"Elu masih galon (gagal move-on), Sen?" adalah apa yang ditanyakan Herma, orang yang seharusnya adalah musuh bebuyutan Sean karena STM mereka bersebrangan dan hobi berantem, saat dua remaja ini berbincang hangat di depan salah satu minimarket yang berada di pertengahan jarak rumah mereka. Ceritanya kalau di luar sekolah, duo manusia ini 'best buddy'. Mereka bahkan mengaku menjadi teman sejak masih di orok.
"Lu beneran suka ke kakak mahasiswa itu?" pemilik kulit tan yang sedang mengunyah roti sosis bertanya. Dia memandang lekat temannya yang sedang asyik genjreng-genjreng, bersenandung tak jelas sambil corat-coret sesuatu di kertas.
"Mmm, gimana ya ..." Sean yang ditanya, bergumam tanpa mendongakkan kepala. Jarinya masih sibuk di atas kertas. Fokusnya tertambat pada apa yang tengah ia kerjakan. Untaian kata di bawah not-not balok. Terlihat di sana-sini dipenuhi coretan, menandakan apa yang sedang Sean buat ini fresh dari otaknya.
Herma mengamati sahabatnya sedari tadi. Dari tempatnya duduk, dia bisa membaca tulisan di kertas itu. Helaan napas ia buang. "Saran gua lu nyerah aja, mustahil bet lu nyariin dia," pemuda berkulit tan dengan rambut hitam berantakan itu menasihati. Matanya pancarkan keseriusan, dia tak main-main dalam meminta Sean untuk meninggalkan apa yang tengah si coklat lakukan. Sumpah. Semua cuma buang-buang waktu.
"Ih males, gua udah berjuang segininya … masa harus menyerah?" Sean tak hiraukan perkataan Herma, bahkan dia mengibaskan tangan sebagai implikasi jika ide kawannya itu sangat mustahil. Herma hanya memutar matanya melihat hal ini. Cepat dia menenggak colacola kaleng yang dia pegang sebelum kuat, dia lempar tuh kaleng ke kepala Sean.
"ANJREEET!!" seperti dugaan, Sean misuh. Ia mengusap-usap kepalanya yang panas sambil melotot ke arah Herma. Yang melempar hanya mengendikkan bahu, wajahnya tanpa dosa, ekspresi itu be laik: 'sorry, pala lu kayak tong sampah, makanya gua lemparin kaleng'.
Setelah menggebrak meja bulat tempat di depannya, Sean cepat berpindah tempat. Tangannya meraih botol minuman ion besar dan kuat CETUUUAAAK! dia gibeng si Herma. Berikutnya apa yang terjadi? Wo ya tinju-tinjuan cakep dongs.
Namun agaknya, pegawai mini market tempat Herma dan Sean berada kini, telah terbiasa. Mereka hanya menonton sambil lalu, bodoh amat dengan keributan. Oh, managernya turun sih, dia tergopoh ke depan toko dan meletakkan box di dekat dua manusia itu "Artos na pak, bu (uangnya pak, bu)," dia kemudian menyapa audience. "Ah, mangga, tingal ieu barudak nuju latihan olah tubuh! Jaman kiwari, bela diri teh penting. Sugan tina partunjukan ieu, urang janten leuwih paham blablabla (ah, silahkan. lihat, anak-anak ini lagi latihan olah tubuh! jaman sekarang, bela diri itu penting. Semoga lewat pertunjukan ini, kita jadi lebih paham blablabla)."
Banyak pengunjung terkejut dengan pengumuman yang dilakukan sang pria dewasa itu, tapi tak banyak dari mereka yang stay untuk mendengarkan detail apa yang tengah terjadi. Mereka seolah tak mau terlibat. Orang Indonesia kan suka yang gratis, kalau ada bayar dikit langsung melipir.
Yak begitulah sampai 10 menit kemudian. Baru ketika dua manusia ini sudah mendinginkan kepala, pak manager itu menyeret mereka masuk daaaan haha, di dalam sana dua anak STM ini disemprot habis-habisan. Minimarket ini tempat Herma bekerja sambilan, jadi mereka tak bisa menolak karena secara hierarki, yang menyeret mereka itu bos Herma.
Sambil mendengar kuliah malam dari bapak manager, dua manusia itu duduk bersimpuh di ruangan khusus pegawai. Gitar dan barang bawaan Sean tak dibawa masuk, tapi kata Pak Manager tadi 'sudah diamankan'. Setidaknya dengan begitu dia anteng di dalam.
Selama edisi semprotan manager ini, Herma memandang Sean dari ujung mata. Tatapannya penuh makna. Dia tidak terkejut dengan fakta Sean tiba-tiba bilang jatuh cinta pada mahasiswa berbatang. Yah, melihat Sean memiliki muka tegas dengan rambut acak-kadut terus kalau ke SMKnya udah bikin kaum hawa teriak histeris "Seaaaan! Rahim gue angeeet!" dan doi nggak pernah pacaran 17 tahun ... itu sudah jadi tanda-tanda orientasi seksual bocah ini, kan ya?
Namun sampai detik ini, Herma masih tak habis pikir. Sean sampai membuat lagu, mencari teliti di setiap medsos yang ada di internet, kelabakan mencari event sana-sini agar namanya booming dan konten buatannya viral, hanya demi seseorang yang ketemu dengannya hanya sekali! Kelakuan bucin yang membagongkan nggak sih? Nah iya, Herma hanya ingin menyadarkan temannya … kelakuannya sudah melampaui batas normal.
Iya kalau dia dapat 'balasan' dari si kakak. Nah, Sean? Kagak. Dia berjuang dari seminggu setelah demo itu … sampai sekarang, semua zonk tanpa hasil!
"Jadi kenapa kalian berantem kali ini?" bersedekap, lelaki berkacamata dan berkumis tipis itu bertanya pada dua bocah di depannya.
Sean dengan muka serius menjawab, "saya kena lemparan kaleng pak. Ya saya tidak terima dong. Seperti biasa …" Sean menunjuk ke arah Herma, "dia yang memulai."
Pak manager langsung menoleh ke arah Herma. Dan ROOOAAAR amukan part II dimulai.
Begitu terus sampai setengah jam berlalu.
Pulang-pulang, Sean merasakan mukanya berair. Pak Manager kalau marah ludahnya sampai keluar semua. Hrrrr.
"Mau kemana kita?" Herma bertanya sambil mengeluarkan kunci motor dari kantong celana. Ia mainkan benda itu, lempar-lempar ke udara sambil menanti kawannya membalas pertanyaannya. Sean sendiri sedang mengetuk-ketuk dagunya, dia tampak berpikir keras.
Mau balik sekarang? Di rumah juga tidak ada siapa-siapa, bahkan pak satpam saja tak ada. Jadi? Buat apa dia pulang kan ya?
"Skuy ke rumah lu aja, Her," membetulkan tas besar gitar di punggung, Sean memandang lurus ke arah kawannya. Muka itu tunjukkan determinasi untuk tidur menginap di apartemen si tan. Tawa kecil meluncur dari bibir Herma melihat wajah Sean, dia sudah menduga akan begini akhirnya.
"Okis. Tapi jan kaget ya … biasa, you know what lah," kata pemuda yang lebih tinggi itu ketika sudah di dekat moge kesayangannya. Buru-buru dia naik, membetulkan posisi dan melemparkan helm ke arah Sean. "Ayo naik," katanya seraya mengunci belt helm.
Sean terkekeh. Cepat dia menaiki motor di depannya sebelum tiba-tiba dia nyabuk. Serius. Nyabuk. Tangannya melingkar di pinggang Herma dan terkunci di depan sana, di lokasi yang sedikit berbahaya. Erm, dekat gundukan itu.
"Sen ..." Herma melengos. Ia melirik tajam ke arah pemuda yang bukannya menarik tangannya malah nyengir kuda. Padahal muka Herma sudah jutek abis nih ya.
"Lu fokus nyetir. Gua ngantuk, makanya gua nyabuk. Biar kaga jatoh," balas Sean tanpa merubah lokasi tangan. Eh dia malah makin menyender ke punggung besar Herma.
Herma menegang sesaat atas intimasi yang diberikan ini. Namun tidak berkomentar apa pun, dia menarik gas dan melesat meninggalkan lokasi.
[]