TOK TOK TOK!!!
Suara ketukan pintu tiga kali membuat seorang wanita muda berusia dua puluh enam tahun itu berlari ke arah pintu dengan sangat tergesa-gesa. Napasnya jelas saja tersengal-sengal, apalagi tak bisa dipungkiri jika wanita cantik itu kini tengah berbadan dua, hamil besar malah. Wanita yang memegang pinggangnya itu langsung membuka pintu dengan wajah pucat pasi. Seketika matanya langsung terbelalak kaget diiringi dengan mulut menganga. Pemandangan itu adalah pemandangan yang sama sekali tidak pernah ingin Alda lihat. Pemandangan itu adalah pemandangan yang membuat Alda langsung merosot sampai terjatuh.
"Selamat siang, apakah benar jika ini adalah rumah dari Pak Adesvin Williams?" tanya seorang polisi dengan wajah datar namun hatinya pasti merasakan pias nan pilu juga. Polisi tersebut juga membantu Alda yang terjatuh dengan mengulurkan tangannya. Turut prihatin dengan sosok wanita muda yang sedang berbadan dua itu. Pasti hatinya akan sangat terasa hancur sekali jika mendengarkan kabar yang ada.
"I—iya. Ini rumah suami saya. Ada apa ya, Pak Polisi? Kenapa ada mayat ditaruh di depan pintu rumah saya? Kalian semua salah alamat, ya? Mau anterin mayatnya ke alamat mana? Biar saya bantu carikan alamatnya. Biar saya ambil handphone saya untuk petunjuk jalan," jawab Alda dengan sangat frustrasi. Gadis tersebut sudah tak lagi memikirkan hal yang positif, ia hanya bisa memikirkan hal yang negatif saja. Padahal sudah berulang kali ia berusaha menepis pikiran negatif tersebut, namun yang terjadi malah otaknya terus saja terkontaminasi lagi.
"Ibu-ibu, harap tenang terlebih dahulu!" sahut Pak Polisi dengan tangan yang menghentikan langkah berat dari wanita muda nan cantik itu. "Saya minta maaf kalau saya harus memberitahu ini semua sekarang juga, Bu. Ibu pasti tau kalau beberapa hari lalu pes—"
"Enggak!" Alda memotong pembicaraan pihak kepolisian, tangannya bolak-baling melambangkan kata tidak, kepalanya pun turut demikian, turut menolak apa yang akan dibicarakan oleh pihak kepolisian meskipun sebenarnya ia tahu dan sudah bisa menebak apa yang terjadi. "Enggak boleh! Ini semua enggak boleh terjadi!" ulangnya penuh ketegasan. "Pak polisi ada urusan apa? Mau cari alamat rumah siapa? Saya bantu, Pak. Saya bantu dengan ikhlas."
Serentak seluruh tim kepolisian hanya bisa menunduk dengan sangat lesu, mereka tak tega menghancurkan hati sosok perempuan yang sedang hamil ini. Pasti hari ini adalah hari yang sangat berat sekali untuk perempuan itu. Pasti hari ini adalah hari yang sangat tak terbayangkan oleh wanita itu. Seorang wanita yang tengah hamil tua harus berjuang sendirian tanpa sosok suami.
"Po—polisi? Ini ada apa, Alda? Kenapa ada polisi di sini?" Najma yang sedari tadi ada di kamar dengan suaminya—Bramastya, saat ini baru saja keluar dari kamar. Mereka tentu saja sangat kaget sekali dengan adanya kepolisian yang hadir di rumah mereka. Mereka juga langsung terbelalak saat melihat ada benda berwarna orange yang biasanya digunakan untuk mengevakuasi mayat atau jenazah. "Jenazah? Ini maksudnya apa, Pak Polisi? Kenapa ada jenazah di sini? Pak polisi salah antar ya? Ini rumah anak saya, Pak. Namanya Desvin, bukan rumah yang bapak maksud."
Polisi saat ini semakin merasa prihatin sekali dengan seluruh keadaan rumah ini, ia melihat sekeliling, semula rumah yang menjadi tempat mereka berkumpul bersama, saat ini menjadi tempat untuk berkumpul bersama yang terakhir kali. Tak ada lagi canda tawa, mungkin yang tersisa hanyalah kenangannya saja.
"Maaf, Ibu, Bapak. Kami di sini dari pihak kepolisian bertanggung jawab untuk memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepada bapak dan ibu sekalian tanpa adanya hal yang harus ditutup-tutupi. Kami di sini berniat mengantarkan almarhum Adesvin Williams ke rumahnya, beliau ditemukan dengan kondisi tidak bernyawa usai insiden kecelakaan pesawat yang menimpa Indonesian Airlines."
BRUK!!!
Tubuh Alda sudah benar-benar ambruk, wanita tersebut sudah kehilangan separuh hati dan separuh nyawanya yang biasanya selalu bersama. Hatinya terasa sangat sesak sekali seolah dihimpit ribuan batu, dihujami belati, air matanya terus saja mengalir dengan deras, lemas dengan apa yang terjadi. Desvin sudah meninggalkan Alda. Desvin yang menjadi suaminya saat ini sudah tidak ada.
"Enggak! Ini semua enggak boleh terjadi! Mas Desvin janji sama aku kalau dia bakalan rawat anak aku sama dia sama-sama. Mas Desvin enggak boleh pergi! Mas! Kalau kamu pergi aku sama siapa, Mas? Siapa yang bakalan rawat anak kita? Siapa yang bakalan kasih anak kita kasih sayang seorang ayah? Kamu janji ke aku kalau kamu bakalan selalu ada, tapi kenapa kamu malah ingkar, Mas?"
Hancur sudah dunia Alda setelah mendengarkan berita ini semua. Ia seolah sudah tak memiliki semangat hidup lagi. Ia seolah tak memiliki kekuatan lagi untuk menjalani hari-hari seperti biasanya. Apa yang harus Alda lakukan? Kedua orang tuanya sudah tidak ada, mertua yang selama ini ia dambakan pun tak memiliki sifat impian, suaminya juga sudah tidak ada. Hanya ada sang bayi yang ada di rahim Alda saja yang bisa menemaninya.
"Pah ... anak kita, Pah!" Suara getaran itu tentunya sangat kentara sekali, getaran menahan tangis pasalnya tak percaya jika sang anak yang dilahirkannya di dunia sudah tidak ada. Badannya pun turut ambruk dengan tatapan penuh rasa tak percaya. "Desvin enggak boleh meninggal, Pah! Dia anak kita, dia janji untuk selalu ada sama kita. Dia janji untuk selalu bahagiain kita. Kenapa sekarang dia meninggal, Pah? Dia udah enggak sayang lagi sama mamah? Dia udah enggak butuh mamah lagi apa gimana? Dia enggak boleh meninggal, Pah."
Bramastya pun hanya bisa diam mematung sembari melihat jasad anaknya yang masih terbungkus di dalam barang orange tersebut. Sudah dapat dipastikan jika badan putranya sudah tak utuh. Sudah dapat dipastikan jika Desvin meninggal dengan potongan-potongan tubuh yang sama sekali tak lengkap. Napasnya terasa sangat berat sekali, sesak hati rasanya melihat anak yang kita besarkan dengan penuh kasih sayang malah meninggalkan kita seorang diri. Mereka mendahului kita menemui ajalnya. Mereka bahkan tak berpamitan kepada kita saat menghadap kepada Yang Maha Kuasa.
"Harusnya papah dulu yang meninggal, Desvin. Harusnya papah dulu yang ketemu sama Tuhan. Masih banyak hal dan masih banyak tanggung jawab yang harus kamu lakukan, kenapa kamu milih pergi, Nak? Kenapa kamu malah duluin kita semua? Kamu belum ketemu sama anak kamu, kamu katanya mau sehidup semati sama istri kamu, Nak. Kenapa sekarang malah kamu ninggalin dia? Anak kamu kehilangan sosok ayahnya sedari dia ada di dalam kandungan. Kamu enggak boleh pergi, Desvin. Semua butuh kamu."
Pada dasarnya memang semua orang merasa hancur, semua orang merasa kehilangan sosok Desvin. Tak ada yang tak menangis di saat pria tersebut pergi. Bramastya serta Najma kehilangan putra tunggal mereka, Alda kehilangan sosok suaminya, sedangkan sang bayi kehilangan sosok ayahnya.