webnovel

Chapter 25

Sudah berapa menit mereka berdua saling tatap mata tanpa kalimat terucap dari bibir mereka sendiri. Monika sebenarnya suka dengan wajah suaminya, walaupun wajahnya itu sangat menjengkelkan. Dua tahun pernikahan bukan sebentar, tetapi tidak terasa perjalanan menjadi seorang istri.

Pada dasarnya Monika tidak bisa melakukan apa pun atas tindakan dari mamanya sendiri, menikah secara paksa bukan tujuannya. Tetapi melihat usianya sudah bercukupan, mau tidak mau dia harus menuruti kemauan mamanya. Mungkin saja dengan perjodohan tanpa mengenal satu sama lain, Monika sudah tekad akan menjadi istri yang baik.

Bahkan saat menjadi istri Nico, Monika dikejutkan perjodohan itu. Ya, Monika telah mengenal siapa Nico ketika perjodohan itu berlangsung tanpa rencana dan diketahui olehnya sendiri. Monika bekerja di perusahaan PT. ACLARIS DELTA ATLANTIC adalah milik Nico sendiri.

"Apa ini yang dinamakan takdir?" Monika berkata sesuatu pada Nico.

"Maksud kamu?" Nico balik bertanya, dia tidak tahu maksud kata dari istrinya.

"Sebelum menikah denganmu, apa kamu sudah tahu kalau kamu akan dijodohkan oleh seseorang? Bahkan calon istrimu itu adalah seorang staf bekerja di perusahaan mu?" jawab Monika, kali ini kata-katanya serius.

Nico mengangkat satu alisnya, setelah mendengar jawaban dari istrinya. Dia berbalik posisi lurus sambil menatap langit kamarnya. Monika setia menunggu penjelasan dari suaminya itu. Dilihat arah samping, pasti Nico akan sulit menjelaskan dari jawaban serta pertanyaan tadi.

"Atau kamu ...."

"Aku juga tidak tahu, kalau calon istri aku itu adalah kamu," potong Nico sembari melirik Monika nanar.

"Benarkah? Memang dihari perjodohan itu mereka tidak menunjukkan sebuah photo kepadamu?"

"Tidak? Aku sendiri saat pulang kerja, nenek Gwen langsung bilang besok ke rumah sahabat almarhum mama dan papa,"

Monika bangun dari posisi tidurnya menjadi posisi duduk. Suasana kamar mereka merasa aneh, Nico malah mendongak sembari menatap istrinya dari miming wajah istrinya itu banyak yang dia pertanyakan.

"Kenapa? Kamu mengira aku berbohong? Aku benar-benar tidak tahu, kalau calon istriku itu adalah kamu. Setelah tiba di depan rumahmu, aku tidak menandakan sesuatu yang aneh. Pas mama kamu muncul dan menyambut kami sangat sopan. Beberapa jam di rumah kamu itu sungguh membosankan banget, hingga tiba suara mesin mobil masuk ke halaman rumah. Mama kamu menyambut dirimu, barulah aku terkejut, dan pastinya kamu juga merasakan hal itu, bukan?" terang Nico sambil menjelaskan sedetail saat bertemu dengan Monika tersebut.

"Aku tidak menyebut kamu berbohong, jadi jangan prasangka buruk dulu," sinis Monika ketika dituduh mengatai Nico itu pembohong.

"Misalkan saja. Kenapa kamu menanyakan perjumpaan kita? Kamu menyesal sudah menikah denganku? Apa karena sikap aku terlalu kasar, judes, galak, dan tidak pikirin status kita di dalam pekerjaan?" ungkap Nico, lagi-lagi terbawa emosi.

Monika bungkam tidak membalas ungkapan emosi dari suaminya. Bukan itu yang dia bahas, sudahlah Monika pun tidak akan melanjutkan pembahasan ini pada ujungnya Nico tetap akan menyalahkan pertanyaan dua tahun itu.

Nico memperhatikan istrinya tidak membalas lagi ungkapannya dan kini Monika kembali untuk tidur. Sekarang posisinya memunggungi Nico. Nico langsung tersadar kalau sikap istrinya acuh padanya, berarti ada kata-kata yang sudah menyinggung perasaannya. Nico langsung memeluk istrinya dari belakang. Monika merasakan pelukan itu apalagi embusan napas dari Nico.

"Maaf, aku bukan maksud menyinggung soal tadi. Aku lakukan itu, agar yang lain tidak sirik pada hubungan kita. Aku tahu ini akan sulit, akan ada waktunya kita bisa berdamai," ujar Nico setelah mengutarakan rasa bersalahnya. Meskipun Monika tidak menyahut atas permintaan maaf dari suaminya.

****

Esok paginya Rui dan Aldo bersiap untuk menjemput Albert di rumah Monika. Sebelum ke rumah Monika, Rui pagi-pagi bikin sarapan untuk suaminya dulu, tidak lupa bikin sesuatu untuk Monika pastinya. Bukankah waktu itu Monika repot-repot masak untuk mereka satu keluarga. Untuk membalas budi itu diwajibkan oleh Rui sekarang.

"Apa yang kau bawa itu?" Aldo bertanya pada Rui setelah dia masuk ke mobil.

"Sup obat buat Monika, aku sengaja masak banyak sebagai tanda terima kasih sudah menjaga Albert," jawabnya senyum sambil meletakkan tempat sup itu di belakang bagian depan dia duduk.

Aldo tidak menanyakan lagi, segera dia menghidupkan mesin mobil, kemudian Bibi Nina tiba-tiba berlari kecil sambil membawa sesuatu di tangannya.

"Pak! Ini kelupaan!" Bibi itu segera menyerahkan sesuatu bungkusan di plastik hitam, membuat Rui curiga pada bungkusan itu.

Aldo yang bersikap dingin pun menerima tanpa mengucapkan apa pun pada Bibi itu. Setelah itu, mobil pun keluar dari halaman rumah mereka. Dalam perjalanan Rui penasaran sama bungkusan plastik yang diberikan oleh Bibi tadi.

"Bungkusan dari Bibi Nina tadi, apa?" Rui pun bertanya daripada dia penasaran. Ya, bukan bermaksud memikirkan hal-hal negatif. Sejauh ini Aldo tidak pernah membawa sesuatu saat akan ke rumah Monika untuk menjemput Albert.

"Cuma roti," jawabnya singkat.

Rui menganggukkan seolah dia tidak perlu dicurigakan lagi. Rui tidak akan mem-prasangka buruk terhadap suami sendiri.

Dua puluh menit kemudian, mereka sampai salah satu rumah kompleks. Dengan mulus Aldo memarkirkan mobil di samping rumah itu. Rui pun keluar dari mobil dan membuka pintu belakang mengeluarkan bawaannya. Lalu Rui juga akan bawa bungkusan hitam itu. Tetapi Aldo malah mengambil lebih cepat membuat Rui kembali penasaran atas sikap suaminya itu.

"Ayo masuk!" pintanya kemudian, dia lebih dulu melangkah kaki masuk ke rumah itu. Seolah kedua kakinya merindukan kenangan itu.

Rui yang masih di samping mobil dari kejauhan ada sesuatu disembunyikan oleh suaminya. Bahkan dia bermaksud untuk membawa bungkusan itu sebagai perwakilan dia. Segera Rui buang jauh-jauh pikiran negatif itu.

Tidak mungkin, dia tidak akan mengkhianati pernikahan ini, hanya sebuah roti, batin Rui, kemudian dia menyusul masuk.

****

Sedangkan keramaian suara anak kecil itu membuat Nico memilih sabar. Ya, pagi-pagi dia diganggu kembali oleh Albert. Padahal Nico berencana ingin libur satu hari untuk bermesraan dengan istri di kamar. Tapi, kalau sudah diteriaki alarm seperti Albert apa pun tidak akan bisa dia lakukan semena-mena.

"Om! Ayo! Masa begitu saja sudah capek?" suguh Albert sambil memukul pantat.

Monika cumanya bisa menggeleng kepala lihat tingkah anak itu. Santi mengangkat masakan ke piring lain.

"Kamu pikir Om ini sapi? Sekarang gantian?!" balas Nico menurunkan Albert dari gendongan belakangnya.

"Albet mana bisa gendong Om?! Albet kan masih kecil? Tinggi Albet sama tinggi Om beda?! Ayo, Om! Halaman belakang rumah belum?!" tolak halus oleh Albert sembari beri protesan kepada Nico.

"Tidak! Om capek?!" ucapnya kemudian dia mendaratkan pantat ke sofa tanpa menuruti keinginan Albert.

Albert langsung pasang muka merenggut udahan main-main, kemudian seseorang memukulinya tanpa sopan. Membuat Nico pun menoleh kesal saat dipukul tiba-tiba.

Plak!

Nico langsung menoleh karena kaget, dia baru mau istirahat sebentar sudah diberi sarapan empuk. Baru akan mengumpat, umpatan itupun  tergantung olehnya, "Kamu kurang--"

Albert terkekeh kecil di pelindungan seseorang setelah mendapat empukan tadi. Pasti sakit dong, rasanya gimana dapat pukulan dari gulungan koran?

"Main begitu saja sudah capek? Bagaimana sudah punya anak sendiri? Capek?" timpal Santi kepada menantunya.

"Bukan begitu, Ma," balasnya pelan.

Monika senyum-senyum kalau sudah lihat suaminya di tegur sama mamanya. Nico melirik istrinya menanti pembelaan, tetapi istrinya malah sibuk dengan peralatan dapur.

"Jaga anak orang lain saja sudah banyak mengeluh, gimana nanti cucuku diperlakukan seperti tadi? Belajar itu penting Nico! Masa aku harus nasihati kamu terus di depan anak seusia dia? Tidak malu apa sama anak kecil? Untung orang tua dia tidak di sini, kalau ada? Mau kamu taruh di mana muka kamu?" omel Santi kasihan Nico dikasih pidato sama mamanya Monika.

"Kalau punya anak sendiri itu beda dong, Ma!" protes Nico tidak suka saja kalau dia bandingkan anak orang.

"Apanya beda? Sama saja, kalau didikan kamu itu bermanfaat, kalau tidak bermanfaat? Kasihan cucu saya?! Ingat, ya! Saya masih menegur kamu. Saya masih menghargai kamu menantu di keluarga kami. Bukan karena soal permintaan dari almarhum orang tua kamu. Kalau bukan karena nenek Gwen, mungkin kamu sudah saya tendang di rumah ini?!" tegas Santi menceramahi dia.

Nico bungkam kekesalan makin bertambah. Apalagi ditambah sudah lapar, belum lagi kelakuan anak Aldo. Lama-lama itu anak pengin sembelih saja.

▶▶ BERSAMBUNG ◀◀

Bab berikutnya