webnovel

Tak Masalah menjadi Istri Simpanan

"Wanita sepertimu gak pantas bersanding dengan pria semacam Mas Haikal!" "Gara-gara kamu Mas Haikal menggugat ceraiku! Dasar murah!" Mbak Anya menarik rambutku seolah ingin mencabutnya dari akar, sementara yang terucap dari bibirku hanyalah kata maaf. Aku salah dan aku mengakuinya. Aku memang pantas diperlakukan seperti ini. "Aku gak bermaksud merebut Mas Haikal sepenuhnya dari Mbak Anya." "Aku hanya butuh perlindungan suami Mbak!" "Halah! Pokoknya kamu harus hentikan Mas Haikal! Aku gak mau dicerai!" "Awas saja kalau sampai aku benar-benar cerai dengan Mas Haikal ... semua rahasiamu akan aku sebar!" "Haha .... Aku gak sabar lihat reaksi orangtuamu nanti saat tahu anaknya ini ternyata seorang 'pelakor'."

annuna_myharzgg · Fantasi
Peringkat tidak cukup
1 Chs

Kepergian Mas Haikal

"Sebentar lagi Anya melahirkan. Mas harus temani dia sampai hari-H. Kamu gak masalah Mas tinggal?"

Berat rasanya merelakan kepergian Mas Haikal sehingga aku hanya bisa tersenyum pahit. Sungguh ku tak mau jauh-jauh darinya, tapi mau bagaimana lagi? Sebagai istri 'siri', aku harus siap menerima segala konsekuensinya.

Mas Haikal menatap cemasku. Tentu ia merasa khawatir sebab tak hanya istri sahnya, aku pun sama tengah mengandung darah dagingnya. Entah kebaikan macam apa yang pernah kulakukan di masa lalu sampai-sampai Tuhan mempertemukanku dengan pria sebaik Mas Haikal.

"Mas, aku nggak apa-apa kok. Mas jagain Mbak Anya, ya," lirihku sambil membelaii lembut lengan kokohnya.

Mas Haikal mengecup kelopak mataku. Rupanya ia sadar akan kabut putih yang mulai menyelimutinya. Aku gemas sampai-sampai tak kuasa menahan kekehan. Tingkah manisnya ini sungguh membuatku tergerak untuk melayangkan sebuah kecupan.

"Mas jangan sampai lupa hubungi aku, ya! Ya, tapi jangan keseringan juga," bisikku cepat-cepat menjaga jarak sesudahnya.

"Loh? Kenapa? Mas baru mau peluk kamu. Gak boleh, ya?"

Godaan Mas Haikal membuatku kesal. Aku memanyunkan bibir sebelum berbalik membelakanginya. Bagaimanapun kita akan berpisah lama, jadi kalau sampai lebih dari ini tentu akan membuatku tak sanggup untuk melepas kepergiannya.

"Hmph! Mas Haikal benar-benar keterlaluan!"

"Khikhikik …."

"Kamu ini, bikin gemas saja."

"Iya deh, Mas berhenti …."

"Mas minta maaf …."

"Benar, ya!" tukasku.

Cepat-cepat  menghentikan jemari tangan Mas Haikal yang bergerak memijat pundakku.

Anggukan dan senyumnya kemudian berhasil melunakkan hatiku. Wajah tampan ini …. Aku tak akan bisa lagi memandangnya sesuka hatiku. Kebohongan Mas Haikal harus berakhir sampai di sini. Masa bertugas di luar kotanya sudah habis.

Kini Mas Haikal harus fokus menjaga Mbak Anya kalau tidak bisa-bisa Mbak Anya nanti akan curiga. Aku harus siap bersabar dan mengendalikan semua perasaan ini sebagaimana mestinya. Jangan sampai kelewat batas.

Tapi tetap saja tubuh ini bergerak menghambur ke dalam pelukannya Mas Haikal. Sungguh ku tak kuasa menahan diri. Aku akan memeluknya untuk yang terakhir, meski berat aku percaya diri.

Aku yakin aku mampu mengendalikan perasaan ini.

"Kamu tenang saja. Mas gak mungkin melupakan kamu, terutama janin yang ada di dalam rahimmu ini," ucap Mas Haikal dengan jari jemari yang mulai membelaiiku.

Kuangkat wajah untuk memberinya seulas senyum.

"Ya sudah, begitu saja. Mas pergi ya. Tolong jaga anak kita," lanjutnya bicara.

Jemarinya kini berpindah mengusapi perut buncitku. Baru setelah itu sosoknya menghilang di balik pintu.

Cukup lama aku berdiri termenung. Menunggu suara mesinnya benar-benar menghilang dari indra pendengaranku. Baru setelah itu dadaku mulai merasakan sesak. Wajahku memanas tak kuasa melepas kepergian Mas Haikal.

Sampai tanganku ini bergerak untuk melayangkan sebuah tamparan. Tentunya demi memperingati diri sendiri. Sungguh ….. Memalukan. Bisa-bisanya aku bersikap tamak. Aku harus ingat kenyataan kalau Mas Haikal bukan hanya milikku seorang.

Tidak! Bukan 'hanya milikku seorang'! Aku sungguh keliru. Sejak awal Mas Haikal itu miliknya Mbak Anya dan sampai akhir pun hanya akan menjadi miliknya Mbak Anya.

"Hanya Mbak Anya …."

Realita yang sungguh membuat tubuhku senantiasa merasakan lemas. Perasaanku berubah tak menentu. Rasa bersalah kian menghampiriku. Aku masih tidak percaya kalau diriku ini orang yang begitu tega dan tak berperasaan.

Lagipun siapa sangka saat itu Mas Haikal tiba-tiba datang melamar. Lalu …. Bagaimana mungkin orangtuaku menolak dengan sombongnya sedangkan sebutan 'perawan tua' sudah lama melekat dalam diriku.

Sungguh …. Tak ada yang ingin mereka ketahui tentang Mas Haikal. Mereka hanya ingin aku cepat-cepat menikah. Mungkin karena malu.

Tidak! Bukan 'mungkin' lagi. Tentulah mereka malu memiliki anak macam diriku ini.

Diantara mereka bahkan tak ada yang tahu kalau Mas Haikal menikahiku hanya sebagai rasa belas kasihan. Saat itu kami cukup akrab. Mungkin hal itulah yang membuatnya tidak berpikir panjang untuk menikahiku.

Mas Haikal hanya ingin membantu ….

"Hahaha …."

Lamunanku langsung buyar sesaat setelah mendengar suara dering. Padahal baru sebentar. Ajaib bila Mas Haikal menghubungiku secepat ini. Aku tak tahu sejak kapan, tapi mungkin sejak ku mengandung anaknya. Mas Haikal perlahan berubah menjadi sosok yang seperhatian ini.

Apa aku telah berhasil mencuri hatinya?

"Sayang mesti ku reject."

Tak ada pilihan lain. Rasa nyeri yang menghampiri membuatku perlahan menjatuhkan tubuh di atas lantai. Kontraksi yang kualami ini memang terbilang sering.

"Jangan egois, Nak," lirihku di tengah ringisan.

Rasa sakit yang tak tertahankan ini entah mengapa mengingatkanku akan adanya karma. Mungkin beginilah cara Tuhan menghukumku. Biarlah rasa sakit ini dijadikan sebagai penebus atas semua dosa yang telah kuperbuat terhadap Mbak Anya.

Aku rela tidur beralaskan lantai. Bila bernasib sial pun mungkin saja rumah ini nanti akan kedatangan tamu tak diundang. Bisa pula nyawa ini tiba-tiba melayang. Syukurnya semua aman sampai datangnya fajar.

Mbok Ija, ART sewaan Mas Haikal yang selalu datang di pagi buta cepat-cepat membantuku bangkit. Jelas beliau terkejut melihatku tergeletak di atas lantai. Setelah mengetahui penyebabnya beliau segera membuatkanku obat.

Kusesap jamu khusus buatan Mbok Ija sekali lagi. Rasanya pahit. Baunya pun begitu aneh.

Aku sebenarnya enggan meminum, tapi tak bisa kulakukan. Mbok Ija membuatnya dengan sepenuh hati. Janinku pun tidak menolak dan menerimanya dengan baik.

Jadi cepat-cepat saja kutenggak jamunya hingga habis sambil menahan napas.

"Nduk. Mas e udah pergi? Bok ya Kenapa ndak langsung telepon Si Mbok?"

Mbok Ija menempatkan gelas kosong dalam genggamanku di atas nakas. Beliau duduk di sisi ranjang sembari menatapku dengan tatapan yang entah mengapa terasa begitu mendalam. Sampai-sampai hatiku ini dapat merasakan hangat.

Kuraih tangannya dan kugenggam erat.

"Aku berdosa, Mbok. Maaf sudah membuat Si Mbok khawatir."

Mbok Ija hanya tersenyum. Tangannya yang bergerak membelaii surai hitamku membuat mataku perlahan mulai mengabur. Demi melepas pilu, kuhamburkan tubuh ini ke dalam pelukan Si Mbok.

Isak tangis tak bisa lagi kubendung.

Bagaimanapun kepergian Mas Haikal terasa begitu menyesakkan. Sekarang aku tak punya siapa-siapa di tempat ini. Tidak ada orang yang bisa kusebut teman ataupun keluarga.

Semuanya terasa asing.

"Mbok ...."

"Kalau aku bilang aku ini seorang pelakor. Apa Si Mbok akan percaya?" tanyaku menatapi lekat wajah penuh keriputnya.

Air mukanya terlihat samar. Kupikir Si Mbok akan terkejut setelah mendengar pengakuanku. Namun rupanya tidak. Justru sekarang ini ketimbang heran maupun bingung, Mbok Ija malah menarik garis senyumnya.

Meski sudah termakan usia, sekilas dengan senyumnya Mbok Ija terlihat cantik dan menawan.

Mataku terpejam saat tangan Si Mbok bergerak membelaii wajahku.

"Iya ataupun ndak. Itu sudah jadi pilihanmu, Nduk."

"Kalaupun iya Mas e kelihatannya bukan orang yang buruk."

"Bok ya bersyukur, Nduk. Yang penting sekarang Si Nduk bahagia to?"

Bahagia, ya.

Benar juga apa yang Si Mbok katakan. Aku tak bisa menyangkal kalau aku suka hidup bersama dengan Mas Haikal.

Akan tetapi ....