Aku yang tengah menatap rumah dimana menjadi tempat tinggal perempuan yang aku cinta saat ini sangatlah besar, beruntungnya dia. Aku harap dia berbahagia dengan pasangannya yang pada nyatanya adalah sepupu aku sendiri. Bahkan aku saja baru mengetahuinya, entahlah apa yang membuat dia menyembunyikan ini semua. Apa ingin memainkan perasaan aku? Lantas bagaimana jika sekarang rasa ini sudah terlanjur dalam?
Tapi ada yang membuat hati ini bingung, aku merasa kalau Suaminya tidak mencintai dia. Bahkan tidak bersikap baik padanya.
Apa aku harus mencari tahu tentangnya?
"Ma, Dirga mau pergi ke kamar mandi sebentar," ucapku yang bangkit berdiri dari sofa.
"Ajak adik kamu," jawab Mama sambil melirik si kecil nakal.
"Tidak, dia merepotkan," jawab aku karena bagaimana bisa aku mengajaknya melakukan hal seperti itu. Bagaimana seandainya dia bertanya-tanya, kita sedang apa mengintip di kamar ini? Apa yang kita lakukan? Mungkin seperti itu yang diucapkan olehnya.
Aku berjalan tanpa pamit kembali dengan Mama, mata ini dapat melihat dimana keberadaan kamar mandi yang letaknya ada disebelah kanan aku. Namun bukannya ke kanan aku justru berjalan lurus menuju tangga.
Aku tidak tahu kenapa aku melakukan ini, tapi demi mengetahui suatu hal dan berkaitan dengan Gita aku tidak peduli. Berjalan kaki tanpa ingin berhenti, dan dari arah kejauhan aku melihat dua orang tengah bertengkar. Di depan kamar tersebut mereka bertengkar dengan suara yang tidak terlalu keras, namun dari balik tembok tempat ini berdiri dapat terdengar.
"Dimana mereka akan tidur? Jika mereka tinggal di rumah kamu. Aku... tidur di kamar yang sebelumnya, tidak bersama dengan kamu? Lantas bagaimana mereka tahu kalau kita selalu saja menjadi asing?" ucap Gita
"Kamu pikir aku peduli? Biarlah lagi pula aku tidak mencintai kamu." jawab Hito.
Pertengkaran dan sedikit pernyataan yang membuat aku paham kalau sebenarnya Hito tidak mencintai Gita, lantas bagaimana dengan Gita? Apa dia juga tidak mencintai Hito?
Melihat wajah Gita yang murung membuat aku ingin memeluknya, namun sekarang perempuan itu telah menjadi bayangan saja, dia ada namun tidak bisa aku sentuh. Awalnya aku pikir keduanya sama-sama tidak mencinta, akan tetapi saat melihat wajah Gita dan pertanyaannya tadi. Aku kini tahu kalau pada nyatanya cinta gadisnya itu bertepuk sebelah tangan.
Jika seperti itu dia pasti akan bersedih, ini tidak bisa dibiarkan oleh aku. "Aku harus membuat dia cinta dengan diriku. Dengan seperti itu tidak ada yang bisa membuatnya bersedih. Di tempat ini aku berjanji," ucapnya sambil menatap Gita yang masih setia menuduk.
Dan saat Gita melangkahkan kaki, aku langsung saja dengan cepat bersembunyi. Saat melihat Gita telah berjalan, aku sontak mengikutinya dari belakang.
Dan ternyata langkahnya berhenti di dapur, aku menatap perempuan itu. Dia adalah perempuan cantik dan baik dimata aku, bahkan aku sendiri menyebutnya perempuan sempurna.
Dari kejauhan aku menatap dirinya dengan diam, tanpa bersuara. Dengan segala berani dan percaya kalau dia akan menjadi milikku aku berjalan mendekat ke arahnya.
"Dor!" Aku mengejutkan dia, dan dia pun terkejut karena ulah aku.
"Dirga," celetuknya dengan wajah yang amat lucu.
Aku menanggapinya dengan senyuman dan menunjukkan sederetan gigi putih.
"Kamu ngapain?" tanya Gita bingung.
Aku menatap dirinya, pertanyaan dan suasana yang cukup canggung diantara kami. Bahkan dia saja tidak benar-benar menatap aku. "Aku tadi mau ke kamar mandi, eh... justru tersesat ke sini," jawab aku sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
"Kamar mandi ada di sana," ucap Gita dengan menunjukkan dimana letak kamar mandi berada.
Aku diam karena aku sedang melamun memikirkan sesuatu, "Apa aku harus bertanya padanya?" ucap aku dalam hati. Dengan berani aku berucap, dan entah bagaimana reaksinya. "Aku mau bertanya, kamu dengan Hito bagaimana bisa menikah?"
Jika aku tadi yang melamun, kini gantian dia yang tengah melamun. Apa pertanyaan aku salah? Mulut ini tidak tahan untuk berucap. Jujur saja jika sudah seperti ini aku sangatlah malu. Sepertinya dilihat dari wajahnya, dia tidak akan menceritakan tentang pernikahannya. Lagi pula siapa yang ingin membicarakan pernikahan jika dia saja diperlakukan kasar oleh Suaminya?
Terlihat dari wajahnya dia seolah-olah banyak sekali menyembunyikan rahasia. Entah dalam bentuk apapun, tapi aku yakin akan hal itu.
Bagi aku Gita itu masih menjadi perempuan yang misterius, terlalu banyak rahasia.
Dia yang awalnya diam kini menatapku dan sepertinya akan mengatakan sesuatu.
"Aku dan Mas Hito.... "
"Ekhmmmm.... "
Baru saja dia ingin ingin menceritakan, namun seseorang datang mengganggunya. Sungguh kedatangan orang itu membuat aku sangat kesal. Dasar pengganggu, sudah tahu aku sedang berduaan justru malah ikut campur saja.
"Sudah siap makanannya?"
"Sudah Mas," jawab Gita mengangguk.
Apa aku sekarang ini? Hanya menjadi nyamuk saja diantara mereka. Bahkan ketika Hito mendekat aku bisa melihat tatapan tajamnya terhadap Gita. Aku tahu ini semua, aku juga seorang pria. Benar dugaan aku, ucapan Gita dan perkataan Hito di depan kamar yang tidak sengaja aku dengar tadi ternyata nyata adanya. Dalam rumah tangga mereka hanya ada cinta sebelah pihak, dan apa-apaan Hito itu? Dia menyuruh Gita seolah-olah Istrinya itu pembantu. Yah... aku tahu tugas seorang Istri yang melayani Suaminya, namun apa Hito itu pantas disebut sebagai Suami?
"Kalau begitu dibawa, bukannya membuang waktu di tempat ini," jawab Hito dengan penuh penekanan.
Melihat reaksi Hito yang seperti itu membuat aku mengepalkan telapak tangan, jujur saja aku marah walaupun aku tidak memiliki hubungan dengan Gita. Namun aku tidak suka jika perempuan yang aku cinta dilakukan seperti itu, coba saja mana ada yang menyukainya?
Gita pergi setelah Hito berucap, dia memang benar-benar Istri yang penurut walaupun Suaminya tidak bersikap baik kepadanya.
Kini di dapur hanya ada aku dan dia saja, kami saling diam tanpa ingin berucap. Suasana hening tiba-tiba saja pecah dan menjadi sedikit menegangkan kala Hito mengeluarkan kata yang memancing emosi dalam diri aku.
"Suka kok sama modelan seperti Gita. Kamu tahu kalau dia itu pelakor atau mungkin pantas disebut jalang? Tidak ingat dia saja pernah bekerja di.... "
Bugh!
Belum sempat Hito melanjutkan ucapannya, aku sudah lebih dahulu memukulnya. Ya, aku sangatlah mudah terpancing. Dan bahkan aku sering sekali emosi walau dalam hal sekecil apapun, namun tergantung apa yang mereka lakukan.
"Kau membelanya, dengan memukul aku? Siapa aku disini? Sadar posisi kamu, aku pemilik rumah sedangkan kamu hanya penumpang luar saja. Kau pikir setelah orang tua kamu berbicara kita adalah sepupu, aku akan menganggapnya? Tenang saja, aku tidak menganggap keberadaan kamu," ucap Hito dengan wajah datar.
"Kamu pikir aku ingin mempunyai sepupu sombong dan tidak punya hati seperti kamu? Tidak, bodoh. Jika kamu tidak mencintainya lepaskan saja dia, aku yang akan menggantikannya?" celetuk aku sambil mencengkram baju tidur yang dia kenakan.
Aku pun pergi karena terlalu malas dengannya, terlebih lagi melihat wajahnya. Sudah sekian belasan tahun kami tidak bertemu dan sekarang justru kembali dipertemukan dengan Hito. Aku sangat benci dirinya, kehadirannya selalu saja merebut apa yang akan menjadi milikku. Terbukti sekarang, Gita telah menjadi miliknya.
"Hah, coba saja kau ambil dia dari aku. Lagi pula Gita sudah mencintai aku setengah mati. Ambil saja wanita jalang itu, aku tidak peduli."
Prank!