webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Lainnya
Peringkat tidak cukup
63 Chs

UF2568KM || 56

Rein meremas kasar kertas yang tengah digenggamnya itu dan ia melemparkannya pada air yang tak ia pedulikan berapa kecepatan mengalirnya perdetik.

Angin malam serasa menerpa juga menusuk pada tubuhnya, ditambah banyaknya kendaraan yang berlalu-lalang di belakangnya membuat kebisingan di malam ini.

Ia tak pernah melakukan hal ini sebelumnya, tapi entah mengapa tiba-tiba saja otaknya menyerukan untuknya pergi ke tempat ini seorang diri. Mungkin untuk beberapa mata yang berprasangka buruk, mereka mengira jika gadis itu akan terjun dan menenggelamkan dirinya. Tapi, sebenarnya ia hanya merasa bosan dan sama sekali tidak memiliki niatan dan alasan untuk mengakhiri hidupnya. Ia hanya ingin menenangkan dirinya saat ini.

Mungkin beberapa orang akan menyepelekan keadaannya saat ini. Tapi, tolong pahamilah. Masalah sekecil debu atau sebesar semesta pun akan terasa mudah atau sulit sesuai dengan kekuatan mental yang dimiliki seseorang.

Masalah cinta yang dipadukan dengan persahabatan mungkin dianggap sepele oleh sebagian orang. Tapi, tidak untuk Rein. Untuknya yang tak terlalu pandai bergaul, ia selalu ingin mempertahankan apa yang telah dimilikinya. Pertemanan atau persahabatan begitu sangat ia hargai dan ia usahakan untuk tetap berada di posisinya. Lantas, bagaimana jika di antara mereka bertolak belakang dengan kehendaknya dan berusaha untuk berpindah posisi dari sahabat menjadi seseorang? Memang benar adanya, tidak ada persahabatan antara pria dan wanita.

Rein selalu ingin menjadi seseorang yang begitu setia. Tapi, rasanya keadaan sama sekali tak mendukung. Ia begitu benci ketika seseorang yang sangat ia cintai itu mengabaikannya ketika datangnya seorang gadis yang begitu dekat dengan posisinya selama ini. Rein malas menahan rasa rindu dan terbakar api cemburu. Jadi oleh karena itu, ia selalu mencari kebahagiaannya sendiri di sini. Jujur saja, terkadang kehadiran Barra maupun Sakti menjadi sumber kebahagiaannya di beberapa waktu yang tepat.

Kadang ia berpikir, jika sampai suatu hari terjadi di mana ia benar-benar jatuh pada salah satunya, siapa yang harus ia salahkan? Dirinya, atau seseorang yang lain?

Entahlah, Rein tidak mengetahuinya. Ia hanya memikirkannya saja, bukan mengharapkannya.

Rein begitu menginginkan jika dirinya dan Haris dapat melangkah bersama menuju ke jenjang yang paling serius. Tapi, ketika ia perhatikan keadaan hubungan mereka saat ini, rasanya begitu meragukan dan ia juga sudah malas untuk menjalaninya. Ia ingin mengakhirinya, tapi ia masih begitu menyayangi hubungan ini. Ia tengah dilanda kebingungan saat ini dan ia sudah begitu lelah. Sejujurnya, ia sama sekali tak menginginkan kisah ini ada di dalam hidupnya.

Hidupnya terasa begitu rumit setelah ia mengenal apa itu yang namanya percintaan. Semuanya terasa menjadi serba salah.

• • •

'Tak'

Sebotol susu diletakkan di atas meja oleh tangan seseorang yang melewati mejanya pagi ini.

"Ambil. Gue gak butuh," perintahnya dengan nada bicara yang terdengar begitu dingin. Suaranya yang terdengar begitu dingin itu mampu menghentikan langkah seseorang tersebut.

Ia bangun dari duduknya dan meraih sebotol susu itu untuk dikembalikan pada orang yang telah memberikannya.

"Lo becanda, Rein?"

"Gak, gue emang gak butuh," jawabnya seraya ia menyodorkan sebotol susu tersebut. Bukannya langsung menerimanya kembali, orang itu malah tersenyum simpul dan menatap dalam manik indahnya.

"Lo dingin banget sama gue. Jadi lo bener-bener udah benci banget sama gue, Rein? Iya gue tau gue udah ngelakuin hal yang bodoh. Tapi, salah ya kalo gue berharap kita bakal kek dulu lagi?"

Rein menghela napasnya lelah. Ia meletakkan sebotol susu itu di atas meja yang kemudian disusul olehnya yang sedikit menyandarkan belakang tubuhnya pada meja yang sama.

"Gue gak benci sama lo, cuma gue gak tau aja sama perasaan gue sendiri. Rasanya gue pengen sendiri terus ngelontarin pertanyaan-pertanyaan yang sama sekali gak penting. Lo jangan ganggu gue dulu, ya."

Barra hanya mampu menatap Rein yang pergi meninggalkan kelas. Dia ingin mengikutinya, tapi ia tahu jika diam adalah pilihan yang paling tepat saat ini.

Rein membawa langkahnya kian menjauh dari kelas juga area kampus. Ia berjalan menyusuri panjangnya trotoar hingga pada akhirnya ia menemukan seorang anak laki-laki yang berpakaian begitu lusuh dan kotor tengah terduduk di trotoar itu dengan ukulele di tangannya.

Rein menghampirinya dan mengambil posisi jongkok tepat di hadapan anak itu. Anak itu nampak terkejut akan kehadirannya, tapi dengan segera Rein memberikan senyumnya untuk meyakinkan anak tersebut bahwa dirinya bukanlah orang asing yang memiliki niat jahat.

"Kakak siapa?" Tanya anak tersebut.

"Panggil aja Kak Rein. Kamu, sendiri? Gak sama temen-temennya?"

Anak kecil itu menggeleng pelan, kemudian ia menunjukkan telapak kakinya yang berdarah. "Kakiku ketusuk duri, Kak. Makanya aku diem di sini dulu, kalo temen-temen udah pada pergi duluan tadi."

"Oh … gitu. Bentar, deh, kayanya Kakak ada plester." Rein membuka tasnya dan mencari barang kecil yang berguna untuk menutup juga mengobati luka kecil yang dimiliki oleh anak tersebut.

Setelah ia menemukannya, Rein pun segera menempelkan benda kecil itu pada luka sang anak.

"Kamu tau, gak? Ada luka yang lebih besar dari ini dan gak bisa diobatin hanya dengan sebuah plester. Lukanya gak punya wujud, tapi itu bener-bener nyakitin banget. Setiap orang bakal ngalamin, termasuk kamu. Kakak yakin kamu bakal jadi seseorang yang kuat di masa depan. Kenapa? Karena Kakak dapat melihat kamu yang udah berusaha tetep jalanin sebuah jalanan yang perih dalam kehidupan di usia kamu yang masih terbilang terlalu muda ini. Kamu anak yang beruntung, Tuhan ngasih kamu kekuatan buat kamu berusaha sendiri, gak seperti anak-anak manja di luar sana. Jadi, tetep bersyukur, ya."

Pria kecil itu mengangguk dan tersenyum. "Iya, Kak."

Rein pun ikut tersenyum. Ia mengambil dompetnya di dalam tas dan mengeluarkan uang sebesar 50.000 di dalammya. "Ini, buat jajan, ya. Semangat kamu mencari rezekinya, semoga dipermudah segalanya."

Anak kecil itu menerima uang yang diberikan oleh Rein dan mengantunginya. "Makasih, Kak. Kakak juga semoga cepat selesai masalahnya, dan semua yang udah Kakak lakuin sama aku, semoga diganti dengan yang lebih baik lagi."

Rein mengernyitkan dahinya. Ia keheranan, bagaimana bisa anak itu dapat mengetahuinya bahwa saat ini ia tengah memiliki masalah?

"Kamu tau aku punya masalah?"

"Kakak keliatan gak bahagia. Cepet bahagia lagi ya, Kak. Aku pergi dulu."

Anak itu beranjak dari duduknya dan mulai berjalan dengan kakinya yang sedikit pincang.

Setelah anak itu kian menjauh, Rein sedikit memijat pelipisnya. "Bahkan anak kecil pun tau kalo gue gak bahagia. Emangnya sekentara itu, ya?"

"Mba, kenapa?"

Rein terkejut saat tiba-tiba saja ada seorang pria asing yang menghampirinya dan sedikit menyentuh bahunya.

"O-oh, gak papa, kok. Permisi."

Rein pun berlalu dan ia memutuskan untuk kembali ke kampus karena sebentar lagi kelas akan segera dimulai.

• • •

"Bareng gue?"

Rein melihat ke arah samping kirinya. Di sana terdapat Barra yang tengah menawarkan untuk mereka pulang bersama seperti yang biasa mereka lakukan sebelumnya.

"Gue pulang sendiri aja," tolaknya sembari ia melangkahkan kakinya.

"Gak, ayo bareng gue aja!" Barra tidak akan berhenti sampai di sana, ia akan tetap membujuk hingga Rein bersedia pulang dengannya.

Rein kembali menghentikan langkah ketika Barra menghalangi jalannya itu. Di sisi lain ia melihat adanya seseorang yang tiba-tiba saja berdiri dengan sedikit jarak di belakang Barra.

Rein kemudian sedikit memutar tubuh Barra agar pemuda itu mau membalikan tubuhnya untuk melihat orang tersebut.

"Gue duluan," ucap Rein dan ia pun segera berlalu meninggalkan Barra dengan orang tersebut.

"Kenapa?" Barra mencoba untuk membuka percakapan mereka agar semuanya cepat selesai. Ia ingin mengejar Rein setelah ini.

Tak kunjung membalas, Chaerin hanya memberikan tatapan sendunya pada Barra. "Kenapa, Chaer?"

"Aku gak mau putus sama kamu. Aku gak peduli kalo pada akhirnya aku gak akan pernah dapetin hati kamu, asalkan kita bisa bersama, aku bakal ngerasa cukup dengan itu."

"Maaf, aku gak bisa. Kita gak bakal bahagia dengan cara itu. Kamu berhak dapetin yang tulus sama kamu. Jangan berhenti di aku, aku gak baik buat kamu. Kita ikhlasin aja, ya, kamu juga berhak bahagia walau tanpa aku."

"Tapi kebahagiaan aku ada di kamu. Aku harus gimana?"

Barra memberikan sebuah saputangan pada gadis itu yang lagi-lagi kembali meneteskan air matanya.

"Gak seharusnya kamu tangisin cowok kek aku. Maaf aku gak bisa turutin lagi apa yang kamu mau. Kita udah selesai sekarang."

Barra sedikit menaikkan tali ranselnya sebelum ia melangkah pergi untuk meninggalkan Chaerin. Barra dapat mendengar Chaerin yang mulai terisak di belakang sana. Merasa bersalah itu pasti, tapi Barra ingin membuat gadis itu secepatnya untuk melupakannya agar ia tak memelihara rasa sakit di hatinya.

"Semoga secepatnya lo dapet obat yang bisa ngobatin lo seumur hidup, Chaer.'

Saat Barra sampai di parkiran, ia melihat Rein tengah menunggunya di sana. Rupanya gadis itu mau menerima ajakannya tadi.

"Sorry gue lama."

"Gak papa."

Mereka pun memulai perjalanan mereka untuk pulang. Di sepanjang jalanan itu yang tercipta hanyalah sebuah keheningan di antara mereka.

Rein tidak menyadari jika sedari tadi ponselnya terus berbunyi. Ya, Haris terus menghubunginya, tapi karena dengan berisiknya kendaraan di jalanan, gadis itu pun tak dapat mendengarnya.

Tapi, jika ia mendengarnya pun belum tentu ia mau untuk mengangkatnya ketika mengingat dirinya masih memiliki rasa kesal terhadap pria itu.

•To be Continued•