webnovel

45

Wiy;

Pagi, pagi sekali udara berembus masuk lewat jendela kamarku yang telah kubuka sedari tadi. Menggoyangkan kertas-kertas yang aku tempel di dinding kamar, berputar-putar lalu keluar dari jendela satunya lagi. Menerbangkan debu yang menempel di jeruji. Terbang dekat, dekat sekitaran halaman. Memeluk pohon mangga, meyenggol daunnya, menjatuhkan buahnya kemudian aku keluar mengejar dan mengambilnya. Sebab takut didahului ayahku yang sedang minum kopi di teras depan.

Kuucapan terima kasih banyak pada angin pagi yang baik budi. Angin tahu betul bahwa aku telah lama menginginkan buah mangga ini jatuh ke bumi karena aku tidak pandai memanjat seperti monkey, nama monyet tetangga kami. Kemudian angin menyapu daun-daun kering yang berguguran di halaman, kerasak-keresek menimbulkan bunyi bak plastik kantong.

Sekali lagi terima kasihku pada angin yang begitu baik, aku tidak susah payah lagi menyapu. Kemudian berembus ke kandang ayam, menggigilkan sekujur tubuh, seketika ayam jantan berteriak: kukuruyuuuk! Yang artinya; bangun! Subuh! Masak! Mandi! Sarapan! Bersolek! Kerja! Ngantor! Sekolah! Anggap saja angin membangunkan tidurnya ayam dan ayam mengingatkan manusia. Sekali lagi aku berterima kasih pada angin yang telah membuat ayam jago menggigil hingga terbangun dan berkokok.

Ada pun pohon jambu, ia tak berbuah tahun ini. Ia berbunga namun tak jadi buah, kata ayahku pohon jambu kami untuk tahun ini sedang menjanda. Ia dikucilkan oleh pohon manggaku yang sedang syarat buah. Hingga angin pun tidak mau mengajak pohon jambuku menari di pagi ini, kasihan sekali. Ayahku ingin sekali menebang batangnya, kataku nanti jambu air itu akan berbuah lagi sehingga ia mengurungkan niatnya.

Oh ya, Tha, ada kabar baik dariku. Yang dulu katamu kamu telah mengubur rasa cinta dan rindumu di dekat pot bunga lidah buaya di halaman rumahku, kamu tahu apa yang tumbuh di situ, Tha? Hum sekarang tumbuh tinggi dua pohon bunga matahari. Kamu tahu itu pertanda apa, Tha? Itu adalah lambang dua kehidupan insan yang saling mencintai, menyayangi, dan hidup bahagia damai sejahtera.

Bunga matahari bak mentari yang menyinari. Aku yakin bunga matahari itu tidak pernah bohong, sebab ia selalu mengembang senyum. Senyum kerap sekali mengarah pada hal-hal yang positif, tidaklah bunga matahari itu tersenyum palsu. Tampak sekali ketulusannya tersenyum menghadap jendela kamarku, kepadaku.

Sekali-kali ia memanggilku: hai, Wiy... Hai, Wiy, hai, Wiy... Hingga aku pun menoleh dan bertanya: ada apa ya? Maaf, kamu kok kenal saya ya? Malah ia balik betanya: masih ingatkah kamu denganku, Wiy? Yang dulu sempat kamu sakiti di sini, tepat di sini?; Ya aku masih ingat, jawabku. Katanya pula: ya aku sekarang sudah tidak sakit hati lagi, Wiy, sekarang aku persembahkan senyumku untukmu sampai akhir hayatku, Wiy.

Apakah bunga matahari itu kamu, Tha? Aku yakin sekali ia adalah dirimu yang dulu sakit hati dan sekarang sudah kembali lagi padaku. Kamu tidak perlu heran bagaimana aku bisa berbicara dengan bunga matahariku itu, Tha, yang pasti ia adalah tanda sepasang kekasih yang saling mencintai. Dan lagi-lagi aku berterima kasih pada angin, sebab anginlah yang menerbangkan bibit bunga matahari itu ke kuburan cinta dan rindumu yang telah lama kamu musnahkan di halaman rumahku. See you.

***