saat bersama Delia, Linley bisa benar-benar merasa santai, tanpa tekanan mental sama sekali. Rasanya sama dengan saat dia bersama ketiga saudaranya.

"Delia, kereta paman ada di luar menunggu kita. Ayo, jangan buang waktu." Terdengar suara dingin.

Linley menoleh dan melihat seorang pemuda berjubah panjang sedang berdiri di kejauhan. Dia adalah kakak Delia, Dixie, salah satu dari dua jenius di Ernst Institute. Jubah Dixie sangat bersih dan rapi, tanpa ada kotoran maupun noda. Matanya juga tampak sangat jernih dan tenang.

"Oh." Delia menatap Linley sambil mengeluh kecewa. "Linly, ayah menyuruh aku dan kakakku pulang. Kereta kami ada di luar menunggu kami. Aku harus pergi sekarang."

"Baiklah, Delia. Kita bisa mengobrol saat kau kembali nanti." Linley menjawab sambil tersenyum."

"Baiklah. Sampai jumpa." Delia jelas merasa kecewa karena kehilangan waktu untuk mengobrol dengan Linley. Dixie pun berjalan mendekati mereka. Dia menatap Delia dan Delia segera berjalan ke arahnya. Namun kemudian Dixie menoleh ke arah Linley. "Linley, kudengar kau berhasil kembali dari latihanmu di Mountain Range of Magical Beasts. Selamat."

Linley tertegun.

Dixie benar-benar sedang berbicara kepadanya?

Sikap Dixie yang dingin dan penyendiri sudah dikenal di seluruh Ernst Institute. Kebanyakan orang akan merasa tertekan jika berada di dekat Dixie, apalagi jika matanya yang dingin dan jernih itu menatap mereka. Tekanan psikologis itu cukup kuat untuk membuat seseorang merasa tegang.

"Oh, terima kasih." Jawab Linley.

Dixie hanya mengangguk sedikit, lalu menggiring adiknya, Delia, menuju gerbang sekolah.

…..

Austoni mengamati Linley dengan hati-hati, dan mendesah penuh kekaguman. "Linley, harus kukatakan kau ini seorang jenius. Super jenius! Seorang pemuda berusia 15 tahun yang paling jenius di antara para jenius di Mage academy nomor satu di benua Yulan, dan juga seseorang yang telah meraih tingkat tinggi dalam seni patung batu."

"Kau bisa mencapai semua ini merupakan sebuah keajaiban."

"Lupakan sejenak bahwa kau memang seorang Mage yang jenius, bahkan dalam bidang seni sekalipun. Saat ini, sebagian besar pemahat yang layak untuk kami undang untuk membuka booth pribadi di Hall of Experts usianya setidaknya 40 tahun. Kau adalah yang termuda. Bahkan dalam sejarah kami, hanya ada dua jenius lainnya yang setara denganmu. Namun perbedaannya, yah… kau ini bukan hanya pemahat jenius. Kau juga merupakan Mage jenius. Wow… betapa jenius."

Kata-kata sanjunga Austonu membuat Linley malu dan tidak tahu harus berkata apa.

"Austonu, jangan buang waktu. Cepatlah selesaikan. Kami, empat bersaudara ini, ingin pergi dan bersenang-senang." Yale mendesak.

Barulah sepertinya Austoni bisa menguasai diri. Dia segera mengambil setumpuk dokumen dan menarik sebuah kartu silver magicrystal. Sambil tersenyum, dia menunjukkan kartu itu pada Linley. "Linley, kartu silver magicrystal ini dibuat khusus oleh Golden Bank di Four Empire. Ini merupakan tanda bahwa kau adalah salah satu master sculptor kami. Nantinya, semua penghasilan dari penjualan hasil karyamu akan langsung kami transfer ke rekeningmu dengan kartu ini."

"Saat ini, kartu silver magicrystal ini belum memiliki tanda kepemilikan. Gunakan sidik jarimu untuk menandai kepemilikanmu. Baru setelah itu kau bisa menggunakannya." Austoni menyerahkan kartu itu kepada Linley dengan hati-hati. Lalu dia berkata dengan penuh semangat, "Linley, kalau boleh aku bertanya, apa saat ini kau membawa hasil patungmu untuk kami?"

Linley mengangguk cepat. "Ya, aku membawanya. Jumlahnya ada tiga."

Senyum Austoni pun segera menjadi lebih cerah.

…..

Malam hari, di Jade Water Paradise. Ada Linley, George, dan dua orang penghibur, mereka sedang minum sambil mengobrol dan tertawa. Saat itu, Reynolds dan Yale sudah sedari tadi masuk ke kamar mereka dengan penghibur mereka masing-masing.

"Ya ampun, dasar kedua anak itu, Boss Yale dan saudara keempat…" Linley meneguk secangkir anggur sambil berkata kepada George, yang sedang tertawa dan mengobrol dengan gadisnya. "Saudara kedua, kepalaku agak pusing. Aku akan keluar sebentar mencari angin."

"Baiklah." George menjawab, lalu melanjutkan obrolan dengan pendampingnya.

Linley turun dan langsung pergi dari Jade Water Paradise. Setelah meninggalkan tempat hiburan itu, Linley langsung merasakan hembusan angin malam yang dingin dan menyegarkan. Pikirannya pun jernih kembali. Dibanding Jade Water Paradise, di luar sini jauh lebih tenang dan tentram. Linley lalu berjalan-jalan santai di sekitar jalanan Kota Fenlai.

Angin malam yang sejuk terasa sangat menyegarkan.

Di saat yang sama, Alice sedang memandang bulan yang bersinar terang di langit yang bersih. Dia tidak dapat berhenti memikirkan Linley yang telah menyelamatkan nyawanya.

Saat itu, ketika dia tidak berdaya, dia seakan dikirim oleh para dewa untuk menghabisi Bloodthirsty Warpig itu dan menyelamatkan nyawanya. Kejadian itu sungguh mengguncangnya. Bahkan bisa dibilang kejadian itu meninggalkan kesan yang mendalam baginya."

"Kakak Linley memang agak pendiam, namun jika sudah bicara soal magic, dia jadi sedikit tampan." Sebuah senyum kecil terbentuk di wajah Alice saat mengenang kejadian itu.

Tiba-tiba Alice melihat sesosok tubuh berjalan di jalan bawah. Dia rasanya mengenal sosok itu. Dia mengamati lebih dekat dan langsung mengenalinya. Senyum pun mengembang di wajahnya. Dia cepat-cepat melambai sambil berteriak, "Kak Linley, Kakak Linley!"

Linley yang sedang berjalan-jalan sambil menikmati malam yang sejuk itu, mendongak penasaran mendengar seseorang memanggil namanya.

Di sebuah balkon jauh di atas, ada sesosok bayangan dengan busana berwarna lembayung. Sosoknya terhalau oleh cahaya bulan di belakangnya. Gaun lembayung yang membalut tubuhnya berkibar terkena angin malam. Tiba-tiba tercium oleh Linley aroma tubuh Alice.

Wangi itu sungguh mempesona…

"Alice…" Linley pun segera berjalan menuju balkon itu.

次の章へ