webnovel

Start Point

Aksi dan fantasi. Kedua kata itulah yang paling cocok untuk mendeskripsikan satu permainan khusus yang dirilis oleh Bum Corp. perusahaan pengembang Game terbesar di Indonesia. Ini merupakan permainan MMORPG tanpa batasan imajinasimu. Start Point adalah permainan dimana kau bisa menemukan dunia fantasi dan dunia modern menyatu menjadi satu. Suatu hari, Dimo Ramadhan, pemuda yang bertahun-tahun telah mengidap amnesia tiba-tiba diajak oleh sahabat dan teman masa kecilnya, Zakaria "Zaki" Maulana untuk mengikuti sebuah turnamen. Turnamen ini adalah sebuah pertandingan khusus tertutup yang didedikasikan untuk merayakan pre-perilisan permainan Start Point. Disini kesembilan peserta yang dipilih secara acak dari ratusan atau bahkan ribuan pendaftar akan bertarung membunuh satu sama lain tanpa pandang bulu hingga satu pemenang berhasil mendapakan hadiah uang puluhan juta rupiah. Meski awalnya menolak, karena sebuah kesepakatan antara keduanya Dimo menerima ajakan sahabatnya untuk terjun ke dalam turnamen ini. Namun, apakah cerita ini hanya berakhir dengan turnamen ini dan Dimo bisa kembali ke kehidupan normalnya? Ataukah ada hal yang jauh lebih gelap tersembunyi di baliknya? Ikuti kisah Dimo yang ditarik masuk ke dalam dunia yang akhirnya mengungkap masa lalunya.

IzulIzuru · Fantasi
Peringkat tidak cukup
25 Chs

Prologue : Angin, Hujan dan Mimpi Hari Itu - 03

Tanpa terasa waktu telah berlalu dan waktu pulang telah tiba.

"Dengan begini selesai." Aku menaruh dua buah sapu yang baru saja dipinjam dari kelas sebelah. Kebetulan saja hari ini aku mendapat bagian piket membersihkan kelas saat pulang sekolah. Karena kelas kami sering kehilangan sapu, kami terpaksa meminjamnya ke kelas lain.

Tapi sekarang sudah selesai. Lantai sudah disapu, papan tulis sudah dibersihkan, juga kaca sudah dilap bersih. Dengan begini aku bisa pulang ke rumah.

Oh iya, aku harus mengambil tas ku yang kutinggal di kelas.

△▼△▼△▼△

"Apa yang kulakukan di sini?" Gumamku saat berjalan di lorong kelas yang sudah sepi. Cahaya mentari kekuningan yang begitu indah menghiasi lorong kelas. Cahyanya terbias oleh kaca jendela, menyinari lantai putih yang kulalui.

Entah apa yang merasukiku hingga membuatku berada di sini. Padahal, biasanya aku langsung pulang ke rumah setelah bel berbunyi maupun setelah selesai piket. Tapi hari ini, aku malah memutuskan untuk berjalan-jalan di lorong sekolah.

Aku menolah ke arah lapangan. Sekarang adalah hari rabu, ternyata lapangan lebih sepi dari yang kukira. Biasanya, sepulang sekolah akan ada aktifitas klub seperti paskibra atau pramuka di lapangan, jadi aku kira akan banyak aktifitas klub yang akan aktif, ternyata aku salah.

"Kau ini keras kepala ya. Sudah kubilang aku sudah tidak bermain game lagi!"

Langkahku terhenti. Sebuah suara langsung menarik perhatianku. Suara itu terasa berat. Tiap kata yang terlontar darinya penuh dengan kekesalan dan penolakan. Seakan dia sendiri sudah muak untuk mengatakan hal itu.

Suara yang berasal dari depan kelas yang tepat berada di hadapanku.

"Dimo...?"

Dia berdecap kesal lalu merapihkan tasnya sebelum dia menyadari kehadiranku. Saat dia melihatku, amarahnya mereda, dia sedikit membuang pandangannya lalu pergi dari tempat itu tanpa memikirkan keberadaanku.

"Oi, Dimo! Tunggu!"

Seorang anak laki-laki keluar dari kelas yang sama. Rambutnya yang khas membuatku langsung tahu siapa dia. Sayangnya, dia tak bisa mengejar orang yang dipanggilnya karena dia sudah pergi dari sini.

Seperti yang dia bilang sebelumnya, orang yang pergi tadi adalah Dimo. Aku tak tahu hal apa yang membuatnya begitu kesal seperti itu, tapi ini pertama kalinya bagiku melihat Dimo sekesal itu. Dan orang yang memanggilnya adalah Zakaria. Semua orang di kelas tahu kalau Dimo dan Zakaria sudah lama berteman. Jadi tak aneh melihat mereka bersama.

Tapi ada satu hal yang langsung menarik perhatianku. Di tangannya, lebih tepatnya di tangan kirinya. Terdapat sesuatu yang begitu familiar. Benda itu, tanda pengenal itu....

Itu adalah tanda pengenal yang sama seperti yang sedang kukalungi saat ini. Di benda itu, terdapat sebuah foto, aku mengenal foto siapa itu.

Itu adalah foto Dimo.

Mungkinkah, dia juga salah seorang peserta turnamen?! Tapi, kenapa dia nampak kesal? Juga, kenapa tanda pengenal itu bisa ada di Zakaria?

Akh, terlalu banyak pertanyaan bermunculan di pikiranku.

"Zakaria, itu..." Aku dengan lemasnya menunjuk kearah tanda pengenal yang dia genggam. Dengan cepat, dia langsung mengantungi benda itu sesaat sebelum aku sempat menanyakannya. Dia nampak panik saat aku berusaha menunjuk benda itu.

"Maaf Sindy, lain kali saja!" Zakaria langsung merapihkan tasnya lalu berlari mengejar Dimo.

Apa yang sebenarnya terjadi?

Ini terlalu begitu mendadak sehingga membuatku tak berpikir jernih. Yang lebih penting, dilihat dari tanda pengenal yang dibawa Zakaria, mungkin besok aku akan menemui Dimo.

△▼△▼△▼△

Keesokan harinya.

Hari ini adalah satu hari sebelum turnamen, dan ada satu hal yang harus kupastikan.

Jika dugaanku benar, mungkin aku bisa mengajaknya bekerja sama. Bersama, kami mungkin memiliki keuntungan lebih dalam turnamen ini.

Tapi.

Rasanya entah kenapa, apa yang terjadi kemarin benar-benar menggangguku.

Kenapa Dimo marah? Dan kenapa kartu pengenal milik Dimo bisa ada di Zakaria?

Kedua pertanyaan itu terus berputar-putar di pikiranku bagaikan pusaran air yang mengalir deras.

Bel istirahat baru saja berbunyi. Karena aku terus kepikiran tentang apa yang terjadi kemarin, aku sampai lupa membuat bekalku sendiri. Untungnya, aku membawa uang jajan.

Aku mulai berdiri dari kursiku dan berniat untuk menghampiri Dimo. Selangkah demi selangkah kulangkahkan kakiku menuju Dimo. Perlahan, kuangkat tanganku. Kucoba raih pundak Dimo dan segera mencari jawaban atas pertanyaan yang terngiang di pikiranku.

Tapi

"Bisa bicara sebentar, Sindy?"

Suara seseorang menghentikanku. Suara yang berasal dari orang yang bertempat duduk di belakang Dimo, yaitu Zakaria.

Dia menatapku penuh percaya diri dengan senyumannya. Dimatanya sama sekali tak terpampang keraguan atau keresahan, seakan, dia sudah tahu kalau ini akan terjadi.

Aku terdiam. Berdiam diri melihat Dimo yang mulai berdiri dan pergi meninggalkan ruang kelas. Aku mencoba menenangkan diriku lalu menengok kearah Zakaria.

Dia masih tersenyum lalu perlahan mulai berdiri dan berjalan menuju ke pintu keluar.

"Tunggu dulu, kau mau kemana?" Tanyaku sambil bergegas mengejar Zakaria. Dia berhenti lalu menengok kearahku dengan tatapan penuh tanda tanya. Tatapannya terlihat agak polos dan bodoh, tapi itu hanya untuk sesaat. Dia memiringkan wajahnya lalu tertawa kecil.

"Tentu saja ke tempat lain yang lebih sepi. Kita takkan bisa membicarakan itu di tempat ramai seperti ini bukan?" Balasnya sambil sedikit menunjuk ke arah luar.

Aku lumayan terkejut. Meskipun dia bukanlah peserta, aku tahu kalau dia pasti sudah mengetahui mengenai turnamen yang akan terjadi besok. Tapi aku tak menduga kalau dia benar-benar membicarakan itu denganku.

"Baiklah... Kalau begitu, ayo pergi."

△▼△▼△▼△

Angin menghembus meniup rambut hitam panjangku. Aku bisa mendengar suara hembusan angin karena sepinya tempat ini. Panasnya langit yang cerah begitu menyengat ke kulitku, sekarang sudah pukul 1 siang, tapi aku tak mengira akan sepanas ini.

Aku menengok kesana-sini. Melihat atap sekolah yang sepi akan pengunjung selain diriku dan juga Zakaria. Mungkin tempat ini sepi karena hari ini yang terasa begitu panas.

Aku bisa melihat hampir seluruh kota dari atas sini. Kuakui, pemandangan yang kulihat saat ini nampak lumayan indah.

Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, sekolah ini berbeda dibandingkan sekolah lainnya. Biasanya, sekolah di indonesia takkan memiliki area atap seperti ini. Entah kenapa, sekolah ini malah memilikinya. Dan rasanya begitu aneh karena kesan pertama yang muncul di pikiranku adalah sekolah-sekolah di Jepang yang biasanya memiliki bagian atap seperti ini.

Baiklah, langsung ke intinya saja. Dia pasti tahu kalau Dimo adalah salah satu peserta dari turnamen Start Point besok. Pertanyaannya, apa yang ingin dia tanyakan—

Tidak. Tunggu sebentar. Peserta? Kenapa dia bisa tahu kalau Dimo adalah salah satu peserta? Aku ragu jika Dimo yang memberitahunya, dilihat dari reaksi Dimo kemarin, rasanya kurang masuk akal jika dialah yang memberitahu Zakaria.

Zakaria.

Tunggu dulu, jangan bilang....

Daftar itu.... peserta ke-lima dan dua huruf di belakangnya. Kebetulan macam apa ini?

Tenang dulu. Ini hanyalah tebakan. Lagipula, jika tebakanku benar kalau dia juga peserta, hal itu takkan memecahkan misteri kenapa dia tahu kalau Dimo adalah peserta lainnya.

Kecuali....

"Jadi, ada apa? Jangan bilang kau adalah peserta ke-lima dan Dimo adalah ke-enam?" Tanyaku dengan nada yang sedikit dingin.

Dia nampak terkejut. Dia menggaruk rambutnya lalu tersenyum.

"Iya, benar'kok. Aku adalah peserta ke-lima dan Dimo adalah ke-enam." Jawabnya santai. "Sebenarnya, karena apa yang terjadi kemarin, aku ingin memberitahumu itu. Tapi baguslah kalau kau sudah tahu." Lanjutnya.

Ternyata tebakanku benar.

Sejujurnya aku merasa agak tersanjung akan diriku sendiri.

"Ternyata benar ya. Kalau begitu, biar kutebak lagi." Aku menghela napasku, mempersiapkan diriku untuk memuntahkan semua persepsi yang ada di pikiranku saat ini "Apa yang terjadi sebenarnya adalah, kau mendaftarkan Dimo tanpa sepengetahuannya dan secara tak terduga, kalian berdua malah terdaftar menjadi peserta. Namun, karena suatu alasan, Dimo malah kesal akan hal ini dan malah menolak untuk ikut."

Dia nampak lebih terkejut dari sebelumnya. Kurasa tebakanku benar lagi.

"Aku benar-benar terkejut, seluruh tebakanmu benar. Kau mungkin berbakat menjadi detektif." Katanya dengan sedikit sanjungan. "Ini mungkin tak ada hubungannya denganmu, tapi... Aku dan Dimo sudah lama berteman. Saking lamanya sampai-sampai aku menganggapnya sebagai saudaraku sendiri. Karena itulah, saat ada pertandingan besar seperti ini, aku berpikir untuk bisa mengikutsertakan dirinya." Sambungnya sambil tersenyum kaku kepada diriku. Senyum yang tersirat di wajahnya terasa sedih. Seakan dia baru saja mengingat sesuatu yang begitu berarti baginya.

Aku tidak tahu sudah berapa lama mereka berteman. Sejujurnya, aku tak pantas ikut campur dalam hubungan pertemanan mereka.

Tapi, tetap saja, reaksi Dimo saat itu, tetap mengganggu pikiranku.

"Dilihat dari reaksi Dimo, nampaknya keinginanmu tak berjalan lancar ya...?" Tanyaku.

"Tidak, semuanya berjalan lancar'kok. Sebenarnya aku sudah tahu kalau Dimo akan bereaksi seperti itu." Balasnya santai.

Sudah menduga? Kalau begitu, kenapa sejak awal dia malah mengajak Dimo?

"Dimo itu, dia memiliki kebiasaan untuk cenderung menyalahkan dirinya sendiri. Bahkan jika itu bukan salahnya dia. Karena itu dia jarang berteman dan dekat dengan orang lain." Meskipun dia tetap menjaga senyumnya, wajahnya sedikit menunduk. Tak lama, dia mengangkat wajahnya dan tersenyum ramah "Karena itulah, aku merasa senang saat tahu kalau kau juga salah satu peserta turnamen. Aku berpikir, meskipun kecil kemungkinannya, mungkin Dimo bisa berteman denganmu."

Begitu ya.

Orang ini, dia melakukan semua ini bukan tanpa alasan. Dia mengerti Dimo karena dialah teman terdekatnya. Dia ingin temannya tak lagi sendirian.

Dia ingin temannya dikelilingi wajah yang tersenyum.

Zakaria Maulana hanya ingin sahabatnya, Dimo Ramadhan, tidak sendirian lagi.

"Itulah semua yang ingin kubicarakan denganmu." Katanya sebelum mulai berjalan menuju pintu yang tersambung langsung dengan tangga.

Tunggu.

Apakah ada....

Apakah ada hal yang bisa kubantu? Meski hanya sedikit, meski hanya sedikit meningkatkan kemungkinannya untuk bisa berteman denganku...

Oh iya! Bekerja sama. Dengan bekerja sama dalam turnamen ini, bisa memperbesar kemungkinan agar Dimo mau berteman denganku. Dengan ini mungkin berhasil.

Ini pasti berhasil.

Aku mulai berjalan mengejar Zakaria yang sedang membuka pintu.

"Tunggu dulu, bagaimana jika kita bertiga bekerja sa—"

Tidak. Ada yang aneh.

Kenapa aku tidak kepikiran mengenai ini sama sekali?

Ini aneh.

Benar-benar aneh.

Aku tahu kalau tujuan Zakaria itu baik, tapi...

Bagaimana mungkin, kami berempat—Aku, Leila, Zaki dan Dimo, empat orang yang berasal dari kota yang sama bisa terdaftar menjadi peserta? Aku sudah tak bisa menyebut hal ini 'kebetulan.'

Kemungkinan hal ini terjadi adalah satu banding seribu.

Hal seperti ini, bukanlah kebetulan semata. Seakan ada seseorang yang sengaja mendaftarkan kami menjadi peserta.

"Ada apa?" Tanya Zakaria yang menengok ke arahku sambil menahan pintu yang baru saja dia buka. Nampaknya dia terhenti karena panggilanku, tapi dia tak mendengar semua perkataanku.

"Um, tidak. Bukan apa-apa." Balasku sedikit gugup.

"Begitu ya, kalau begitu sampai jumpa di kelas." Dia tersenyum ramah lalu menutup pintu.

Aku menghela napas sambil duduk di kursi yang ada di atap. Aku menengok ke atas, menatap langit biru cerah.

Tadi itu lumayan membuat pikiranku lelah.

Sebenarnya, apa yang terjadi? Kenapa kami berempat bisa terdaftar menjadi peserta di turnamen ini?

"Entah kenapa... aku memiliki firasat buruk mengenai ini." Aku menengok ke atas—ke arah langit biru cerah yang terbentang luas lebih luas daripada lautan.

Entah apa yang akan terjadi beberapa hari kedepan.

Semoga firasatku tidaklah benar.

Dengan begini prolog berakhir dengan akhir yang asam. Ini tentunya bukan akhir yang bahagia, tapi juga bukan akhir yang sengsara.

Apalagi dengan munculnya kecurigaan di dalam benak Sindy setelah mendengar informasi dari Zakaria. Apakah firasat buruk Sindy benar? ataukah ini semata-mata hanya kebetulan saja?

Kita akan mengikuti cerita Dimo mulai chapter selanjutnya. Oh iya, gw lupa bilang; waktu perilisan novel ini tidaklah menentu. Jadi jangan lupa masukkan ke dalam library sehingga kalian bisa memeriksa rilisnya chapter terbaru.

Oke, itu aja untuk kali ini, see ya in the next round :)

IzulIzurucreators' thoughts